Friday, 29 March 2024
HomeBeritaHidup dengan Horor Tanah Longsor

Hidup dengan Horor Tanah Longsor

Hidup keseharian dengan horor longsor yang siap menimbun hidup-hidup manusia adalah cermin keseharian warga Kota Bogor.

Senin, 27 Februari 2017, seorang warga Kota Bogor bernama Syafrudin tertimbun hidup-hidup dan tewas jadi korban longsoran di Kampung Kebon Manggis, Kelurahan Paledang, Kota Bogor.

Syafrudin adalah warga Panaragan, Kota Bogor meninggal dunia saat sedang melakukan aktivitas kerja. Dia meninggalkan seorang istri dan 3 anak, dengan yang terkecil masih sekolah kelas 2 SMP.

Pada waktu yang bersamaan, 2 rumah warga RT 03/RW 04, Kampung Kebon Manggis, Kelurahan Paledang, Kota Bogor (rumah Bapak Edi Kosasih) tertimbun tanah setengah bangunan dan juga rumah-rumah tetangga sebelahnya yang tertimbun atapnya.

Ribuan warga Kota Bogor hidup dalam horor tanah longsor bahkan detak jantung makin keras, saat hujan deras dengan curah hujan yang besar mengguyur lereng-lereng kota yang didiami ribuan warga miskin Kota Bogor.
Warga miskin Kota Bogor menempati bangunan 2 petak bagaikan labirin tak berujung (bahkan satu bangunan petak ukuran 4 kali 5 meter bisa didiami 3 keluarga).

Pada tanah lereng dengan kemiringan nyaris 45 derajat, ancaman longsor dapat terjadi setiap saat. Dari dasar sungai air menggerus dasar tanah membuat pijakan tanah goyah dan longsor ke bawah.

Puluhan tahun sudah warga miskin Kota Bogor menampati lerengan yang membentang sepanjang Sungai Cipakancilan, Sungai Cisadane serta lerengan lainnya di Kota Bogor.

Warga menempati daerah aliran sungai, bukan peruntukan pemukiman dan sangat berpotensi bahaya.

Pastinya, mereka menempati wilayah tersebut karena mereka tidak punya pilihan lain yang lebih baik. Puluhan tahun masalah pemukiman di DAS adalah masalah kronis dan menahun yang setiap tahun akan memakan korban setidaknya menjadi horor keseharian mereka.

Korban jatuh seperti menjadi ritual magis tahunan. Warga juga tidak pernah menuntut pemenuhan hak pemukiman layak pada pemerintah, sebaliknya pemerintah kota juga diam (dalam ketenangan atau kebingungan yang sulit diterjemahkan).

Solusi relokasi adalah kerja besar dan butuh anggaran besar yang pasti tidak dimiliki Pemkot Bogor? Belum lagi sikap prasangka warga yang kontra-produktif untuk relokasi.

Relokasi sebagai solusi ideal belum menjadi pilihan. Yang mendesak adalah mengamankan titik-titik rawan longsor dengan membangun turap penahan.

Pembamgunan tanggul turap juga butuh biaya, tidak pernah dialokasikan dalam APBD Kota Bogor.
Para politisi berseliweran mendulang suara di wilayah padat pemukiman miskin kota tersebut, pada tiap tahun politik. Namun, bencana longsor tetap saja menghantui setiap tahunnya dengan nirsolusi konseptual.

Tampaknya terjadi kemacetan solutif dalam dialog warga dan politisi…

Quo Vadis Warga Miskin Kota Bogor

Paledang, 8 Maret 2017

Sugeng Teguh Santoso, SH
(Ketua Umum Front Pembela Indonesia dan Sekjen DPN Perhimpunan Advokat Indonesia)