Friday, 26 April 2024
HomeBeritaPlt. Camat Lumbis Pansiangan: Ini Sejarah Kata Sisingal

Plt. Camat Lumbis Pansiangan: Ini Sejarah Kata Sisingal

Bogordaily.net – Plt. Camat Lumbis Pansiangan, Lumbis Pangkayungon menjelaskan tentang , Kosa Kata “” adalah Kosa Kata dari (bahasa suku-suku Dayak Rumpun Murutic).

Menurut Lumbis, semua Dayak rumpun Murutic menyebut penutup kepala yang terbuat dari kain atau dulunya dari kulit Kayu Puutul yang diikat di kepala.

menyebut kata baik itu Tidung (Ulun Pagun), Dayak Agabag, Dayak Tahol, Dayak Okolod, Dayak Abai, Dayak Bulusu, Dayak Nabai, Dayak, Baukan, Dayak Paluan, Dayak Timugon, Dayak Tanggara yang berasal dan berperadaban di sungai Kinabatangan Sabah.

“Baik Rumpun Dayak Murutic yang ada di Indonesia maupun di Sabah Malaysia menyebutnya , ada juga sebagian yang menyebutnya Singal saja, karena dipengaruhi bahasa serapan oleh suku sekitarnya,” kata mantan Ketua Umum Dewan Adat Dayak Agabag tahun 2005 ini dalam keterangan tertulis di akun Facebooknya, Jumat 31 Desember 2021.

Dirinya juga menjelaskan, tentang perspektif Lingua Franca adalah satu model bahasa secara umum digunakan sebagai bahasa pengantar antar sub suku Dayak yang berumpun Murutic yang berperadaban di Kalimantan Utara Indonesia dan Sabah Malaysia, sebagai Kecil di Brunai dan Sarawak yang secara lingua Franca tadi overall sama dan saling mengerti dalam berkomunikasi.

“Kesamaan bahasa tersebut adalah satu fakta yang tidak bisa sangkal dan menjadi peta budaya (peradaban) yang menjelaskan masa lalu untuk masa sekarang walaupun pada zaman sekarang ini terdapat perbedaan dari segi agama dan keyakinan,” jelasnya.

Lebih lanjut, banyak generasi yang tidak paham asal peradabannya karena pengaruh asimilasi dan akulturasi dari suku disekitarnya.

Seperti dengan Asimilasi dan Akulturasi dengan Melayu atau Asimilasi dan Akultuiasi dengan Rumpun Dayak Kenyah-Kayan, Lundayeh, Rumpun Ibanic dan Rumpun Punan.

“Karena eratnya kontak pergaulan baik melalui perkawinan, Syiar Agama dan kontak Budaya lainnya sehingga pada tahapan ini saya sependapat dengan Abang saya Marx Mahin , P.hd (Seorang akademisi Antropolog Dayak lulusan Doktoral Universitas Lie den Belanda) bahwa dalam budaya itu “Serapan” atau ditiru tetapi tak mirip tetapi memiliki unsur kesamaan,” paparnya.

Pada rumpun Dayak Dusunic di Sabah Malaysia, sambungnya, mereka menyebutnya Sigar dan Kadazan menyebutnya Sigah tetapi secara umum mereka menyebut Sigar yang kemudian Sigar mejadi ikonic Bandar Penampang Kota Kinabalu Sabah.

“Tetapi dari segi bentuk atau Singal dan Sigar modelnya berbeda tetapi dari Lingustic ada kemiripan (Lingua Franca),” ucapnya.

Tak hanya itu, ada beberapa Antropolog yang mengatakan Dusun-Kadazan merupakan bagian dari pada Dayak rumpun Murutic karena ada kemiripan dari segi bahasa jika mereka bisa bahasa Dusun-Kadazan, bahwa 80 persen hampir sama dengan , tetapi ada juga yang mengatakan Dusun rupun tersendiri.

Dalam masyarakat Melayu di Pulau Sumatera dan Seminajung Malaysia disebut Tanjak yang juga merupakan penutup kepala adat Melayu yang berbentuk runcing ke atas.

Tanjak yang disebut juga mahkota kain tau tengkolok yang dipakai oleh bangsawan dan tokoh masyarakat.

