Bogordaily.net – Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki pada hari ini tanggal 21 Maret 2022 bertukar pandangan dengan Menko Polhukam, Mahfud MD, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil dan Ketua MA, Muhammad Syarifuddin tentang substansi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, khususya dalam kaitannya dengan perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh UU Kepailitan/PKPU kepada Anggota Koperasi Simpan Pinjam yang dalam putusan homologasi.
“Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Ketua Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah, proses pembayaran tahapan homologasi oleh 8 (delapan) Koperasi Simpan Pinjam yang ditangani Satgas cenderung sangat lambat, belum bisa mencapai target tahap 1 walaupun proses pembayaran sudah masuk tahap berikutnya. Kenyataan ini tentu memprihatinkan kami sekaligus menjadi pertanyaan besar bagaimana itikad baik dari Pengurus Koperasi untuk mengupayakan proses pembayaran tahapan homologasi itu,” ungkap Teten, Senin 21 Maret 2022.
“Tadi kami juga berkoordinasi dengan Menteri ATR/BPN Bapak Sofyan Djalil untuk kiranya dapat mendukung proses Asset Based Resolution sebagai mekanisme pembayaran homologasi, khususnya terkait koordinasi dalam upaya pencabutan blokir terhadap aset-aset berupa lahan/gedung yang bukan merupakan barang bukti terkait dugaan tindak pidana,” lanjutnya.
Merespon harapan Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil menyanggupi untuk mendukung proses Asset Based Resolution dimaksud.
“Tentu nanti kita pelajari satu per satu (case by case) agar aset dimaksud bisa clear and clean,” ujar Sofyan Djalil.
Sebagaimana diketahui, aset koperasi pada umumnya berupa piutang atau tagihan kepada para anggota peminjam, aset tetap berupa lahan dan gedung, serta aset lainnya yang berupa investasi.
Selain mengupayakan penagihan piutang sebagai sumber pembayaran tahapan homologasi, Koperasi dapat menjual aset tetap yang dimillikinya untuk melakukan pembayaran tahapan homologasi.
Selanjutnya Teten mengemukakan bahwa, pihaknya meminta perlindungan hukum kepada Mahkamah Agung agar Hakim di Pengadilan Niaga berhati-hati dan tidak mudah mengabulkan permohonan PKPU/Kepailitan yang diajukan.
”Persyaratan untuk memohonkan PKPU berdasarkan Undang-Undang cukup dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih pemohon, padahal Anggota KSP yang besar anggotanya mencapai ratusan ribu orang. Sehingga Hakim Pengadilan Niaga harus berhati-hati menimbang-nimbang dikabulkannya permohonan PKPU apalagi permohonan kepailitan, tentunya harus diperhatikan pula nasib dari ratusan ribu Anggota lainnya, mengingat kenyataannya proses tahapan pembayaran PKPU (homologasi) pada 8 (delapan) Koperasi tidak sesuai dengan tahapan yang telah disepakati dalam suatu putusan Pengadilan. Untuk itu kami telah bersurat untuk meminta perlindungan hukum kepada Mahkamah Agung,” paparnya.
Sementara itu Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin menyatakan bahwa, pihaknya akan melakukan pembinaan kepada Hakim Pengadilan Niaga untuk mempertimbangkan secara hati-hati atas permohonan PKPU Koperasi.
“Kami sudah menerima surat dari Bapak Menteri Koperasi dan UKM dan akan menjadi perhatian kami dalam materi pembinaan Hakim Pengadilan Niaga terkait hal ini”, demikian ujar Ketua Mahkamah Agung.
Selanjutnya dalam pertemuan itu, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki juga menyampaikan tentang perlunya mengatur dengan tegas, apakah badan hukum Koperasi menjadi muatan aturan UU Kepailitan/PKPU mengingat sebetulnya Undang-Undang ini lebih tepat diberlakukan kepada Korporasi daripada Koperasi.
“Berdasarkan pengalaman kami mengikuti proses tahapan pembayaran 8 KSP bermasalah yang masuk dalam proses PKPU nampaknya tidak ada sanksi yang tegas terkait dengan keterlambatan dalam tahapan pembayaran homologasi,” ujar Teten.
Dia juga menyatakan bahwa UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian telah obsolete dan tidak memberikan kewenangan yang cukup kepada Kementerian Koperasi dan UKM, untuk mengawasi jenis KSP yang volumennya besar dan kantor cabangnya menyebar dibanyak kota.
“Wewenang Kementerian Koperasi dan UKM tidak memadai untuk bisa mengawasi KSP dengan volume usahanya sudah sangat besar. Jadi tadi kami sampaikan perlunya untuk menyusun UU Perkoperasian yang baru sebagai ganti UU Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian agar sistem perkoperasian dapat ditata ulang,” demikian kata Teten.
Merespon harapan Menteri Koperasi dan UKM terkait dengan UU Kepailitan dan PKPU serta UU Perkoperasian, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa, pihaknya mendukung perlunya perhatian khusus terkait substansi pengaturan dalam UU Kepailitan dan PKPU yang saat iini posisinya sedang dalam proses pembahasan untuk penyempurnaan. Selain itu, Kemenko Polhukam juga berpandangan perlunya UU Perkoperasian yg baru.
“Iya, kami sangat memahami kebutuhan perlunya pengaturan tentang Koperasi di dalam UU Kepailitan/PKPU ataukah tentang Koperasi ini diatur secara tersendiri di dalam UU Pekoperasian yang baru. Hal ini akan kami koordinasikan, karena menurut saya ini urgent,” pungkas Menko Polhukam.***