Bogordaily.net – Kesaksian murid Nurcholish Madjid, Dr Herdi Sahrazad, tentang peran Rizal Ramli dalam gerakan mahasiswa ‘98 menumbangkan otoritarianisme Soeharto.
Suatu hari penguasa Orde Baru, Soeharto, bertanya kepada cendikiawan muslim Nucholish Madjid (Cak Nur) tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan reformasi.
“Reformasi itu apa sih, Cak Nur? …” tanya Soeharto yang didampingi Mensesneg Sa’adilah Mursjid.
Pertemuan pada 18 Mei 1998 itu berlangsung di Jalan Cendana, seperti dikutip dari biografi Nurcholish Madjid, Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner, karya Ahmad Gaus AF.
Cak Nur kala itu sudah mencermati eskalasi politik dan perekonomian nasional yang mulai memanas sejak medio Januari ‘98.
Kekalutan rakyat mulai menjalar nyaris di setiap jengkal tanah Jakarta dan berbagai daerah.
Kala itu setidaknya telah terjadi 850 aksi unjuk rasa mahasiswa sejak bulan Januari hingga Mei ‘98, dengan agenda terfokus menurunkan Soeharto. Mulai di kota Makassar, Solo, dan kemudian merembet ke kota-kota lain di tanah air
Dalam pertemuan dengan Cak Nur itu terungkap Soeharto berjanji akan mengundurkan diri dalam waktu dekat. Namun sebelum menanggalkan jabatan Soeharto ingin bertemu lebih dulu dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Antara lain KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Ahmad Bagja, KH Ali Yafi’e, Anwar Harjono, Emha Ainun Nadjib, KH Ilyas Ruchiyat, KH Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, dan Soetrisno Muhdam. Termasuk Cak Nur.
Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara, yang saat itu anak buah Sa’adilah Mursjid dan punya kedekatan dengan Soeharto juga menjelaskan bahwa Soeharto sebenarnya memang sudah siap mundur. Tapi, kata Yusril lagi, Soeharto cemas kekacauan bakal terjadi jika dirinya mengundurkan diri secara mendadak.
Karena itulah Soeharto ingin membentuk semacam tim transisi yang dinamakan Komite Reformasi yang bertugas mendampinginya dalam memulihkan kondisi sosial ekonomi yang kala itu sudah berantakan.
Namun para tokoh tersebut tidak setuju dengan ide Komite Reformasi. Karena itu terjadi tarik menarik pendapat yang cukup alot di antara mereka.
Hingga kemudian, Cak Nur meminta kepada Soeharto agar tidak mengikutsertakan seluruh tokoh yang diundang itu menjadi anggota Komite Reformasi.
Menurut cerita, mendengar pernyataan Cak Nur ini Soeharto langsung merasa kaget.
Cak Nur kemudian menjelaskan bahwa kehadiran para tokoh itu sebenarnya dalam posisi dicurigai oleh masyarakat. Sebab para tokoh ini sebelumnya dikenal sangat kritis terhadap Soeharto.
Kalau mereka setuju dan menerima untuk menjadi bagian dari Komite Reformasi, rakyat dipastikan akan mencap mereka sebagai penjilat kelas kakap atau antek-antek Cendana.
“Kalau nanti Pak Harto memasukkan kami di dalam komite atau kabinet yang di-reshuffle, kami jadi seperti rupiah, kurs kami jatuh,” tegas Cak Nur, dikutip dari RMOL.
Penolakan terhadap rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi ini bukan hanya muncul dari para tokoh, tetapi juga dari kalangan mahasiswa.
Mahasiswa hanya ingin menunggu pernyataan pengunduran diri Soeharto, bukan pembentukan Komite Reformasi.
Dalam pandangan Cak Nur sejak empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak aparat, 13 Mei 1998, perlawanan mahasiswa dan rakyat terhadap Soeharto semakin memuncak. Tak membuat gentar untuk terus turun ke jalan setiap hari.
Dalam sebuah tulisannya di koran nasional Cak Nur juga secara tegas meminta Soeharto turun dari tampuk kekuasaan. Cak Nur mendesak Soeharto dan keluarga mengembalikan harta kekayaan kepada negara. Hal ini diungkapkan Cak Nur dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Harus Berakhir dengan Baik”.
Rizal Ramli yang secara intens membangun komunikasi dengan berbagai kalangan berkaitan dengan momentum menjelang kejatuhan Soeharto ini mengetahui persis dinamika yang terjadi, termasuk tentang sikap Cak Nur yang menekan Soeharto supaya segera lengser.
Rizal Ramli juga turun secara langsung di lapangan. Nalurinya sebagai tokoh pergerakan mahasiswa 1978 menggerakkan inisiatifnya untuk terlibat secara aktif.
“Waktu itu Soeharto ingin Komite Reformasi dibentuk. Draftnya disusun oleh Sa’adillah Mursjid,” kenang Rizal Ramli.
Namun seperti telah dikisahkan di atas keinginan Soeharto itu ditolak. Rizal Ramli teringat lagi pada ucapan Cak Nur yang sangat menekan perasaan Soeharto.
“Ucapan Nurcholish Madjid yang terkenal, dia bilang ‘Pak Harto wis wareg (sudah kenyang). Pak Harto marah mendengar itu, dan bilang ‘aku ndak patheken’ ndak jadi presiden,” kata Rizal Ramli.
Ndak patheken, maksudnya tidak akan mengidap sakit kulit. Ucapan ini meskipun disampaikan oleh Soeharto secara tenang namun mengandung kemarahan yang cukup tinggi, apalagi bagi seorang penghayat nilai-nilai Jawa seperti Soeharto perkataan seperti itu tentu membuatnya tersinggung.
Sebenarnya sewaktu Sidang Umum MPR Maret ‘98, Soeharto sudah berkeberatan untuk dipilih lagi jadi presiden. Namun karena dorongan orang-orang di sekelilingnya, Soeharto akhirnya menjabat untuk ketujuh kalinya.
Hanya dalam waktu sekitar 3 bulan akhirnya ia jatuh dari kekuasaan karena rakyat dan para mahasiswa sudah tidak menginginkannya lagi berkuasa secara otoriter di negeri ini.
“Saya langsung meminta kepada teman-teman wartawan supaya ucapan Nurcholish Madjid itu, ‘Pak Harto wis wareg’ supaya dikutip. Ucapan itu kemudian menjadi headline di beberapa surat kabar,” kenang Rizal Ramli lagi.
Rizal Ramli sendiri bersama dengan Nurcholish Madjid memiliki pertalian idealisme dalam memperjuangkan dan menegakkan demokrasi serta keadilan untuk bangsa dan negeri ini.***