Menurut Herolint, kata Lumbis, Tanjak atau Tengkolok sudah digunakan oleh masyarakat adat sejak masa Kesultanan, bukti keberadaan Tanjak atau Tengkolok bisa dilihat di beberapa sketsa atau lukisan Perang Palembang (1819-1821), peristiwa, Perang Jati (Lahat) tahun 1840-an, Perang Gunung Merakso (Lintang) tahun 1845, Perang Mutir Alam (Besemah) tahun 1860, dan beberapa sketsa yang lain.

“Kita kembali ke Sisingal, jika kita membuka beberapa dokumen kuno dan melihat foto-foto zaman bahula (dahulu) rata-rata leluhur kita. Terutama dari rumpun Murutic menggunakan Sisingal yang awalnya dari kulit kayu Puutul atau yang sejenisnya dan ketika masuk ke peradaban kain,” jelasnya.

Maka mereka menggunakan kain yang pada saat yang sama mereka memiliki kontak pedagang-pedagang Melayu dan ada juga pedagang yang dari Arab yang dalam bahasa Dayak Agabag mereka dipanggil “Ulun Alob”.

Kontak pedagang itu kemudian berikutnya dikuti dengan Syiar Agama Islam oleh beberepa Habib di wilayah pesisir yang kemudian saat ini kita kenal saudara-saudara Tidung yang secara bahasa (Lingua Franca) menggunakan Lingustik Murutic secara bahasa Tidung.

Camat Lumbis Pansiangan

“Penggunakan tentunya pada masa lalu dipastikan memiliki akar budaya yang sama hanya berbeda keyakinan saat ini. Dab tentunya kita berharap hal tersebut bukan menjadi penghalang untuk bisa saling menghormati dan bersatu dalam satu peradaban masa lalu,” imbuhnya.

Lumbis menjelaskan juga tentang penggunaan Sisingal pada masyarakat Dayak Rumpun Murutic. Sebelumnya dalam buku Schwaner tahun 1843-1847 dan dalam buku Groeneveldt 1876 orang Dayak itu sudah pernah kontak dengan pedangang dari luar seperti tertuang dalam Hikayat Cina Dinasti Ming (1368-1643) yang ditulis dalam huruf dan lafal Hokkian.

Kenapa para leluhur rumpun Murutic pada zaman dulu senang menggunakan lebih senang menggunakan Sisingal karena dapat berguna untuk beberapa hal sebagai berikut:

1. Sebagai penyerap keringat untuk turun ke mata/ke muka sehingga tidak mengganggu aktivitas kerja atau pada saat berjalan jauh dihutan.

2. Dapat berfungsi sebagai “Kantong” (penyipan) atau penyimpanan beberapa “barang” tertentu seperti Todok Tikan (sejenis kapas yang berasal “bulu” pohon polod, pohon sejenis buah arena yang tumbuh dihutan belantara), tempat menyimpan jimat ketika berenang disungai karena takut basa.

3. Bisa merupakan asisoris yang menanyakan drajat seorang yang bisa diliat dari warna dan cara lilitannya (dalam satra sunsunudon/siangon ada lilitan Sisingal yang terkenal yaitu Sisingal Tulu Tibuku, Sisingal Pinandilit)

4. Pada masa dulu yang menggunakan Sisiangl ingin menunjukkan kepada pihak lain sesuatu yang ditinggikan bukan direndahkan karena dalam tubuh manusia kepala adalah tempat tertinggi dan dimuliakan.

“Sisingal begitu dipopulerkan oleh masyarakat Tidung Tarakan yang sebelumnya dipertahankan oleh Dayak Bulusu dalam pakaian adat mereka sontak mendapat respon yang positif dan dapat diterima oleh semua kalangan terutama suku-suku Dayak Rumpun Murutic yang dengan senang menggunakannya termasuk saya,” katanya.

Sisingal telah menjadi usulan yang digunakan sebagai penutup kepala pada Ilau Dayak Agabag (Kongres Adat) di Desa Kunyit Sebuku tahun 2009.

Tetapi pengunanan topi kopiah bermanik lebih muda diperoleh dan penggunaan rotan dan dsn asesoris dari paru burung enggang dsn sejenisnya dinilai lebih kren mungkin sehingga penggunaan Sisingal tidak masif.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here