Bogordaily.net – Soe Hok Gie aktivis Indonesia keturunan Tionghoa yang terkenal karena tulisannya yang sangat kritis terhadap pemerintahan orde lama dan Orde baru.
Soe Hok Gie adalah anak ke empat dari lima saudara dari pasangan Soe Lie Pit alias Salam Sutrawan dan Nio Hoe An yang lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta.
Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie alias Arief Budiman. Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969 pada usia 26 tahun di Gunung Semeru.
Masa Kecil Soe Hok Gie
Saat masih sekolah dasar, Soe Hok Gie juga kakaknya Soe Hok Djin sering mengunjungi perpustakaan umum dan taman bacaan yang ada di pinggir jalan, bahkan Soe Hok Gie sudah membaca karya sastra yang serius seperti karya dari Pramoedya Ananta Toer.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Soe Hok Gie dan kakaknya Soe Hok Djin bersekolah ditempat yang berbeda, Soe Hok Gie memilih sekolah di SMP Strada di daerah Gambir sedangkan kakanya memilih masuk SMP Kanisius.
Setelah lulus SMP, Soe Hok Gie melanjutkan pendidikannya di SMA Kanisius dengan Jurusan Sastra. Sedangkan kakakanya tetap melanjutkan Pendidikannya di sekolah yang sama dengan jurusan Ilmu Pengetahuan.
Minat pada bidang Sastra Soe Hok Gie semakin dalam pada saat Ia SMA dan juga ia mulai tertarik dengan ilmu sejarah. Soe Hok Gie dan kakaknya lulus sMA dengan nilai tinggi dan kemudian mereka melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia, Soe Hok Gie masuk fakultas Sastra dengan jurusan Sejarah sedangkan kakaknya masuk fakultas psikologi.
Saat kuliah Soe Hok Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak orang meyakini bahwa gerakan yang dilakukan Soe Hok Gie sangat berpengaruh dengan jatuhnya Soekarno dan menjadi orang pertama yang meng kritisi rezim Orde Baru.
Mendirikan Mapala UI
Soe Hok Gie adalah salah satu yang ikut mendirikan Mapala UI dengan kegiatan penting yaitu mendaki gunung.
Pada saat Ia memimpin pendakian ke Gunuing Slamet yang memiliki ketinggian 3.444 meter, Soe Hok Gie merngutif perkataan Walt Whitman “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth” dalam buku hariannya. Buku harian adalah tempat Ia mengungkapkan segala pemikiran dan sepak terjangnya mulai dari kemanusiaan, hidup, cinta dan kematian.
Soe Hok Gie Wafat Di Gunung Semeru
Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember tahun 1969 di Gunung Semeru tepat satu hari sebelum Ia berulang tahun yang ke 27 tahun.
Soe Hok Gie meninggal bersama kawannya yang bernama Idhan Dhanvantari Lubis. Mereka berdua meninggal akibat menghirup asap beracun yang ada pada gunung tersebut.
Pada tanggal 8 Desember, sebelum Soe Hok Gie berangkat mendaki ke gunung semeru Ia sempat menuliskan catatan :
“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat”.
Pada 24 Desember 1969 Soe Hok Gie aktivis Indonesia ini, dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo. Tapi setelah 2 hari dimakamkan ia harus dipindah makamkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang.
Pada tahun 1975, Ali Sadikin membongkar Penkuburan Kober sehingga jasad Soe Hok Gie harus dipindah makamkan kembali namun keluarganya menolak serta rekan-rekan Gie sempat ingat jika Gie meninggal sebaiknya mayatnya di bakar dan abu pembakaran mayatnya tersebut disebarkan di gunung, debngan pertimbangan akhirnya tulang belulang dari Soe Hok Gie dikremasi dan abu pembakaran tulang tersebut di sebar di gunung Pangrango.***