Friday, 19 April 2024
HomeKabupaten BogorDoa Sahabat Dari Mekkah

Doa Sahabat Dari Mekkah

Oleh: Hj. , SH, MH

(Calon Bupati Bogor 2018)

Senang rasanya dapat titipan doa dari para sahabat warga Kabupaten Bogor yang sedang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Salah satunya dari Arfinaldo Rusa'ad (58 tahun), bapak tiga anak yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan perdagangan. Niat saya mencalonkan pada kontestasi Pemilihan Bupati 2018, rupanya memantik simpatinya untuk mendoakan di Baitullah.

“Ya Allah Jadikanlah Bupati Bogor 2018,” begitu tulisan kecil dalam secarik kertas yang dibawa Bapak Arfinaldo, warga Kabupaten Bogor yang saat ini tengah melaksanakan ibadah haji.  Kertas tersebut kemudian di foto dan dikirim melalui Whatapps saya. Mendapat kiriman doa itu, tentu bahagia sekali rasanya hati ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

Di tahun-tahun sebelumnya, beberapa sahabat juga melakukan hal yang sama. Ujang Maturidi, seorang petani sukses di kawasan Cijeruk dan Rachmanto Srie Basuki, pengacara yang juga pengusaha PT. Nugroho Ardhana Reswari.

Tahun 2017, berdasarkan data Kementerian Agama, sebanyak 221.000 warga Indonesia berbondong-bondong melaksanakan ibadah di bulan Dzulhijjah ini.  Dari 221 ribu jamaah, 3.278 di antaranya adalah warga Kabupaten Bogor. Pemerintah Jawa Barat memang menetapkan kuota haji sebanyak 38.852 untuk 27 kabupaten/kota. Kabupaten Bogor mendapatkan kuota paling besar yakni 3.478 jamaah, sedangkan kuota paling kecil didapat kota Banjar yang mendapatkan 178 jamaah.

Ibadah haji memang merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seorang muslim. Sebab ibadah ini berkaitan dengan sejarah kemanusiaan yang direkam lewat ibadah perjalanan dan berkurban.  Ibadah haji yang terdiri dari umrah dan haji merupakan titik kulminasi dari proses pencarian kesempurnaan hidup baik secara individu dan sosial.

Ibadah umrah adalah gambaran tahapan yang harus ditempuh seseorang untuk mencapai tingkat kesempurnaan diri sebagai seorang muslim, dan ibadah haji adalah tahapan dan proses yang harus dilakukan umat Islam untuk mencapai kesempurnaan hidup secara berjamaah.

Itulah sebabnya dalam Alquran, perintah haji dan umrah diawali kalimat: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah” (QS. Albaqarah: 196). Hal ini berbeda dengan perintah salat dengan ucapan: “Dirikanlah” atau perintah zakat dengan “Tunaikanlah”.

Dalam haji, mengapa perintahnya “sempurnakan”? bukan “tunaikan” dan atau “dirikan”. Ini karena dalam ibadah ini ada nilai-nilai kesempurnaan hidup yang dapat diambil baik secara individu maupun secara sosial, sehingga dengan ibadah haji dan umrah setiap muslim menjadi individu terbaik dan menjadi umat terbaik (khairu ummah).

Proses pelaksanaan haji di Tanah suci sendiri melalui dua tahapan yaitu umrah dan haji. Umrah adalah ibadah yang dilakukan secara berturut-turut dari Ihram (ditandai dengan memakai pakaian ihram), tawaf berkeliling Kabah, Sai yaitu berjalan antara bukit Safa dan Marwa dan Tahallul (menggunting rambut). Sedangkan haji dilakukan dengan melaksanakan prosesi Wukuf di Arafah, mengambil batu di Muzdalifah pada malam hari, melontar jumrah di Mina, serta Tawaf Ifadah diikuti dengan menyembelih hewan kurban.

Banyak orang menyangka bahwa ibadah ini hanya bersifat ritual saja. Padahal Alquran menyuruh kita mencari hikmah dibalik haji dan umrah sehingga dapat dijadikan model hidup yang sempurna. Dalam Alquran tertulis: “Dan serukanlah kepada manusia untuk melakukan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta dari segenap penjuru yang jauh, agar supaya mereka menyaksikan manfaatnya,” (QS. Alhajj: 27-28).

