Bogordaily.net– Mahendra Siregar resmi terpilih sebagai ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masa jabatan 2022-2027 setelah ditetetapkan oleh Komisi XI DPR RI, Kamis, 7 April 2022 lalu. Mahendra menggantikan kepemimpinan Wimboh Santoso yang masa baktinya berakhir. Siapa Mahendra Siregar? Dirangkum dari Detik.com, berikut profilnya.
Mahendra Siregar merupakan lulusan Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia di tahun 1986, dan menerima gelar Master Ekonomi dari Monash University, Australia di tahun 1991.
Ia merupakan mantan anggota dewan komisaris pada beberapa perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, pertambangan, manufaktur, teknologi, barang konsumen dan infrastruktur.
Mahendra juga pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit/Council for Palm Oil Producing Countries (CPOPC). Sebelumnya, Mahendra juga pernah menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Wakil Menteri Keuangan, Wakil Menteri Perdagangan, Ketua dan CEO Indonesia Exim bank dan wakil Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Pada 2019 dia diangkat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pada tanggal 25 Oktober 2019. Sebelumnya pada awal April 2019, Duta Besar Siregar menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden AS sebagai sebagai Duta Besar Indonesia ke-19 untuk negara tersebut.
Tak hanya itu Mahendra juga pernah tercatat dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di masa pemerintahan SBY, Mahendra pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sebagai Wakil Menteri Keuangan Indonesia dan juga sebagai Wakil Menteri Perdagangan Indonesia, Deputi Menko Perekonomian Bidang Kerjasama Ekonomi dan Pembiayaan Internasional.
Selain dalam ranah pemerintahan, Mahendra Siregar juga diketahui pernah berperan sebagai komisaris dari PT Dirgantara Indonesia dan PT Aneka Tambang.
Sementara itu sebelumnya, Mahendra menyampaikan jika Indonesia memiliki potensi untuk memperluas dan memperdalam sektor jasa keuangan karena RI masih lebih rendah dibandingkan negara Asean dan negara G20.
Ia menyebut kedalaman sistem perbankan terutama untuk kredit bank disektor swasta saat ini sebesar 33% dari PDB atau masih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata negara Asean lainnya yang mencapai diatas 100%. Selain itu, Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara G20 yang mencapai 99% dari PDB.
“Akses kredit bank di sektor perbankan Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara Asean lainnya yang mencapai 104% dan dengan negara G20 juga tertinggal 99% dari PDB. Untuk penempatan dana di industri keuangan saja Indonesia baru 40% dari PDB. Di negara-negara Asean lainnya itu sudah 113% dari PDB dan negara G20 98% dari PDB,” jelas Mahendra.
Selanjutnya kapitalisasi pasar saham di Indonesia hanya 47% dari PDB jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Asean maupun negara G20 yang berada di atas 100%.
“Ini menunjukkan bahwa potensinya sangat besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Maka pengawasan terintegrasi menjadi modalitas yang kuat untuk menjalankannya,” imbuhnya.
Selanjutnya untuk aset perbankan syariah di Indonesia hanya 2% dari total volume perbankan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asean seperti Malaysia yang sudah mencapai 14% dari PDB.
Dibandingkan dengan negara-negara G20 yang tercatat sebesar 29% dari PDB untuk Arab Saudi. Sedangkan aset pendanaan, Indonesia 4% dan Malaysia 29% dan Arab Saudi 36% dari PDB.
Dia juga menyebut ada enam prioritas yang mesti dilakukan antara lain peningkatan efektivitas kepemimpinan OJK. Kedua, penguatan struktur KE IKNB dan KE Pasar Modal. Kemudian ketiga, pelayanan satu pintu. Keempat, peningkatan efektifitas pengawasan pemeriksaan penyidikan dan tindak lanjut. Kelima, kerjasama dan koordinasi yang efektif dengan regulator dan lembaga lain.
Keenam, sinergi penuh dengan pemerintah, DPR, dan lembaga-lembaga negara dalam menjalankan strategi nasional untuk kepentingan nasional, antara lain pembangunan yang berkelanjutan.***