Bogordaily.net – Kebutuhan manusia dari waktu ke waktu semakin besar bahkan tak terkendali, mulai dari kebutuh primer, sekunder sampai tersier.
Dari situasi itu juga, pihak produsen, pengusaha, atau pelaku usaha menyiapkan segala kebutuhan yang tengah dicari dan dibutuhkan oleh banyak orang pada umumnya.
Managing Partner Kantor Hukum Sembilan Bintang & Partners R. Anggi Triana Ismail, S.H. mengatakan, berbicara banyak kebutuhan yang saat ini banyak orang-orang cari, salah satu diantaranya adalah rumah.
“Sehingga sebagian pelaku usaha berlomba-lomba menciptakan perumahan-perumahan hunian bagi masyarakat atau konsumen, dengan varian marketing guna saling mengungguli dengan yang lainnya, dalam hal kompetisi segala kegiatan usahanya,” ucapnya.
Namun dewasa ini, banyak potret-potret duka yang kerap mewarnai pemberitaan ditanah air yang dialami oleh masyarakat selaku konsumen.
“Mulai dari perumahan ilegal, bodong, tata letak yang tidak sesuai dengan market, ketelatan penyerahan kewajiban dari pelaku usaha atau developer seperti kepemilikan, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya yang menyangkut tentang hak-hak konsumen,”lanjutnya.
Dari gambaran diatas, timbul sebuah pertanyaan bagaimana langkah-langkah yang bisa korban atau konsumen lakukan, disaat menghadapi pelaku usah tidak bertanggung jawab?
Anggi menjelaskan, ada beberapa rangkuman tentang langkah atau upaya hukum yang bisa dilakukan konsumen, guna menyikapi pelaku usaha atau developer yang kurang bertanggung jawab dalam melakukan kegiatan usahanya.
Bila Konsumen telah melaksanakan semua kewajiban tetapi ternyata pihak pengembang (developer) tidak memenuhi kewajibannya, maka konsumen bisa menanyakannya terlebih dulu.
“Prinsipnya adalah upayakan untuk menempuh penyelesaian permasalahan ini secara musyawarah baik-baik, atau didalam dunia hukum biasa dikenal dengan mediasi guna mendapatkan win-win solution,” jelasnya.
Namun jika tidak didapat titik temu dalam upaya musyawarah tersebut, ada baiknya konsumen melayangkan teguran atau somasi terlebih dulu yang isinya mengingatkan developer harus melaksanakan kewajibannya sampai batas waktu yang telah disepakati.
“Apabila pelaku usaha agau developer tidak mengindahkan bunyi somasi tersebut, maka konsumen bisa menempuh jalur hukum yang serius dengan menggugat keperdataan pelaku usaha, dan sekaligus melaporkan developer secara pidana,” paparnya.
Untuk gugatan, pihak korban bisa melakukannya melalui lembaga penyelesaian sengketa pelaku usaha konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat atau ke peradilan umum.
Di peradilan umum, gugatan dilayangkan atas dasar wanprestasi atau ingkar janjinya pihak developer.
Dalam gugatan ini, konsumen bisa menuntut ganti rugi dan juga bunga berupa hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan, atau dibayangkan oleh kreditor seandainya tidak terjadi wanprestasi.
“Secara pidana, konsumen juga dapat melaporkan developer dengan tuduhan melanggar Pasal 372 dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang apabila pelaku usaha melakukan delik penipuan dan penggelapan,” jelas Anggi.
Disamping itu konsumen juga melaporkan dengan Pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal ini pada intinya melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang tersebut.
“Dalam kasus ini, developer membangun tidak sesuai dengan ketentuan spesifikasi bangunan yang terdapat dalam brosur dan yang telah dijanjikan sebelumnya.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut terancam sanksi pidana paling lama 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar, ancaman sanksi ini termuat dalam Pasal 62 UU Konsumen.
“Ancaman pidana lain dengan denda maksimal Rp5 miliar bagi developer yang membangun perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi dan persyaratan yang diperjanjikan juga diatur dalam Pasal 134 jo,” kata Anggi.
Lalu Pasal 151 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Selain sanksi denda, developer tersebut juga dapat dijatuhi sanksi administratif sebagaimana terdapat dalam Pasal 150 UU Perumahan, sa,, nksinya mulai dari peringatan tertulis, pencabutan izin usaha, hingga penutupan lokasi.
Sekedar memberikan contoh, dalam perkara nomor 324 K/Pdt/2006, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan, yang menghukum developer telah melakukan wanprestasi karena tidak dapat menyerahkan rumah pada tanggal yang diperjanjikan.
Bahkan Mahkamah Agung secara tegas menolak dalil developer yang berlindung di balik krisis moneter dan naiknya harga bangunan, sebagai alasan mundurnya waktu penyelesaian pembangunan rumah.
Demikian ulasan singkat bagi para pencari keadilan yang bisa ditempuh, bilamana sedang menghadapi permasalahan hukum dengan pihak pelaku usaha atau developer.Cc