BOGOR DAILY-Bangunan semipermanen dengan tiang bambu dan triplek sebagai temboknya banyak ditemui di Kampung Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Tak jauh dari rumah mereka, barang rongsokan berupa plastik dan botol bekas juga terlihat menggunung. Tak heran jika kampung ini dulunya disebut ‘Kampung Beling'. Namun, kini kampung yang terdiri dari lima RT itu justru makin eksis turun-temurun menjadi ‘Kampung Pengemis' di Kota Bogor.
Seperti yang dilakoni DS (10), warga Kampung Ciheuleut, RT 04/06, Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah. Bocah kelas IV SD itu kena sidak petugas Dinas Sosial (Dinsos) saat asyik mengamen di jalanan, beberapa waktu lalu.
Saat itu DS mengaku baru pertama kali mengamen dengan hasil Rp26 ribu di kantong. Namun begitu ditelusuri ke kampung halamannya, tak sedikit anak-anak seusianya yang menjalani pekerjaan serupa.
Ada yang memilih jadi pengamen, pengemis hingga pemulung. Tak pandang tua atau muda, hampir seluruh warga di ‘Kampung Pengemis' itu hidup di jalanan. Pemerintah menyebutnya sebagai kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Berdasarkan data Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bogor, angka PMKS di Kota Kota Bogor di 2016 berjumlah 35.712 orang. Sebagian dari mereka tinggal turun-temurun di Kampung Tegallega yang terkenal dengan ‘Kampung Pengemis'.
Informasi yang dihimpun, ada dua RT yang banyak mencetak kelompok pengemis dan kawan-kawannya. Yakni di RT 02 dan 04. Bahkan, mereka sudah menetap lebih dari seperempat abad yaitu sejak 1987.
Hal ini diakui Ketua RW 06, Kelurahan Tegallega, Isa Anggarasora, yang berhasil ditemui Metropolitan. Isa bercerita bahwa kampungnya dulu terkenal dengan sebutan ‘Kampung Beling'. Sebutan ini bukan asal, mengingat kebanyakan warganya memang hidup sebagai pemulung.
Berawal dari tiga Kepala Keluarga (KK) yang hidup sebagai pemulung, lambat laun akhirnya banyak pendatang yang berdatangan menghuni lahan kosong. Dengan bangunan sederhana, warga pun menata hidupnya. Kebanyakan dari mereka memilih mengais rezeki dari jalanan kota. Mengemis, mengamen ataupun memulung sudah jadi makanan sehari-hari warga yang tinggal di sana.
“Dulunya kan ini tanah kosong, kebun kelapa, kemudian diisi dua atau tiga orang pemulung beling. Kelamaan jadi banyak orang datang. Bukan warga asli, kebanyakan dari Cianjur, Sukabumi dan Jawa Tengah. Tapi sekarang memang sudah domisili Kota Bogor,” katanya saat ditemui Metropolitan, kemarin.
Meski dikenal sebagai kampungnya pengemis, Isa justru lebih senang menyebutnya sebagai ‘Kampung Mongol'. “Artinya bahwa warga di sini itu tidak takut, tidak malu bekerja sebagai apapun, bahkan di jalan untuk mengemis, ngamen. Istilah itu muncul dari warga sekitar karena keberanian itu. Saya sendiri tidak paham kenapa Mongol dan apa artinya. Mungkin karena kenekatannya disamakan dengan orang Mongol. Ya penyebutan bahasa saja untuk mendefinisikan warga di sana,” bebernya.
Meski awalnya merasa terasingkan, lama-kelamaan ‘Kampung Pengemis' ini justru makin eksis. Perubahan dari ‘Kampung Beling' jadi ‘Kampung Mongol' seolah membuat warga yang tinggal di kampung itu lebih percaya diri. “Dulu mah pada nggak mau baur, mungkin karena merasa pekerjaan mereka di jalanan, ada rasa minder. Namun sejak 2000-an sudah mulai terbiasa dan berbaur,” ucapnya.
Isa menambahkan, hingga kini sebagian besar dari mereka masih sering kembali ke jalan, bahkan sampai ke anak-anaknya juga sudah keasyikan ngemis dan ngamen. “Anak-anak juga ada yang sampai putus sekolah, katanya ‘mending balik lagi ke jalan dapat duit'. Meskipun berbagai upaya pernah dilakukan pemerintah seperti penyelenggaraan PAUD dan bantuan dana usaha beserta penyuluhannya, tetapi ya gitu, kembali lagi ke jalan. Ini problem yang mesti ditangani,” terangnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Kota Bogor Azrin Syamsudin saat melakukan razia anak jalanan dan PMKS beberapa hari lalu mengatakan, fenomena PMKS bukan barang baru di Kota Hujan. Bahkan menyebut di beberapa titik ada perkampungan yang seluruhnya tergolong warga PMKS. “Di satu RW, di Kelurahan Tegallega, ada seluruhnya termasuk PMKS. Ada sekitar 350 KK. Hingga saat ini sebagian besar warganya bekerja di jalanan, baik itu pengemis, tukang minta-minta, pemulung hingga pengamen,” ungkapnya kepada wartawan.
Beberapa cara, sambungnya, sudah dilakukan untuk mengurangi jumlah mereka yang bekerja di jalan agar mencari nafkah di bidang lain. “Beberapa kali sempat diadakan penyuluhan keterampilan di sana hingga bantuan dana usaha pun pernah. Ada beberapa dari mereka yang kini sudah tidak ke jalan lagi, tetapi sebagian besar masih kembali ke jalan,” tutupnya.