Friday, 19 April 2024
HomeBeritaMendadak Politisi

Mendadak Politisi

menghinggapi saya. Berpuluh tahun sejak 1996. Usai membela “Kasus Kudatuli” sebagai anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia, lalu mulai akrab kegiatan partai (PDI Perjuangan). Menjadi tim hukum tiga calon presiden: Mega-Hasyim (2004), Mega-Prabowo (2009) dan Jokowi-JK (2014).

Tak hanya itu, saya pernah menjadi Sekretaris Badan Bantuan Hukum DPP PDI Perjuangan. Namun  itu semua tetap tidak membuat saya tertarik menjadi politisi yang berorientasi kekuasaan. Sempat juga menyiapkan syarat-syarat sebagai Caleg DPR-RI 2014, namun saya urungkan lagi.

Saya setia menjalani hidup dengan profesi advokat. Menjadikan profesi ini sebagai instrumen sumber penghasilan, sekaligus juga instrumen melayani masyarakat miskin dan tertindas. Melayani masyarakat miskin yang buta hukum dan masyarakat pencari keadilan yang tertindas.

Sudah berbilang puluhan tahun sejak mahasiswa 1988, saya sudah membela kasus-kasus masyarakat hingga saat ini. Tak terbilang banyaknya kasus masyarakat yang sudah saya tangani.

Sekarang saya mendadak jadi politisi kekuasaan. Mencalonkan diri sebagai Walikota Bogor pada 2018 mendatang. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan.  Namun saya hadir tanpa “Cek Kosong”. Track record sudah saya torehkan panjang.

Rekam jejak membela masyarakat tertindas di seantero Indonesia adalah modal sosial yang tidak bisa dinafikan oleh siapapun. Dalam soal rekam jejak ini, saya juga berani di kontes dengan para politisi lainnya.

Namun, tentunya, rekam jejak juga belum cukup. Kerja advokasi hukum terbatas pada kelompok layanan. Tidak meluas pada seluruh komunitas yang ada di wilayah. Sementara kerja politik adalah melayani konstituen dalam seluruh wilayah cakupan yang luas.

Kerja advokasi adalah kerja ideologis untuk kemanusiaan. Sementara kerja politik yang semestinya ideologis, bergeser menjadi pragmatisme. Konstituen dinilai hanya sebagai angka-angka penambah suara.

Pragmatisme politik adalah sebuah problematik yang sudah menggurita. Sikap koruptif diturunkan pula oleh politisi pada masyarakat. Politik uang kemudian adalah kewajaran. Politik menjadi berbiaya tinggi.

Dalam politik kepercayaan adalah barang langka. Kepentingan sesaat malah menjadi utama. Tidak ada kawan sejati. Yang ada adalah kepentingan. Sikap jujur adalah petaka. Bersikap negarawan merupakan kelangkaan bahkan bisa ditertawakan. Setiap saat bersiasat mempertahankan kuasa dengan melemahkan kuasa pihak lain. Apapun caranya. Dan lain-lain.

Wilayah gelap hutan belantara yang harus dijelajahi. Beda dengan kerja advokasi yang orientasinya kemanusiaan. Lalu apakah saya mampu tetap ideologis dan idealis?

Ada rasa pesimis memang. Tetapi banyak teladan tokoh dalam sejarah yang mempraktekkan sikap ideologis dan idealis. Dan itu ternyata berhasil. Salah satunya Nelson Mandela.

Bila di Indonesia akhirnya hanya dapat merujuk politisi lama dalam pergerakan kemerdekaan, namun ada juga seorang politisi senior Sabam Sirait yang menulis “Politik Itu Suci”. Dan saya harus segera membaca buku ini.

Ahhh… bagai menempatkan saya seperti anak TK saja. Dipaksa berkompetisi dengan para jawara dunia belantara pragmatisme.

Namun, mundur dan menyerah bukanlah tipikal saya. Menerobos tantangan setelah layar dikembangkan adalah pilihan yang harus diambil. Doakan saya mampu menjalaninya.

 

Salam,

Sugeng Teguh Santoso, SH
(Sekjen Perhimpunan Advokat Indonesia yang Mencalonkan Walikota Bogor 2018)