Saturday, 23 November 2024
HomeBeritaProfil Boy Thohir, Konglomerat yang Dirikan Masjid Indonesia Pertama di Los Angeles

Profil Boy Thohir, Konglomerat yang Dirikan Masjid Indonesia Pertama di Los Angeles

Bogordaily.net – Nama Garibaldi Thohir atau yang lebih dikenal Boy Thohir, kembali memjadi sorotan. Kali ini, dirinya berhasil membangun sebuah masjid pertama Indonesia yang berdiri di Los Angeles, Amerika Serikat.

Boy Thohir merupakan salah satu konglomerat di Indonesia yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Adaro Energy Tbk (ADARO). Sebelum sesukses sekarang, kakak dari Erick Thohir ini pernah menjadi calo tanah, dan juga sempat tak mendapat izin dari Ayahnya, Mochamad Teddy Thohir untuk menjadi pegawai.

Bos perusahaan tambang batu bara PT. Adaro Energy Tbk. itu pernah dilaporkan memiliki kekayaan sebesar 1,6 miliar dolar AS, setara dengan Rp 23,4 triliun (kurs: 14.600). Jumlah itu membawa Boy masuk dalam urutan ke-17 orang terkaya Indonesia versi Forbes pada 2019 lalu. Namun, tidak ada kesuksesan yang dihasilkan dalam semalam. Tak terkecuali untuk Boy. Ia harus menelan pil pahit kegagalan sebelum dapat menikmati hasilnya.
Boy tidak lahir dengan keluarga kaya raya. Saat masih sekolah, Boy menaiki metromini dan becak, seperti pada umumnya. Ayahnya, Teddy adalah seorang karyawan Astra yang berhasil meraih kesuksesannya sendiri dengan menjadi direktur perusahaan tersebut.
Kegigihan sang ayah kemudian ditularkan kepada anaknya. Setelah meraih gelar MBA dari Northop University di Amerika Serikat, Boy menginginkan untuk bekerja di perusahaan beken seperti Citibank, American Express, atau IBM.

Namun, ternyata keinginannya itu dilarang. Akhirnya, pada 1991 dia terbesit untuk mendirikan bisnis properti. Idenya itu muncul lantaran dia tahu bahwa akan ada pembangunan jalan yang menguhubungkan Saharjo dengan Kuningan. Boy pun ingin mendirikan sebuah gedung yang hendak dia sewakan.

Rencana itu pun mendapatkan izin dari ayahnya dan ia diberikan modal. Namun, rencana itu kandas lantaran dia hanya ingin membebaskan lahan seluas 3.000 meter persegi, sementara ketentuan pembebasan lahan minimum 1 ha.

Akhirnya dia dibawa ayahnya menemui petinggi-petinggi Astra Internasional saat itu, seperti Theodore Permadi Rachmat dan Edwin Soeryadjaya. Boy diminta untuk mempresentasikan pemikirannya tentang peluang bisnis properti di wilayah yang kini menjadi kawasan Kasablanka.

Boy ingat sekali ayahnya mengatakan sesuatu yang menjadi salah satu motivasinya untuk berbisnis. “Kalau kamu mulai dari nol dengan gaji hanya Rp 2 juta, bagaimana kamu bisa mengembalikan modal yang saya habiskan untuk membesarkan kamu yang hampir Rp 1 miliar itu?”

Ia diberi kesempatan untuk membebaskan 20 hektar tanah untuk Astra. Sayang, Boy gagal lagi karena ia hanya mendapat 3 hektar. Pada akhirnya, ia hanya menjadi calo tanah untuk Astra. Namun, justru itulah yang dijadikan Boy pengalaman untuk berbisnis selanjutnya.
Pada 1992, Boy mencoba peruntungan yaitu bergabung dengan PT Allied Indo Coal, perusahaan tambang di Sawah Lunto, Sumatera Barat. Namun, Boy harus menderita kerugian karena harga batu bara saat itu terlampau rendah.
Lima tahun kemudian, Boy Thohir mencoba memulai bisnis di pembiayaan kredit motor bernama PT. WOM Finance dengan modal tabungan sendiri sebesar Rp 5 miliar dan pinjaman bank Rp 50 miliar. Meski sempat terkena krisis moneter 1998, Boy tetap bekerja keras untuk mempertahankan perusahaan ini.

Ia dulu hanya seorang calo tanah yang membebaskan lahan untuk Astra. Meski gagal menjadi pegusaha properti dan hanya mentok menjadi calo tanah, justru pengalaman itu yang bisa membuatnya menjadi pengusaha sukses.

Lambat laun ia mulai terjun ke dunia bisnis batu bara. Usai menutup dalam-dalam citanya menjadi pebisnis properti, Boy pun menerima proposal bisnis batu bara di Sawahlunto dari rekan ibunya, pemilik PT Allied Indo Coal.

Saat itu, Garibaldi Thohir sama sekali tak punya pemahaman soal batu bara. Aksi coba-coba itu hanya didasari oleh asumsi bahwa suatu saat minyak bakal habis, dan batu baralah penggantinya. Pada awalnya Boy hanya diberikan 20 persen saham di PT Allied Indo Coal. Sayang perusahan itu performanya enggak baik, apalagi batu bara saat itu masih belum diminati. Akhirnya, Boy pun gagal lagi.

Sebagai pengusaha, Boy memanfaatkan uang itu dengan mendirikan sebuah konsorsium bersama Theodore Permadi Rachmat, Sandiaga Uno, dan Benny Subianto buat membeli saham Adaro dari perusahaan Australia, New Hope.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here