Saturday, 21 December 2024
HomeKota BogorUpaya Pemkot Bogor Menjadi Kota Layak Anak: Tak Bosan Edukasi, Bersinergi dan...

Upaya Pemkot Bogor Menjadi Kota Layak Anak: Tak Bosan Edukasi, Bersinergi dan Kolaborasi

Bogordaily.net – Berbicara Kota Layak Anak (KLA), maka harus dipahami dulu definisi anak. Dalam UU Perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Seperti apa sebetulnya, kota yang layak anak ?

Kabupaten atau Kota Layak Anak (KLA) adalah kota yang memiliki sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak.

Banyak indikator yang harus dipenuhi sebuah kota atau kabupaten untuk mendapat predikat KLA. KLA sendiri memiliki tingkatan mulai dari strata pratama, madya, nindya, utama dan KLA.

“Selama tiga tahun ini, Kota Bogor masih menyandang predikat madya. Pemkot masih masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus selesai,” jelas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bogor, Iceu Pujiati.

Iceu menjelaskan ada lima klaster yang harus dipenuhi untuk anak.

Klaster pertama adalah klaster hak sipil dan kebebasan. Di mana anak-anak harus diregistrasi dan memiliki bukti kutipan seperti akta lahir, kartu identitas anak (KIA) dan berbagai informasi untuk anak.

Klaster kedua adalah lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, di mana tersedia pengasuhan di keluarga atau alternatifnya, yang menjadi tempat anak terlindungi.

Klaster ketiga, kesehatan dasar dan kesejahteraan. Setiap anak mempunya hak dalam menerima pelayanan kesehatan, tidak ada lagi anak yang status gizinya kurang, stunting dengan kata lain anak-anak Kota Bogor harus sehat . Termasuk fasilitas kesehatan harus sudah ramah anak contoh puskesmas yang ramah anak.

Klaster keempat adalah pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya . Selain itu, anak-anak Kota Bogor tidak boleh ada yang putus sekolah, program pendidikan dasar atau Wajar Dikdas 12 tahun harus berjalan untuk pemenuhan hak pendidikan anak di Kota Bogor. Sarana prasana pendidikan harus ramah anak / sekolah ramah anak ( SRA) dan pesantren ramah anak.

Selain pendidikan, anak-anak juga harus dapat memanfaatkan waktu luangnya untuk beraktivitas dengan berbagai kegiatan kreativitas seni budaya dan lain-lain.

Klaster kelima yakni perlindungan khusus, yakni KLA juga harus memberikan pelayanan bagi anak-anak korban kekerasan, nafza dan seksual juga penyandang disabilitas dan anak yang berhadapan dengan hukum.

Kelima klaster ini tidak akan serta merta terpenuhi, jika tidak ada kerjasama atau kolaborasi antar instansi pemerintah ( OPD Lintas Sektor ) sesuai dengan tugas dan fungsinya, akademisi, bisnis ( dunia usaha) , komunitas bahkan dengan Media ( Pentahelix) ” jelas Iceu.

“Semuanya saling terkait dan saling memberikan kontribusi dalam memenuhi ke lima klaster tersebut, tegasnya.

DP3A sendiri, kata Iceu, sudah melakukan berbagai upaya/ ikhtiar dalam rangka percepatan KLA, pelaksanaan edukasi mulai dari tingkat rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, tingkat kota bahkan bersama dengan lembaga mitra dan dunia usaha . ‘’Tentunya pemenuhan anak harus dimulai di skala paling kecil yaitu keluarga,” ujarnya.

Bersama dunia usaha DP3A bersama KPAID melaksanakan inovasi Horekamall yaitu hotel restoran kafe dan mall yang ramah anak) dan kedepan Pemkot akan terus berikhtiar untuk percepatan dengan melihat sarana tempat ibadah dan tempat wisata yang ramah anak

Nah, untuk memudahkan pengisian indikator-indikator penilaian KLA , sesuai dengan Kemen PPA maka DP3A berinovasi dengan membuat aplikasi sistem Informasi Kota Layak Anak Kota Bogor (Siklabo),” tambahnya.

Dan tentunya yang paling penting adalah terus berkoordinasi lintas sektor dalam rangka percepatan KLA tersebut

Lalu bagaimana ketika ada kasus kekerasan terhadap anak, apakah mempengaruhi penilaian KLA ?
Kasus-kasus kekerasan tentunya akan mempengaruhi pada penilaian KLA

Hanya tentunya kasus kekerasan anak tidak bisa kita hindari . Kasus kekerasan anak ini bagaikan gunung es .

“Tapi, setidaknya dengan adanya KLA sistem penanganannya sudah terbangun. Sehingga ketika ada kasus kekerasan maka otomatis sistem penanganannya pun wajib gerak cepat.’’ tandasnya.

“Hidup itu dinamis, sehingga pasti akan ada kasus atau peristiwa yang belum memenuhi standar klaster-klaster KLA. Tapi bagaimana sikap pemerintah dalam menyikapi dan menanganinya itu yang terpenting, sistem penanganan sudah terbangun itu sebetulnya yang diharapkan,” terangnya.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here