Bogordaily.net – Peran negara-negara yang tergabung dalam kawasan ASEAN sangat penting dalam kancah percaturan politik ekonomi global.
Di tengah ketegangan antara China dengan Amerika dan Australia, ASEAN menjadi perebutan pengaruh bagi negara-negara adidaya saat ini.
Meski demikian, ASEAN memiliki posisi tawar yang cukup tinggi serta mampu menjadi penengah di antara berbagai konflik yang terjadi di dunia.
Menurut Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Salim Segaf Al Jufri, Indonesia sebagai motor penggerak ASEAN harus lebih optimal lagi dalam memimpin negara-negara di kawasan tersebut untuk menghadapi peta politik global.
Sebagai negara terbesar di wilayah ini, Indonesia berkewajiban turut aktif dalam memelihara perdamaian dan stabilitas dunia.
“Kita berusaha agar kehidupan demokrasi di ASEAN dan Asia Tenggara bisa berjalan sesuai relnya. Tidak ada dominasi antara satu negara dengan negara lain. Kalau kita kompak sebagai entitas kawasan, maka pengaruh politik global tidak bisa melakukan penetrasi karena pasti ada filterisasi. Kita kuat dalam hal budaya, ekonomi, politik dan lainnya. Apalagi kawasan ASEAN diprediksi akan menjadi kawasan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2030 setelah Uni Eropa, Amerika, dan China,” tuturnya di sela acara silaturahmi PKS dengan jurnalis nasional dan internasional, Jumat 29 Oktober 2021.
Menurut mantan Menteri Sosial yang akrab dipanggil Doktor Salim ini, selama kawasan ini tertib dan tidak ada gejolak politik yang berarti, maka ekonomi akan bisa tumbuh dengan stabil sehingga bisa turut serta dalam berkontribusi terhadap perdamaian dunia.
“Secara historis, kita sudah terbukti sebagai negara yang selalu ambil peran aktif dalam menyeimbangkan kekuatan dunia. Era perang dingin, Indonesia mengambil peran pelopor membentuk Gerakan Non Blok yang saat itu sangat berpengaruh. Sehingga Amerika dan Uni Soviet mencoba menawarkan kerjasama demi mendapatkan dukungan Indonesia. Dalam konteks saat ini, Indonesia pun harus menjadi pelopor dalam menyeimbangkan ketegangan China dan AS dan Australia,” paparnya.
Dalam menghadapi permasalahan internal ASEAN sendiri, Indonesia juga perlu lebih aktif agar kawasan ini tetap berada dalam koridor demokrasi dan kestabilan politik.
Sebagai contoh kudeta Myanmar, ia menegaskan bahwa semua negara anggota tidak menyetujui kepemimpinan yang lahir dari jalur kekerasan atau di luar pilihan rakyat.
“Sebagai pemimpin ASEAN Indonesia harus menolak tegas keberadaan rezim kudeta karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Namun tentunya pemerintah harus memperbaiki indeks demokrasi kita yang semakin memburuk agar seruan kita tidak dianggap hanya sebagai himbauan, bukan sebagai pernyataan sikap dari sebuah negara berdaulat,” ungkapnya.
PKS sendiri, tuturnya, sangat aktif mengambil peran dalam merespon isu-isu kawasan dan global baik melalui perwakilan parlemen maupun sebagai partai politik.
“Banyak yang berpikir bahwa PKS hanya fokus pada masalah Timur Tengah saja, misalnya isu-isu Palestina. Atau ada yang punya persepsi bahwa PKS hanya mengurus persoalan umat Islam saja. Padahal begitu banyak masalah-masalah global dan regional yang menjadi perhatian serius bagi PKS khususnya di DPR,” jelasnya.
Dalam kasus kudeta Myanmar, jelasnya, PKS terus mendorong pemerintah untuk mendesak ASEAN mengirim pasukan perdamaian ke sana.
“Sewaktu kasus Rohingya juga demikian, bahkan PKS mendatangi Kedubes RI bersama komunitas Tionghoa dan para tokoh agama Budha. PKS pernah juga menyurati langsung Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang penghinaannya terhadap agama Islam. Termasuk juga memprotes UU Kewarganegaraan yang dirilis oleh pemerintah India yang sangat diskriminatif, saat itu PKS proaktif mendesak pemerinta Indonesia untuk mengirim nota keberatan terhadap India. Semua ini sebagai contoh kecil peran PKS dalam memelihara ketertiban dunia sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945,” tutupnya.***