Dalam ayat ini Allah menyuruh umat manusia untuk melakukan haji dan memperhatikan manfaat dan hikmah daripada prosesi ibadah haji tersebut. Diharapkan dalam prosesi ini, manusia harus dapat mengambil pelajaran, pendidikan, strategi dan falsafah hidup. Sehingga meraka dapat menjadi individu sempurna (perfect personality) dan menjadi umat yang mabrur secara berjamaah. Untuk itu, dalam sejumlah referensi yang saya baca, maka manusia harus memenuhi delapan syarat dan rukun untuk mencapai “Mabrur” yaitu:

1. Ihram atau mengontrol keinginan dan nafsu.

Langkah pertama untuk menjadi manusia sempurna adalah usaha diri untuk mengontrol nafsu dari keinginan yang berlebih. Dalam ihram, seseorang diharamkan dari memakai sesuatu yang halal. Ini merupakan gambaran bahwa seorang individu harus dapat mengontrol antara keperluan dan keinginan.

Seorang yang sukses adalah individu yang dapat melihat antara keperluan dan keinginan. Berarti Ihram adalah bagaimana seseorang dapat mengontrol dari memakai kekayaan yang berlebihan, memakai sesuatu milik dengan tidak berguna. Mubazir. Dan lain sebagainya.

Pemimpin dan pejabat “ihram” adalah pemimpin atau penguasa yang dapat memakai wewenang kekuasaan hanya untuk kemaslahatan rakyat. Anggota dewan yang “ihram” adalah anggota dewan yang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan diri, partai atau kelompok tertentu. Konglomerat “ihram” adalah konglomerat atau orang kaya yang memakai kekayaan untuk selalu berbagi.

Pribadi yang “ihram” adalah pribadi yang selalu memakai waktu dengan sebaik-baiknya dan juga mempergunakan kekayaan dengan sebaik-baiknya. Selalu memperhatikan mana yang merupakan keperluan dan mana yang bersifat keinginan. Terhindar dari sifat “mubazir” dan “lagha” (perbuatan, perkataan sia-sia). Inilah kunci dan syarat pertama untuk menjadi manusia “mabrur”, manusia sempurna.

2. Tawaf atau hidup dalam lingkaran ibadah.

Tawaf adalah mengelilingi Kabah tujuh kali. Ini merupakan gambaran dari setiap individu yang ingin mencapai titik kesempurnaan hidup agar dapat menjadikan seluruh kegiatan dan aktivitasnya dalam rangka ibadah. Tawaf juga bermakna bahwa segala gerak dan langkah hanya dilakukan dalam kerangka syariah, hukum-hukum dan perintah Tuhan.

Manusia adalah bagian daripada alam semesta dan alam dengan seluruh planetnya melakukan tawaf. Demikian juga malaikat melakukan tawaf di Baitul Makmur. Maka manusia juga secara fisik, rohani, pemikiran, kejiwaaan dan sistem kehidupan harus tawaf kepada Allah SWT.

Tawaf dalam tujuan mencari petunjuk Ilahi untuk meniti kehidupan. Tawaf juga bermakna selalu melihat dan memperhatikan (muhasabah) diri apakah seluruh aktifitas keduniaan kita dari belajar, mengajar, berniaga, berpolitik, berbudaya, sudahkah dalam kerangka hukum-hukum Allah dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Apakah setiap langkah yang kita lakukan selama tujuh hari tujuh malam, baik di atas bumi ataupun di atas langit semuanya mengacu kepada mencari keridhaan Allah? Individu yang dapat melakukan tawaf kehidupan ini merupakan manusia sempurna dihadapan Allah.

Politikus yang “tawaf” adalah politikus yang melakukan segala langkah politik untuk tujuan yang suci, sehingga politik merupakan ibadah. Pengusaha “tawaf” adalah peniaga yang mengembangkan ekonomi dalam sistem syariah dan menjadikan kegiatan bisnis bagian daripada ibadah. Pendidik dan ilmuwan yang “tawaf” adalah mereka yang melakukan aktivitas keilmuan sebagai ibadah kepada Allah.

3. Sai atau meningkatkan etos kerja sebagai khalifah.

Manusia mendapat tugas menjadi khalifah di muka bumi, sehingga seluruh kekayaan alam dapat menjadi modal yang berguna bagi kehidupan manusia. Khalifah adalah menguasai bumi dengan kerja keras. Itulah yang digambarkan dalam ibadah Sai yakni berjalan dan berlari-lari kecil dari bukit Safa menuju bukit Marwa.

