Bogordaily.net – Anggota Komisi IX DPR RI Elva Hartati mendesak Kementerian Kesehatan sebagai leading sector di bidang kesehatan untuk secara intensif melakukan konsultasi publik, sebagai bagian dari proses penyusunan kebijakan yang akuntabel dalam pembahasan mengenai Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK).
“Sebenarnya untuk KDK ini harus ditentukan mana ranah UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) dan mana ranah UKP (Upaya Kesehatan Perorangan),” ujarnya dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan Menteri Kesehatan RI dan rapat dengar pendapat dengan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) serta Direktur Utama BPJS Kesehatan, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa 25 Januari 2022.
Elva menambahkan, yang sebenarnya menjadi urgensi dari KDK adalah perbaikan mutu layanan di rumah sakit.
“Misalnya waktu tunggu untuk operasi, sebaiknya menurut saya karena kondisi keuangan DJS yang sudah tidak defisit lagi, maka sudah waktunya kita melakukan pembenahan mutu layanan kesehatan yang di-lead oleh Kementerian Kesehatan dan support oleh BPJS Kesehatan,” tambahnya.
Terkait dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), politisi PDI-Perjuangan ini menyarankan agar sebelum diterapkan, KRIS dapat diuji cobakan dulu di beberapa wilayah. Sebab, menurutnya KRIS dapat memperuncing diskriminasi dan malah menurunkan mutu layanan kesehatan.
“Karena misalnya kelas 1 hanya ada dua bed, sekarang jadi 4 bed. Sebaiknya KRIS dilakukan uji coba saja dulu di beberapa wilayah dalam implementasinya. Selama kelas rawat inap non JKN masih tetap ada dan notabenenya masih ada VIP sampai dengan Presiden Suit yang tentu saja berbeda dengan JKN, maka diskriminasi tetap akan ada juga berpotensi akan menimbulkan kegaduhan juga,” sebutnya.
Selain itu, menyinggung mengenai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 mengenai Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan, Elva menyambut baik revisi terhadap Permenkes tersebut. Pasalnya dalam implementasi, Permenkes tersebut dinilai masih memiliki banyak masalah.
“Akan tetapi perlu dipastikan bahwa ruang negosiasi antara asuransi kesehatan tambahan (AKT) dengan provider ini dilindungi regulasi yang tepat. Sehingga dapat diimplementasikan dan tidak merugikan peserta. Untuk itu saya ingin memastikan agar revisi Permenkes Nomor 51 tahun 2018 ini bisa diimplementasikan dengan baik ke depannya, demi meningkatkan kualitas layananan JKN lebih baik,” tutup legislator dapil Bengkulu ini.***