Bogordaily.net – Kekejaman militer Myanmar memperlakukan pada demonstran antikudeta kepemimpinan Aung San Suu Kyi kini tak tanggung menewaskan 80 orang dengan granat dalam sehari, pada Jumat, 9 April 2021.
Tak gentar sejak melancarkan aksi politik yang mengambilalih kepemimpinan dengan paksa dengan menuduh Aung San Suu Kyi melakukan kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu) setempat, militer dan warga sipil terus berperang.
Kudeta militer Myanmar yang berlangsung Senin, 1 Februari 2021 itu mulanya didemo dengan beberapa aksi kericuhan. Lalu kejadian dramatis mulai terus terjadi, dari mulai mahasiswa, dokter, biarawati, artis, kelompok etni memerotes kudeta militer Myanmar.
Namun tidak mundur, perang saudara yang dikabarkan mulai mengancam situasi di Myanmar sejak kelompok etinis ikut melawan dan menyuarakan aspirasinya juga tidak membuat militer Myanmar mengendurkan tindakannya kepada para penentang.
Penambakan, penculikan, diseretnya para tokoh dan aktivis semakin banyak. Rekor korban tewas dalam demo antikudeta juga semakin membeludak.
Dilansir dari Reuters, kini, kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) dan outlet berita domestik mengabarkan militer menembakkan granat senapan yang menyebabkan 80 orang demonstran tewas.
Aksi kekejaman militer Myanmar itu berlangsung di kota Bago, 90 km atau 55 mil timur laut Yangon.
Pada awalnya, informasi tewasnya 80 mayat tidak tersedia karena pasukan keamanan menumpuk mayat di kompleks pagoda Zeyar Muni dan menutup daerah tersebut.
Menurut, Outlet berita AAPP dan Myanmar Now pada hari Sabtu, 10 April 2021, bahwa 82 orang tewas selama protes terhadap kudeta militer 1 Februari di negara itu. Sedangkan Penembakan dimulai pada Jumat, 9 April 2021 sebelum fajar dan berlanjut hingga sore hari.
“Ini seperti genosida,” outlet berita mengutip seorang penyelenggara protes bernama Ye Htut mengatakan. “Mereka menembaki setiap bayangan.”
Bahkan, banyak penduduk kota telah melarikan diri, menurut akun di media sosial.
Seorang juru bicara junta militer Myanmar tidak dapat dihubungi pada hari Sabtu.
AAPP, yang mencatat jumlah harian pengunjuk rasa yang terbunuh dan ditangkap oleh pasukan keamanan, sebelumnya mengatakan 618 orang telah tewas sejak kudeta.
Angka itu dibantah oleh militer, yang mengatakan melakukan kudeta karena pemilihan November yang dimenangkan oleh partai Aung San Suu Kyi dicurangi. Komisi pemilihan telah menolak pernyataan tersebut.
Juru bicara Junta Mayjen Zaw Min Tun mengatakan dalam konferensi pers pada hari Jumat, 9 April 2021 di ibukota, Naypyitaw, bahwa militer telah mencatat 248 kematian warga sipil dan 16 kematian polisi.
Militer juga membantah ada senjata otomatis yang digunakan oleh pasukan keamanan.
Tidak terima dengan tindakan militer selama kudeta, Aliansi pasukan etnis di Myanmar yang menentang tindakan keras junta menyerang sebuah kantor polisi di timur pada Sabtu, 10 April 2021.
Kejadian itu menyebabkan sedikitnya 10 polisi tewas.
Media lokal pun mengabarkan kantor polisi di Naungmon di negara bagian Shan diserang pada pagi hari oleh pejuang dari aliansi yang mencakup Tentara Arakan, Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang dan Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar.
Shan News mengatakan sedikitnya 10 polisi tewas, sedangkan outlet berita Shwe Phee Myay menyebutkan jumlah korban tewas 14.
Di sisi lain, penguasa militer Myanmar mengatakan bahwa protes terhadap pemerintahannya berkurang karena orang-orang menginginkan perdamaian dan akan mengadakan pemilihan dalam dua tahun.
Namun anggota parlemen Myanmar yang digulingkan mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengambil tindakan terhadap militer.
“Rakyat kami siap membayar berapa pun biaya untuk mendapatkan kembali hak dan kebebasan mereka,” kata Zin Mar Aung, yang telah ditunjuk sebagai penjabat menteri luar negeri untuk sekelompok anggota parlemen yang digulingkan. Dia mendesak anggota Dewan untuk menerapkan tekanan langsung dan tidak langsung pada junta.
“Myanmar berada di ambang kegagalan negara, kehancuran negara,” Richard Horsey, penasihat senior Myanmar di International Crisis Group, mengatakan pada pertemuan informal PBB, diskusi publik pertama tentang Myanmar oleh anggota dewan.***