Bogordaily.net – Beberapa organisasi relawan termasuk Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) mengkritik adanya bisnis disaat pandemi yang dilakukan petinggi negeri.
Kritik ini terkait pengadaan PCR dan peraturan yang mewajibkan penggunaan PCR dalam penerbangan udara. Kritik ini bagus, agar pejabat publik/politik memiliki etik.
“Kritik itu kemudian dibalas dengan kritik lagi dari beberapa pihak, yang menyatakan kalau sebagian besar pengadaan PCR itu dilakukan oleh group perusahaan yang terkait dengan JK, dengan disertai angka-angka. Kritik atas kritik itu pun bagus. Merangsang kita berpolemik dengan data,” ujar Teddy Wibisana, Dewan Penasihat Almisbat dalam keterangannya, Rabu 17 November 2021.
Sebelum relawan bersuara, informasi tentang bisnis dibalik pandemi beberapa kali muncul di Majalah Tempo.
Pengadaan reagen yang berlimpah yang tidak sesuai dengan alatnya, oleh rekanan di BNPB, Importir Alkes oleh pengusaha yang tidak memiliki latar belakang bisnis kesehatan, dan nama ET dan LBP di bisnis PCR, muncul dalam edisi liputan berbeda. Hal ini menurut Teddy harus jadi perhatian semua
Tetapi kemudian menjadi masalah, saat kritik terhadap sikap relawan yang mempersoalkan bisnis dibalik pandemi tersebut, disikapi secara emosional.
Bahkan ada yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan relawan itu tidak etis. Ada yang berspekulasi bahwa yang dilakukan oleh organisasi relawan tersebut motivasinya adalah mendapat jabatan baru.
“Saya katakan spekulasi karena mereka menentukan motive orang lain,” tegasnya.
Teddy mempertanyakan jika kritik tersebut dianggap tidak etis, karena meneriakan soal konflik kepentingan adalah etis.
Apalagi kemudian sikap mereka yang mengkritisi adanya bisnis dibalik pandemi tersebut, dikaitkan dengan posisi komisaris atau jabatan lain yang diembannya, dan kemudian mereka dituntut harus mundur kalau mau mengkritik.
“Saya anggap tuntutan itu tidak tepat,” paparnya.
Teddy menilai, etika seorang komisaris BUMN adalah menjaga jarak dengan konflik kepentingan di BUMNnya.
Mereka harus mundur jika melanggar GCG di BUMN dimana dia berada. Komisaris harus mundur jika melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Bahkan komisaris harus mundur kalau mereka merasa tidak kompeten dalam bisnis di BUMN nya. Itulah etika.
“Sebaliknya pejabat publik juga demikian, hindari segala konflik kepentingan. Etika seorang menteri selain menjaga jarak dengan konflik kepentingan, dia harus fokus mengawal dan mewujudkan program-program presiden di kementeriannya,” jelasnya.
“Buktikan konflik kepentingan terhadap bisnis dibalik pandemik tidak ada, bukan melakukan pembiaran terhadap perdebatan atau pembelaan yang tidak masuk akal, atas kritik terhadap konflik kepentingan tersebut,” tambahnya.***