Sudah menjadi sunatullah, siapa yang mempunyai etos kerja yang tinggi maka dia akan menguasai dunia, baik dia itu seorang muslim, non muslim atau atheis sekalipun. Penguasaan dunia (khalifah) tidak mungkin di dapat dengan beribadah, berzikir, dan berdoa semata-mata. Akan tetapi harus dilakukan dengan penguasaan ilmu, kerja yang profesional, konsisten, disiplin dengan manajemen yang rapi, dan semangat pantang menyerah. Hal ini juga terpancar sebagaimana Siti Hajar berusaha untuk menaklukkan bukit Safa dan Marwa seorang diri di tengah padang pasir yang tandus.

Insan Sai adalah insan yang berusaha dengan sungguh-sungguh, disiplin tinggi, semangat membara, pantang menyerah dalam bidang dan profesi masing-masing, sebagaimana dicontohkan para nabi dan rasul.

Nabi Adam menjadi khalifah sebagai pembuat roti yang handal. Nabi Nuh menjadi khalifah sebagai pembuat kapal. Nabi Idris menjadi khalifah sebagai perancang dan penjahit baju. Nabi Musa menjadi khalifah sebagai peternak profesional. Nabi Daud sebagai khalifah dalam industri baju besi, sehingga dia dapat memproduk 25 baju besi dalam sehari. Nabi Isa menjadi khalifah dalam bidang perobatan. Nabi Sulaiman menjadi khalifah dalam bidang komunikasi, sebab beliau dapat berkomunikasi dengan semua makhluk. Nabi Muhammad menjadi khalifah dalam semua bidang baik dalam pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan militer.

Masyarakat muslim terdahulu juga menjadi “masyarakat khalifah” karena menguasai ilmu dan teknologi yang dicontohkan oleh Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Al-Khawarizmi dalam bidang Matematika, Ibnu Haytam dalam bidang optik, Ibnu Majid dalam bidang Maritim, Ibnu Khaldun dalam sosiologi, Al-Mawardi dalam bidang politik, Ibnu Baitutah dalam bidang pariwisata, Abu Hasan Asyari dan Fakhrurazi dalam bidang teologi, serta Imam Syafii, Maliki, Hanafi, Hambali dalam bidang fiqih.

Ini semua disebabkan beliau semua mempunyai semangat dan etos kerja yang tinggi, semangat ibadah Sai, semangat untuk menguasai kehidupan dunia sebagai aplikasi tugas khalifah Allah di muka bumi.

4. Tahalul atau pelayanan sosial secara individual.

Tahalul adalah menggunting rambut bagi jamaah yang telah melakukan prosesi Sai dalam umrah. Sai adalah bagaimana seorang individu dapat mencapai prestasi tertinggi di dalam bidang masing-masing. Seorang ilmuwan yang Sai adalah ilmuwan yang dapat terus berprestasi dalam disiplin ilmunya sehingga menemukan teori-teori yang baru. Seorang teknokrat yang Sai adalah teknokrat yang dapat melakukan inovasi teknologi. Seorang pengusaha yang Sai adalah perniaga yang dapat sukses dalam terobosan baru dalam bidang ekonomi. Politisi yang Sai adalah politisi yang handal dan maslahat dalam bidangnya. Itu semuanya harus dapat di ” tahalul “kan.

Dalam arti: seluruh kepandaian, keilmuan, pemikiran, kerja politik, kerja ekonomi, harus dapat menjadi sumbangsih kepada individu yang lain. Kepada kemaslahatan masyarakat yang lain. Sehingga seorang ilmuwan akan mendapat pahala jariyah dari teori keilmuan yang dihasilkan. Seorang teknokrat dapat pahala jariyah dari inovasi teknologinya. Seorang politisi dapat pahala jariyah dari terobosan politik dan kebijakannya. Dan seorang peniaga dapat pahala jariyah dari sumbangan sedekah, infak kepada orang yang memerlukan dari kekayaan yang dimilikinya. Inilah yang dimaksudkan dengan “tahalul” profesi dan keilmuan dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, Rasulallah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidupnya berguna dan bermanfaat bagi manusia yang lain”.

5. Wukuf atau menggalang potensi, menyusun dan mengatur strategi.

Wukuf adalah berhenti. Wukuf berarti individu muslim yang telah berprestasi dalam bidang masing-masing diharapkan dapat berhenti sejenak. Bukan berhenti untuk tidak berkarya, tetapi berhenti untuk menyatukan langkah. Menggalang jaringan dan potensi. Menyusun program untuk menghadapi tantangan dan masa depan.

