Bogordaily.net– Indonesia memiliki perkebunan kepala sawit yang sangat luas. Seharusnya pemerintah bisa mengatur harga minya goreng, mengingat 98 persen penggunaan tanah untuk perkebunan kelapa sawit milik negara.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E. Halim mengatakan, pemerintah seharusnya dapat memerintahkan produsen minyak goreng untuk menurunkan harga komoditas strategis itu agar terjangkau bagi masyarakat.
“Pemerintah bisa melakukan bargaining karena mengingat 98 persen penggunaan tanah untuk perkebunan itu adalah milik negara melalui mekanisme HGU perkebunan artinya pemerintah bisa melakukan bargaining,” kata Rizal saat rapat dengar pendapat dengan komisi VI DPR RI, Jakarta, Kamis 31 Maret 2022.
Menurut Rizal, kenaikan harga minyak goreng setelah dialihkan pada mekanisme pasar belakangan ini tidak wajar. Alasannya, produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) melimpah mencapai 49 juta setiap tahunnya.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E. Halim mengatakan pemerintah seharusnya dapat memerintahkan produsen minyak goreng untuk menurunkan harga komoditas strategis itu agar terjangkau bagi masyarakat.
Rizal beralasan 98 persen penggunaan tanah untuk perkebunan sawit yang terintegrasi dengan pabrik minyak goreng itu merupakan milik pemerintah.
“Pemerintah bisa melakukan bargaining karena mengingat 98 persen penggunaan tanah untuk perkebunan kelapa sawit itu adalah milik negara melalui mekanisme HGU perkebunan artinya pemerintah bisa melakukan bargaining,” kata Rizal
Menurut Rizal, reli kenaikan harga minyak goreng setelah dialihkan pada mekanisme pasar belakangan ini tidak wajar. Alasannya, produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) melimpah mencapai 49 juta setiap tahunnya.
“Kita harus bisa bisa berhitung harga pokok produksi di masing-masing industri termasuk di CPO karena pertama kita tidak mendapatkan gangguan cuaca, tidak ada masalah dengan kenaikan harga pupuk hanya 5 persen itu kecil yang terjadi di dunia karena permintaan naik tapi pasokan terbatas itu potret global bukan di Indonesia,” tuturnya.
Di sisi lain, dia mengatakan kebijakan Kementerian Perdagangan untuk melepas harga eceran tertinggi (HET) dan domestic market obligation (DMO) itu keliru. Menurut dia, pemerintah tidak dapat memastikan adanya alokasi bahan baku untuk industri domestik secara fisik.
“Kalau pemerintah memegang fisiknya 20 persen saja kebutuhan domestik selesai tidak akan ada gejolak harga industri juga bisa ekspor dengan kinerja yang lebih baik karena nilainya meningkat di harga global,” tuturnya.***
(Muhammad Rizki Maulana)