Wednesday, 24 April 2024
HomeNasionalHebat! Korupsi ASABRI Jaksa Tuntut Hukuman Mati Heru Hidayat

Hebat! Korupsi ASABRI Jaksa Tuntut Hukuman Mati Heru Hidayat

Bogordaily.net – Jaksa menuntut dengan hukuman mati, karena tersangka diyakini korupsi dalam skandal ASABRI. Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera itu ditutut mati karena mengulangi perbuatan korupsi.

Sebelum perkara ASABRI, telah lebih dulu dijerat dalam perkara korupsi di Jiwasraya yang di mana divonis penjara seumur hidup dan vonis itu telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengusut perbuatan lantas menjeratnya dalam perkara ASABRI. Jaksa meyakini melakukan korupsi bersama-sama dengan mantan Direktur Utama ASABRI Adam Damiri dan Sonny Widjaja dkk hingga merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun.

“Terdakwa menerima sekitar Rp 12.643.400.946.200 (triliun), Sonny Widjaja menerima Rp 64,5 miliar, Ilham Wardhana Bilang Siregar telah menerima akibat pengelolaan investasi ASABRI Rp 241.688.185.267, Adam Rahmat Damiri Rp 17,972 miliar, berdasarkan uraian fakta hukum di atas maka unsur memperkaya diri telah terpenuhi secara sah menurut hukum,” kata jaksa.

“Berdasarkan uraian di atas, unsur merugikan negara atau perekonomian telah terbukti menurut hukum,” imbuh jaksa.

Jaksa juga meyakini terbukti melakukan pencucian uang (TPPU). Jaksa mengatakan Heru mendapat keuntungan tidak sah dari pengelolaan saham PT ASABRI sekitar Rp 12 triliun, keuntungan itu kemudian disamarkan oleh Heru dengan membeli aset.

“Bahwa terdakwa adalah pihak yang mengatur investasi saham reksadana, terdakwa dan afiliasinya Joko Hartoni dan Piter Rasiman dan Maudy Mangke, bahwa terdakwa bertujuan menyamarkan asal usul kekayaan pada investasi PT ASABRI dengan cara menempatkan rekening sendiri atau pihak lain melalui nominee-nominee, dan sejumlah rekening bank perusahaan beserta anak perusahaan dan lainnya,” kata jaksa.

“Bahwa perbuatan terdakwa bersama Adam Damiri, Sonny Widjaja telah menimbulkan kerugian negara Rp 22,7 triliun. Terdakwa memperoleh keuntungan tidak sah sejumlah Rp 12.643.400.946.200 (triliun), bahwa untuk menyamarkan asal-usul kekayaan terdakwa membelanjakan sejumlah aset,” lanjut jaksa.

Atas perbuatan itu, jaksa menuntutnya dengan pidana mati. Tuntutan itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 6 Desember 2021.

“Menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat memutuskan menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang,” ujar jaksa.

“Menghukum Heru Hidayat dengan pidana mati,” tambah jaksa.

Aturan Hukuman Mati untuk Koruptor

Persoalannya adalah Heru Hidayat sebelumnya dijerat jaksa dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor). Pasal itu berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2 ayat 1

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.

Seperti bisa dilihat, ancaman hukuman maksimal pada pasal itu adalah seumur hidup. Namun jaksa menilai perbuatan Heru Hidayat adalah pengulangan sehingga jaksa mendasarkan argumentasinya pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.

Berikut isinya:

Pasal 2 ayat 2

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan Pasal 2 ayat 2

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Penjelasan Jaksa

Saat membacakan tuntutannya, jaksa melengkapi argumentasinya tentang pengulangan perbuatan korupsi yang dilakukan oleh Heru Hidayat. Berikut penjelasan jaksa:

Bahwa dalam penjatuhan pidana negara melalui peraturan UU mengatur penjatuhan pidana mati bagi perbuatan-perbuatan tertentu yang bersifat sangat luar biasa yang tidak terlepas dari kejahatan serius dan merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan termasuk UU Nomor 31 Tahun 1999 memberikan penerapan pidana mati sebagaimana dalam pasal 2 ayat 2 yang menentukan bahwa dalam hal tipikor sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Keadaan tertentu sebagaimana dalam pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 yang dimaksud keadaan tertentu yang dapat dijadikan alasan pemberat pidana bagi pelaku tipikor yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tipikor. Tidak ada penjelasan mengenai pengertian secara resmi dalam keadaan di atas sehingga sangat penting memberi pemahaman dan penjelasan serta batasan yang jelas dalam keadaan dimaksud khususnya pengulangan tindak pidana.

Maka terdapat 2 konstruksi perbuatan terdakwa yang relevan sebagai pengulangan yaitu terdakwa Heru Hidayat melakukan 2 tipikor yaitu perkara Jiwasraya dan perkara korupsi PT ASABRI di mana keduanya dapat dipandang sebagai niat dan objek yang berbeda meskipun periode peristiwanya bersamaan. Dalam perkara korupsi ASABRI dilakukan Heru Hidayat sejak 2012-2019 yang berdasarkan karakteristik perbuatannya dilakukan secara berulang dan terus menerus yaitu penjualan dan pembelian saham yang mengakibatkan kerugian bagi ASABRI.

Berkaitan surat dakwaan yang tidak menyebutkan ketentuan pasal 2 ayat 2 menurut JPU, frase keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 adalah pemberatan pidana dan bukan unsur perbuatan sebagaimana diuraikan secara tegas dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 yaitu dimaksud dalam keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan alasan pemberatan pidana dalam tipikor.

Dalam penjelasan UU Nomor 20 Tahun 2001 juga dinyatakan dalam rangka untuk mencapai tujuan efektif untuk mencegah dan memberantas tipikor UU ini memuat ketentuan pidana dengan sebelumnya yaitu ancaman pidana minimum khusus, pidana denda tinggi dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberat pidana. Dengan demikian tidak dicantumkannya pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana perubahan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tipikor seharusnya tidak dijadikan penghalang untuk dapat menerapkan pidana mati sebagai pemberatan pidana karena perbuatan terdakwa telah cukup sebagai keadaan-keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 2 tersebut

Pakar Hukum Minta Cermat

Sementara itu, pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Djoko Sukisno menyatakan hukuman mati dibolehkan menurut Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun para hakim/aparat penegak hukum harus mencermati pula penjelasannya.

“Sebagaimana telah diketahui bahwa hukuman mati koruptor telah diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Namun perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang tersebut yang berbunyi ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan'. Karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut,” kata Djoko kepada wartawan, Selasa 7 November 2021.

Lebih jauh Djoko menjelaskan bahwa sebagaimana penjelasannya, yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata ‘pengulangan' diawali dengan tanda baca koma. Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.

“Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya,” ucap Djoko.

Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan ASABRI, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah di antara mereka ada yang residivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.

“Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter. Ingat, tempus delictia adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya,” ungkap Djoko.

Di sisi lain pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mendukung tuntutan mati ke Heru Hidayat. Namun dia menyerahkan urusan pidana itu nantinya ke pengadilan.

“Suatu upaya yang perlu diacungi jempol. Sebab, secara teori, kejahatan yang dilakukan memang pantas dituntut pidana mati, sehingga kita tak ragu. Kejahatan ekstra harus dilakukan dengan penindakan ekstra. Sekarang tinggal pengadilan, hakim selaras tidak dengan langkah Kejagung?” kata Hibnu.(dtk/sh)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here