Wukuf berarti membentuk jaringan inter disiplin dan antar disiplin. Wukuf berarti membangun kerjasama antar kelompok umat, antar jamaah, antar firqah. Menyusun program bersama untuk satu tahun mendatang. Wukuf adalah sebuah “kongres umat” dalam profesi masing-masing.

Dengan wukuf, maka setiap individu dapat mengenal bagaimana hubungan dirinya dengan Allah. Dengan wukuf, berarti setiap muslim harus mengenal dirinya, mengadakan refleksi kehidupan dalam profesi masing-masing. Dengan wukuf, berarti setiap orang dapat mengenal kelebihan orang lain, sehingga dia dapat menjalin kerjasama. Dengan wukuf juga berarti antar kelompok dan jamaah umat dapat duduk bersama menyusun program terpadu. Itulah sebabnya wukuf tersebut berada di bumi Arafah.

Arafah dalam bahasa Arab artinya “mengenal”. Diharapkan dengan wukuf, setiap muslim dalam melakukan analisa “SWOT” sebagaimana dilakukan dalam bidang manajemen. Dengan adanya kerjasama antar individu dan kelompok, dengan mengenal diri, mengenal kawan, mengenal musuh, mengenal potensi, maka barulah setiap individu menjadi “rahmat” bagi suatu umat.

Seorang ilmuwan dapat menjadi rahmat bagi umat, dengan ilmunya. Seorang konglomerat dapat menjadi rahmat dengan kekayaannya. Seorang teknokrat dapat menjadi rahmat bagi umat dengan inovasi teknologinya. Seorang politisi dapat menjadi rahmat bagi umat dengan terobosan dan kebijakannya. Inilah yang dimaksudkan dengan adanya Jabal Rahmah di Arafah.

Dengan wukuf, setiap individu dapat menjadi rahmat (bukan musibah) bagi kelangsungan kemanusiaan. Dengan wukuf, setiap kelompok masyarakat, mazhab, firqah, menjadi “sparing partner” bagi kelompok yang lain untuk berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat).

Dengan wukuf, setiap kelompok berbagi tugas dalam membangun umat, bukan berebut mencari jamaah dengan menghina dan merendahkan kelompok yang lain. Wukuf adalah pertemuan tahunan yang dihadiri oleh utusan berbagai profesi, dan kelompok umat untuk menganalisa situasi umat dan menyusun langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan masa depan. Inilah kekuatan haji dan keutamaan wukuf sehingga dalam sebuah hadits Rasulallah SAW telah bersabda: “Haji itu adalah Wukuf di Arafah”. (Hadits Riwayat Muslim)

6. Muzdalifah atau persiapan menghadapi ancaman dan tantangan.

Dari prosesi wukuf maka umat Islam harus dapat melihat apa saja tantangan baik secara internal maupun eksternal. Ancaman dan tantangan tersebut harus dihadapi dengan kekuatan lahir dan batin. Kekuatan jiwa dan batin dengan mendekatkan diri kepada Allah, melakukan qiyamul lail, bermunajat kepada-Nya. Itulah sebabnya mengambil batu di Muzdalifah dilakukan di malam hari lewat tengah malam, bukan di siang hari.

Setiap individu, seorang pemimpin dalam menghadapi tantangan dan problematika kehidupan harus mendekatkan diri kepada Tuhan meminta pertolongan, petunjuk, dan kekuatan. Tetapi kekuatan batin harus diikuti dengan kekuatan lahir, yaitu mempergunakan senjata apapun yang mungkin dapat dipakai sesuai dengan bentuk tantangan dan serangan. Batu melambangkan manusia harus berinisiatif mencari alat untuk melawan kekuatan lawan, baik dengan inovasi teknologi dan sistem.

Serangan ekonomi harus dilawan dengan kekuatan ekonomi. Serangan teknologi dengan kekuatan teknologi. Serangan budaya dengan kekuatan budaya. Serangan keilmuan dengan kekuatan keilmuan. Dan lain sebagainya. Melawan musuh dengan strategi yang tepat itulah yang disebut dalam Alquran: “Dan persiapkanlah dirimu dengan kekuatan apa saja untuk menghadapi musuh”. (QS. Al-Anfal: 60). Dengan semangat batu di Muzdalifah berarti umat harus mempersiapkan diri dengan kekuatan  ilmu dan teknologi, ekonomi, kekuatan budaya, kekuatan politik dan kekuatan militer.

