Bogordaily.net–Sebagaimana diketahui Suku Baduy tak mudah tergoda dan terusik dengan rayuan perkembangan zaman serta teknologi. Melestarikan tradisi kuno warisan leluhur, ketangguhan Urang Kanekes atau Suku Baduy ini bahkan sering mencuri perhatian. Dikenal dengan kesederhanaan mereka, beberapa orang masih awam akan fakta-fakta unik Suku Baduy.
Dihimpun Suara.com dari laman Hops.id, Suku Baduy tinggal di Pegunungan Kendeng Banten. Perkampungan adat masyarakat Baduy berjumlah 56, luasnya 5.000 hektar-an. 53 kampung itu dihuni masyarakat Baduy Luar, dan selebihnya Baduy Dalam.
Lalu, soal rumah, mereka menyebutnya sulah nyanda, sebuah tempat tinggal berukuran tidak terlalu besar. Bentuknya pun masih mempertahankan tradisi dengan empat persegi panjang, julang ngapak namanya, dan tanpa jendela pula.
Sulah nyanda dibangun menggunakan bahan ramah lingkungan. Tiang dari kayu, dan dinding anyaman bambu. Atapnya cuma ditutupi ijuk di atas kerangka dari bambu. Keunikan lain rumah Baduy Dalam yaitu tempat berdirinya disesuaikan dengan kontur tanah.
Tak heran, tiang-tiang rumah tersebut tingginya beda-beda. Jadi jelasnya, sulah nyanda adalah rumah panggung ditopang bebatuan sebagai fondasi. Lalu, rumah mereka biasanya dibangun saling berhadapan, mengarah utara atau selatan. Dan, sering juga dilengkapi hiasan pada bagian atapnya.
Ruang dalam sulah nyanda dirancang simpel banget. Ada ruang depan atau sosoro, difungsikan buat ruang tamu, nyantai, atau kegiatan menenun.
Kemudian tepas atau ruang tengah untuk tidur dan kumpul keluarga. Terakhir, ipah, atau dapur. Selain buat memasak, ipah difungsikan untuk menyimpan beras plus hasil ladang.
Yang juga unik, ada lubang di lantai yang terbuat dari anyaman bambu, dan lubang itu merupakan saluran udara atau ventilasi. Berbeda dengan rumah pada umumnya yang ventilasi di bagian atas rumah.
Model rumah itu sudah menunjukkan kalau Suku Baduy tak silau godaan modernisasi. Mereka tetap menyatu dengan ritme kehidupan dalam frame tradisi masa silam yang tak lekang oleh waktu. Yang juga tak terpisahkan dalam hidup mereka tak ada sentuhan teknologi pada peralatan rumah tangga.
Tak ada yang lampu listrik. Untuk penerangan, mereka memakai pelita. Lalu masak dengan tungku kayu bakar. Tentang alat makan-minum, Suku Baduy memakai somong, potongan bambu yang dijadikan gelas. Sendoknya dari batok kelapa dan piring dari keramik disebut panjang.
Untuk mencari nafkah dilakukan kaum lelaki, dengan berladang atau bertani. Peralatannya pun terbilang sederhana seperti koret (arit), kayu buat bikin lubang dan etem (ani-ani). Dan, tanpa bantuan lainnya, termasuk hewan kerbau atau sapi.
Jenis tanamannya selain kopi, ada juga umbi-umbian serta padi. Dan, hasil panennya tak hanya buat mereka saja melainkan sebagian diberikan juga ke penguasa setempat lewat ritual Seba.
Seba merupakan tradisi yang dihelat pasca panen, yang didahului tradisi kawalu, atau puasa selama tiga bulan. Tujuannya untuk menghormati plus menjalin silaturahmi dengan penguasa.
Demi mentaati tradisi itu, masyarakat Suku Baduy, termasuk Baduy Luar berduyun-duyun menuju kantor pusat pemerintahan. Khusus Baduy Dalam, mereka melakoni dengan berjalan kaki ratusan kilometer dari kampung mereka, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.***