Thursday, 28 March 2024
HomeKota BogorSejak 1987, 'Kampung Pengemis' di Bogor Makin Eksis

Sejak 1987, ‘Kampung Pengemis’ di Bogor Makin Eksis

BOGOR DAILY-Bangunan semipermanen dengan tiang bambu dan triplek sebagai temboknya banyak ditemui di Kampung Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Tak jauh dari rumah mereka, barang rongsokan berupa plastik dan botol bekas juga terlihat menggunung. Tak heran jika kampung ini dulunya disebut ‘Kampung Beling'. Namun, kini kampung yang terdiri dari lima RT itu justru makin eksis turun-temurun menjadi ‘' di Kota Bogor.

Seperti yang dilakoni DS (10), warga Kampung Ciheuleut, RT 04/06, Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah. Bo­cah kelas IV SD itu kena sidak petugas Dinas Sosial (Dinsos) saat asyik mengamen di jalanan, beberapa waktu lalu.

Saat itu DS mengaku baru pertama kali mengamen dengan hasil Rp26 ribu di kantong. Namun begitu ditelusuri ke kampung halamannya, tak se­dikit anak-anak seusianya yang menjalani pekerjaan serupa.

Ada yang memilih jadi peng­amen, pengemis hingga pemu­lung. Tak pandang tua atau muda, hampir seluruh warga di ‘' itu hidup di jalanan. Pemerintah me­nyebutnya sebagai kelompok Penyandang Masalah Kesejah­teraan Sosial (PMKS).

Berdasarkan data Dinas So­sial (Dinsos) Kota Bogor, angka PMKS di Kota Kota Bogor di 2016 berjumlah 35.712 orang. Seba­gian dari mereka tinggal turun-temurun di Kampung Tegallega yang terkenal dengan ‘'.

Informasi yang dihimpun, ada dua RT yang banyak men­cetak kelompok pengemis dan kawan-kawannya. Yakni di RT 02 dan 04. Bahkan, mereka sudah menetap lebih dari se­perempat abad yaitu sejak 1987.

Hal ini diakui Ketua RW 06, Ke­lurahan Tegallega, Isa Anggara­sora, yang berhasil ditemui Met­ropolitan. Isa bercerita bahwa kampungnya dulu terkenal dengan sebutan ‘Kampung Beling'. Sebu­tan ini bukan asal, mengingat kebanyakan warganya memang hidup sebagai pemulung.

Berawal dari tiga Kepala Kelu­arga (KK) yang hidup sebagai pemulung, lambat laun akhirnya banyak pendatang yang berda­tangan menghuni lahan kosong. Dengan bangunan sederhana, warga pun menata hidupnya. Kebanyakan dari mereka me­milih mengais rezeki dari jalanan kota. Mengemis, mengamen ataupun memulung sudah jadi makanan sehari-hari warga yang tinggal di sana.

“Dulunya kan ini tanah ko­song, kebun kelapa, kemudian diisi dua atau tiga orang pe­mulung beling. Kelamaan jadi banyak orang datang. Bukan warga asli, kebanyakan dari Cianjur, Sukabumi dan Jawa Tengah. Tapi sekarang memang sudah domisili Kota Bogor,” katanya saat ditemui Metropolitan, kemarin.

Meski dikenal sebagai kam­pungnya pengemis, Isa justru lebih senang menyebutnya sebagai ‘Kampung Mongol'. “Artinya bahwa warga di sini itu tidak takut, tidak malu bekerja sebagai apapun, bahkan di jalan untuk mengemis, ngamen. Is­tilah itu muncul dari warga sekitar karena keberanian itu. Saya sendiri tidak paham ke­napa Mongol dan apa artinya. Mungkin karena kenekatannya disamakan dengan orang Mong­ol. Ya penyebutan bahasa saja untuk mendefinisikan warga di sana,” bebernya.

Meski awalnya merasa tera­singkan, lama-kelamaan ‘Kam­pung Pengemis' ini justru makin eksis. Perubahan dari ‘Kampung Beling' jadi ‘Kampung Mongol' seolah membuat warga yang tinggal di kampung itu lebih percaya diri. “Dulu mah pada nggak mau baur, mungkin ka­rena merasa pekerjaan mereka di jalanan, ada rasa minder. Namun sejak 2000-an sudah mulai terbiasa dan berbaur,” ucapnya.

Isa menambahkan, hingga kini sebagian besar dari mereka masih sering kembali ke jalan, bahkan sampai ke anak-anaknya juga sudah keasyikan ngemis dan ngamen. “Anak-anak juga ada yang sampai putus sekolah, katanya ‘mending balik lagi ke jalan dapat duit'. Meskipun ber­bagai upaya pernah dilakukan pemerintah seperti penyeleng­garaan PAUD dan bantuan dana usaha beserta penyuluhan­nya, tetapi ya gitu, kembali lagi ke jalan. Ini problem yang mesti ditangani,” terangnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Kota Bogor Azrin Syam­sudin saat melakukan razia anak jalanan dan PMKS beberapa hari lalu mengatakan, feno­mena PMKS bukan barang baru di Kota Hujan. Bahkan menyebut di beberapa titik ada perkam­pungan yang seluruhnya tergo­long warga PMKS. “Di satu RW, di Kelurahan Tegallega, ada seluruhnya termasuk PMKS. Ada sekitar 350 KK. Hingga saat ini sebagian besar warganya bekerja di jalanan, baik itu peng­emis, tukang minta-minta, pe­mulung hingga pengamen,” ungkapnya kepada wartawan.

Beberapa cara, sambungnya, sudah dilakukan untuk men­gurangi jumlah mereka yang bekerja di jalan agar mencari nafkah di bidang lain. “Beber­apa kali sempat diadakan peny­uluhan keterampilan di sana hingga bantuan dana usaha pun pernah. Ada beberapa dari me­reka yang kini sudah tidak ke jalan lagi, tetapi sebagian besar masih kembali ke jalan,” tutup­nya.