Bogordaily.net -Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya menyatakan sepakat RUU TPKS tidak akan mengatur tentang pidana pemerkosaan dan aborsi karena akan diatur dalam RKUHP dan Undang-Undang Kesehatan.
“Kami sepakat supaya tidak tumpang-tindih pengaturan normanya. Tidak lazim satu norma diatur di dalam dua undang-undang. Maka, kami ikut apa yang menjadi pemikiran pemerintah dalam hal ini,” kata Willy, Minggu, 3 April 2022, dikutip dari Antara.
Pelecehan seksual berbasis elektronik masuk sebagai salah satu jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Dengan demikian, panitia kerja RUU TPKS menyepakati delapan jenis kekerasan seksual. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 4 Ayat 1 RUU TPKS.
Pasal 4 Ayat 1 berbunyi, “Tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; perbudakan seksual; dan pelecehan seksual berbasis elektronik”.
Dengan disepakatinya jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, sekaligus merampungkan pembahasan RUU TPKS.
Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya mengatakan, usai pembahasan rampung, digelar rapat tim perumus dan tim sinkronisasi untuk memperbaiki redaksional dalam draf RUU. Badan Legislasi DPR menargetkan rapat pleno mengambil keputusan tingkat 1 bisa digelar pada Selasa, 5 April 2022.
“Hari ini kami akan masuk ke Timus jam 1. Jadi kalau bisa selesai sesuai dengan jadwal, besok kita sudah pengambilan keputusan tingkat 1,” ujar Willy, Senin, 4 April 2022.
Willy menyebut, RUU TPKS sudah berupaya menampung segala masukan, meski tidak semua usulan organisasi masyarakat sipil bisa ditampung. Perkosaan misalnya, tidak diatur dalam RUU ini, karena telah ada di KUHP.
Namun dalam Pasal 4 ayat 2 RUU TPKS, ditetapkan sejumlah kekerasan lainnya juga masuk dalam kategori kekerasan seksual, yakni: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan antara anak; perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; dan pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.
Kemudian, pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual.
Terakhir adalah tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini dibuat sebagai bridging article yang bisa menjembatani dari segi hukum acara, sehingga sudah tidak ada alasan lagi bagi penegak hukum untuk memproses kasus ketika kurang bukti dan sebagainya.
Dengan demikian, segala tindak pidana kekerasan seksual di luar undang-undang ini, berlaku hukum acara sebagainya diatur dalam UU TPKS.