Sunday, 24 November 2024
HomePolitikRamai-ramai Gugat PT 20 Persen, Ini Jawaban MK

Ramai-ramai Gugat PT 20 Persen, Ini Jawaban MK

Bogordaily.net – Sejumlah nama menggugat Presidential Threhold (PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar menjadi 0 persen. Harapannya agar setiap parpol bisa mencalonkan presiden sehingga rakyat bisa mendapat banyak pilihan. Namun MK sudah 13 kali mengadili hal serupa dan semuanya kandas.

Sejumlah nama yang menggugat itu di antaranya Ferry Joko Yuliantono yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Ada juga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan dua anggota DPD Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung.

Pasal 222 yang diminta dihapus yaitu:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Harapannya, bila pasal 222 itu dihapus, maka semua parpol bisa mengusung capres. Tapi gugatan itu bukan yang pertama. Sebelumnya, MK sudah 13 kali mengadili materi serupa dan semua ditolak.

Berikut beberapa pertimbangan MK sebagaimana dirangkum dari putusan MK, Jumat 17 Desember 2021:

Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008

Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum apalagi logika umum.

Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal 3 ayat (5) berbunyi, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD”.

Pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR.

Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus dibentuk lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi baik praktik di Indonesia maupun di negara lain.

Hal ini merupakan kebenaran bahwa “the life of law has not been logic it has been experience”. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan dilaksanakan, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum. Dengan demikian maka kedudukan Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 adalah konstitusional;

Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang.

Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo,

Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.

Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.

Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009

Melalui kebijakan PT ini, tampaknya pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan sistem kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang dapat menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara sebelumnya dengan kebijakan ET yang bermaksud mengurangi jumlah peserta Pemilu;

Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR.

Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat.***

Sumber: Detik.com

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here