Sunday, 13 October 2024
HomeBeritaPejalan Kaki, Pendamping Petani

Pejalan Kaki, Pendamping Petani

Bogordaily.net – Adi Rianda Putra. Nama yang tak dikenal. Kecuali oleh kawan-kawannya di kalangan pergerakan.

Ia bukan aktifis yang antusias berpidato di depan toa. Ia menghindari wawancara pers, dan karenanya tak pernah dikutip media.

Fotonya tak muncul di demonstrasi, meski ia ada di banyak peristiwa melawan rezim otoriter Soeharto. Adi bergerak di garis belakang. Ia tekun mendampingi petani, menyadarkan dan mengorganisir mereka merebut hak-hak dasarnya.

Kemarin, Adi meninggal di Bogor, kota yang paling dicintainya

Di kota itu, saya berkenalan dengan Adi, pertengahan 1980-an. Ia belajar di Universitas Pakuan. Saya di IPB. Tapi studi tak pernah menjadi bahan percakapan kami. Saya tak ingat ia mengambil jurusan apa di Pakuan.

Adi pun tak pernah tanya saya belajar apa di IPB. Kami menganggapnya hal yang tak penting dibicarakan. Satu topik yang menarik minat kami, dan menjadi perekat persahabatan hampir empat dekade ini adalah petani.

Tahun 1987, petani Cimacan yang berkebun di dekat pintu masuk TN Gede Pangrango, digusur proyek lapangan golf.

Adi Rianda Putra

Kebun sayur yang hampir panen, dibuldoser pemodal dengan deking tentara. Petani melawan dengan cara yang mereka bisa. Kami bergerak ke Cimacan, belajar pada petani, mendukung apa yang bisa.

Adi paling rajin dan bersemangat melakukan kerja ini. Dia bisa tahan berbulan-bulan, dari satu rumah ke rumah petani lain.

Menguatkan semangat mereka. Mengorganisir supaya petani melawan dalam kelompok. Tanah itu gantungan hidup mereka. Harus dipertahankan.

Kami menerbitkan buletin “Suara Petani Rarahan-Cimacan.” Media itu selain untuk menerobos informasi yang dikuasai media arus utama dan tidak berpihak ke petani juga untuk alat pengorganisasian. Adi selalu bersemangat kalau membawa buletin itu, dan membacakannya untuk petani.

Tergetar tiap melihat wajah petani yang merasa suaranya diperhatikan. Buletin itu menjadi sarana mereka saling berbicara. Saling menguatkan untuk terus melawan.

Tahun-tahun itu, penggusuran petani marak di sekitar Bogor. Petani Rancamaya digusur proyek perumahan mewah.

Cijayanti digusur lapangan golf. Lalu ada petani Tapos yang diusir Soeharto, dan tanahnya dijadikan peternakan sapi.

Juga konflik menahun petani dengan perkebunan di Tamansari, kaki Gn Salak.

Adi mendampingi para petani itu, dengan ketekunan yang tak banyak dimiliki aktifis mahasiswa lain.

Adi terobesi gagasan tentang petani yang mandiri di lahan milik mereka. Ia menikmati hidup dan belajar bersama petani di pedesaan.

Adi suka sekali berjalan kaki. Itu caranya menuju kampung-kampung yang biasanya memang jauh dari jalan utama.

Ia bisa menempuh belasan kilometer, dengan kakinya, untuk mencapai rumah keluarga tani yang dikunjungi. Tak jarang, perjalanan itu dilakukan malam hari.

Selain menghindari terik, juga lebih aman dari pengawasan Babinsa. Ia biasanya menginap di rumah petani.

Ia bisa berhari-hari di satu tempat, membicarakan macam-macam hal, terutama perlawanan mempertahankan hak mereka tetapi juga soal pertanian sesehari.

Setelah itu, Adi akan pindah ke rumah petani lain. Kebanyakan dijangkau dengan berjalan kaki.

“Kamu seperti Paman Mao. Dia jalan kaki di pegunungan Hunan, kamu keliling desa-desa di Bogor,” seloroh saya suatu ketika.

Adi hanya tertawa. Mungkin, ia memang pengagum Mao. Caranya membersihkan mulut di pagi hari juga mirip. Mao jarang sikatan, tapi berkumur teh untuk ganti gosok gigi.

Saya perhatikan di rumah-rumah petani, Adi nyaman mempraktekkan cara ini. Ia bisa berhari-hari hanya membersihkan mulut dengan berkumur teh pagi hari, tak perlu khawatir lupa bawa odol ke desa-desa. Lebih praktis. Dan saya harus akui gagal ikut ritual pagi ala Paman Mao itu.

Tahun 2008, ketika memimpin Green Radio saya ada program reforestasi di kaki Gn Gede. Bekerjasama dengan petani dan taman nasional.