7. Melontar jumrah di Mina atau semangat perjuangan.

Setelah dari Muzdalifah, jamaah haji akan berangkat menuju Mina untuk melontar Jumrah. Sebaik sampai, jamaah melontar Jumrah Aqabah dan hari-hari selanjutnya melontar Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jamrah Aqabah.

Apakah maksud dan hikmah dari melontar Jumrah tersebut? Melontar Jumrah adalah lambang perjuangan yang harus dilakukan oleh umat secara bersama, baik dengan profesi atau kepakaran masing-masing dengan memakai kekuatan yang dimiliki. Semuanya harus ikut berperan dalam perjuangan umat dengan profesi masing-masing.

Perjuangan tersebut harus dilakukan dengan teratur dan berkesinambungan, sebagaimana melontar Jumrah dilakukan dengan teratur dari Jumrah Ula, Jumrah Wustha dan Jumrah Aqabah. Perjuangan juga dilakukan dengan terus berkesinambungan sebagaimana melontar Jumrah tersebut dilakukan pada hari pertama, kedua dan ketiga.

Dalam perjuangan pun harus mempersiapkan generasi pelanjut, sebagaimana melontar jumrah dapat dilakukan dengan Nafar Awwal (melakukan pada 10, 11, 12 Dzulhijjah saja) atau juga dengan Nafar Tsani (melakukan lontar sampai 13 Dzulhijjah). Sehingga ini menunjukkan setiap perjuangan harus memiliki estafet yang berkesinambungan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya.

Dengan melontar Jumrah di Mina juga berarti bahwa kekayaan yang dimiliki, kepakaran teknologi, kekuatan ekonomi, budaya dan politik setiap individu dan kelompok, harus dapat dipakai sebagai alat perjuangan umat, dan bukan sebaliknya.

8. Menyembelih kurban atau pengorbanan.

Perjuangan yang dilakukan secara individu apalagi secara kolektif, maka memerlukan pengorbanan yang tinggi. Tanpa pengorbanan yang tinggi, mustahil suatu perjuangan akan berhasil. Sebagaimana diungkapkan dalam surah Al-Kautsar: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka lakukanlah salat dan berqurbanlah. Sesungguhnya (dengan pengorbanan tersebut) maka musuh engkau akan hancur ,” (QS. Alkautsar: 1-3).

Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa pengorbanan merupakan syarat untuk dapat mengalahkan pertahanan dan kekuatan musuh. Contoh: jika seorang bekerja tiga jam, maka jika seseorang yang lain ingin mengalahkannya, dia harus dapat bekerja lebih dari orang tersebut, yakni empat atau lima jam. Inilah pengorbanan yang dapat mengalahkan pertahanan lawan.

Demikian juga umat Islam. Jika ingin menang, maka mereka harus melakukan pengorbanan dalam setiap bidang perjuangan. Pengorbanan tersebut bukan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan kelompok, mazhab dan partai, tetapi untuk kepentingan umat seluruhnya.

Itulah sebabnya dalam hukum fiqih, daging korban tidak boleh di makan sendiri atau untuk keluarga saja. Akan tetapi juga harus kepada semua orang. Baik itu faqir miskin atau kepada tetangga, sanak saudara, malahan juga boleh dibagikan untuk penganut agama lain.

Demikianlah nilai-nilai ibadah umrah dan haji yang saya baca dari berbagai referensi.  Ini harus menjadi pedoman umat Islam dalam proses mencapai kesempurnaan hidup. Khususnya untuk saya secara individu maupun secara berjamaah.

Sebab, jika seorang individu dapat berkualitas secara pribadi, dan dapat bekerja sama dalam jamaah, maka suatu umat akan mencapai kegemilangan. Jika umat Islam secara individu berkualitas, kemudian dapat bekerja bersama-sama dalam satu jamaah dalam segala bidang dan profesi, baik kerjasama antar individu dan antar kelompok, barulah kita semua menjadi umat yang teladan.

Semoga ibadah haji dan kurban ini dapat membuat kita lebih tercerahkan. Menjadi alat untuk muhasabah diri. Menilai kembali kerja dan langkah yang telah dilakukan. Dan mempersiapkan program-program untuk menghadapi tantangan di masa depan, lengkap dengan “action plan” perjuangan dan pengorbanan.

Selamat menunaikan Ibadah Haji. Terima kasih kepada seluruh sahabat dan warga Kabupaten Bogor. Saya dan kita semua mendoakan Anda kembali ke tanah Air dengan selamat dan mendapat peringkat “Mabrur”. (*)