Friday, 26 April 2024
HomeKulinerCiri Khas Lebaran, Kue Kering Ternyata Memiliki Makna Toleransi

Ciri Khas Lebaran, Kue Kering Ternyata Memiliki Makna Toleransi

Bogordaily.net– Kue kering kerap ditemui saat . Kue khas ini ternyata memiliki makna. Sejarawan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman mengatakan kue-kue kering seperti nastar, kastengel, lidah kucing, dan putri salju yang populer disajikan sebagai kudapan khas memiliki makna toleransi.

Awal mulanya, kata Fadly kue kering dikenal pada masa kolonial melalui pertukaran hantaran dari keluarga Eropa untuk keluarga priyayi yang merayakan hari . Kue-kue tersebut juga menjadi kudapan yang biasa dihidangkan pada hari-hari perayaan umat Nasrani.

“Kue-kue kering ini disajikan ketika keluarga-keluarga priyayi merayakan dan di sini juga ada hantar-menghantar ketika . Keluarga-keluarga Eropa menghantarkan makanan seperti kue-kue kering ini untuk keluarga priyayi,” kata Fadly sebagaimana dilansir Suara.com dari Antara, Senin, 2 Mei 2022.

Fadly menjelaskan kue kering yang diadopsi dari kalangan Eropa tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, bahan, dan rasa yang berbeda dengan aslinya.

Kastengel (kaasstengels dalam bahasa Belanda), misalnya, memiliki bentuk yang lebih panjang dalam versi aslinya. Selain bentuk, kata dia, kualitas keju yang digunakan pada kastengel di Belanda dan Hindia Belanda juga memiliki perbedaan.

Nastar, misalnya, terinspirasi dari kue pai atau tar Eropa yang biasanya diisi dengan bluberi dan apel. Nastar berasal dari dua kata dalam bahasa Belanda yaitu “ananas” (nanas) dan “taart” (pie).

Lebih lanjut menurut Fadly, nastar merupakan inovasi yang dibuat oleh para perempuan Belanda yang menetap di Hindia Belanda. Kala itu mereka memanfaatkan buah nanas yang hanya tumbuh di daerah tropis sebagai pengganti isian kue.

“Itulah ada proses modifikasi, artinya di tangan orang-orang di Hindia Belanda berbeda dengan apa yang dihasilkan di Belanda sana. Kalau kita perhatikan bentuk nastar dan kastengel yang ada di Belanda itu berbeda,” paparnya.

Selain keluarga Eropa, kalangan yang mengonsumsi kue-kue kering itu mulanya hanya keluarga priyayi atau ningrat sebab merekalah yang memiliki akses hubungan dengan orang-orang Eropa, hingga kemudian dibuat di rumah-rumah tangga pribumi kebanyakan.

Pada masa itu, menurut Fadly, antara keluarga priyayi dan keluarga Eropa memiliki hubungan yang berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi atau bisnis, itu memang membuka hubungan yang terbuka dalam kaitan hantar-menghantarkan makanan.

Tradisi hantaran tak hanya terjadi saat Idul Fitri. Sebaliknya, ketika momen hari raya bagi orang-orang Eropa tiba, seperti Natal, maka keluarga pribumi juga turut menghantarkan makanan tradisional.

“Tidak heran kalau pada masa kolonial orang Eropa juga mengenal makanan-makanan khas pribumi, ya, seperti tertulis dalam buku-buku masakan berbahasa Belanda. Mereka bukan hanya menikmati makanan Eropa, tapi juga apa yang dinikmati pribumi,” ungkapnya.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here