Walaupun Adi bukan staf Green Radio, saya ajak dia untuk terlibat. Saya percaya dia akan mendahulukan kepentingan petani walaupun program ini berniat mengajak petani turun dari taman nasional dan menghutankan kembali kebun sayur mereka.

Teman-teman di Green Radio kadang bertanya, apa peran Adi dalam program ini.

Saya hanya menyebut Adi orang yang senang bergaul dengan petani dan kita penting tahu aspirasi mereka yang sesungguhnya. Jadi kami kerja bersama lagi, karena petani Sarongge.

Program itu berjalan baik. Adi memastikan bahwa tidak ada petani yang dipaksa turun dari taman nasional.

Kami membikin ancer-ancer, kalau alternatif pendapatan petani sudah dua kali lipat dibanding berkebun di hutan, dia boleh turun gunung.

Tidak didesak. Tapi inisiatifnya dihargai. Dua tahun pertama, hanya 5 petani yang turun dan kami mensyukurinya. Hutan Sarongge pelan-pelan dikembalikan.

Adi bergaul akrab dengan Dudu Duroni, Pupun, Ustad Ade (almarhum) dan banyak petani generasi pertama Sarongge yang turun gunung.

Seperti kebiasaannya, Adi suka berjalan kaki dari rumah ke rumah petani. Bahkan dari pertigaan ojek di Ciherang ke kampung Sarongge Girang, ia biasa jalan kaki. Sekitar 10 km.

Kali ini, Adi sekaligus ingin menghemat biaya ojek. Ia sudah punya keluarga kecil, dengan satu putri.

Di Sarongge Girang, ia bertemu petani-petani yang pasti tak diduga sebelumya.

Petani-petani yang ditahan tanpa diadili tahun 1965, dan dibawa paksa ke kaki Gn Gede. Rosidi, Abah Emi, keduanya sudah almarhum, menjadi kawan dekat.

Tempat ia menginap, kalau berhari-hari di Sarongge Girang menyiapkan penanaman pohon. Saya menduga Adi menemukan teman bercerita yang kisah hidupnya terasa dekat.

Seperti ketertarikannya pada sejarah kelam 65. Mungkin ia merasa senasib dengan orang-orang yang dibuang di kaki Gn Gede itu.

Tahun 2013 setelah kunjungan Presiden SBY ke Sarongge, petani diberi tenggat jadwal turun. Paling lambat bulan Agustus. Ini situasi baru yang bikin kelabakan. Adi mendampingi petani-petani yang cari alternatif lahan di kaki Gn Geulis.

Bersama Dudu Duroni, Apip dan kawan-kawannya, ia ikut membuka kebun di sana. Selain kebun sayur, sawah, juga akhirnya banyak yang membuka kebun kopi.

Adi sempat membuka sawah dua petak di kaki Gn Geulis ini. Ia ingin sekaligus merasakan jadi petani. Bukan hanya pendamping petani.

“Ini burung-burung bakal memakan habis panenmu,” kata saya ke Adi, kira-kira sebulan sebelum musim panen padi.

Dimasa kritis seperti itu, biasanya petani siaga di sawah dari pukul 6 pagi sampai 6 petang. Seharian penuh menjaga orang-orangan pengusir burung. Saya berharap Adi juga akan menjaga sawahnya.

“Burung-burung itu juga perlu makan,” kata Adi santai.

“Jadi ndak perlu diusir?”

“Diusir seperlunya saja.”

Dudu dan saya terbengong mendengar kata akhir Adi. Dan memang, sebulan kemudian, ketika petani lain panen padi di Tunggilis, sawah Adi hanya menyisakan batang-batang padi dengan bulir yang kopong.

Isinya sudah tuntas diselesaikan burung-burung Gn. Geulis. Adi berbagi tak hanya dengan petani, sesama manusia tetapi juga dengan burung-burung.

Lalu datang stroke yang mengejutkan. Adi terkena serangan itu, dan makin turun kondisi kesehatannya.

Suatu sore, saya menengok dia, sepulang dari perjalanan ke Sarongge. Adi sudah sulit bergerak. Ia tiduran saja di kasur yang diletakkan di lantai. Tak mampu bicara.

Ketika saya sampaikan salam dari teman-teman petani Sarongge, Adi mencoba duduk, tanpa suara. Hanya bulir air mata menetes di ujung kelopaknya.

Saya sedih sekali melihat kondisi Adi. Istrinya, Acih Sutarsih, menemaninya dengan sabar dan keteguhan luar biasa.

Pagi ini, Adi dimakamkan di Kebon Kopi, Bogor. Di bawah rindang bambu, ia menuntaskan tugas hidupnya, terutama mendampingi petani yang dikalahkan. Jejak kakinya terpatri kuat di desa-desa di Pegunungan Jawa Barat.

(Tosca Santoso)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here