Bogordaily.net– Revisi Undang-Undang (RUU) tentang perubahan kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI. Buruh pun menolak revisi UU PPP tersebut dan bakal melakukan aksi demo besar-besaran.
Aturan tersebut menjadi landasan hukum untuk memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Partai Buruh bersama dengan elemen Serikat Buruh pun berjanji akan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran pada 8 Juni 2022 di depan Gedung DPR RI. Aksi dilakukan dalam rangka merespons terhadap disahkannnya Revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP).
“Partai Buruh bersama elemen Serikat Buruh akan mengambil langkah-langkah melakukan aksi besar-besaran pada tanggal 8 Juni 2022 yang melibatkan puluhan ribu buruh di DPR RI. Dan secara bersamaan aksi dilakukan serempak di puluhan kota industri lainnya yang dipusatkan di Kantor Gubernur,” kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal kepada wartawan sebagaimana dilansir dari Suara.com, Selasa, 24 Mei 2022.
Menurut Said, revisi undang-undang tersebut hanya sebagai akal-akalan hukum saja. Menurutnya revisi tersebut hanya akal-akalan dalam memperbaiki UU Omnibus Law Cipta Kerja.
“Hanya sebagai akal-akalan hukum agar omnibus law UU Cipta Kerja bisa dilanjutkan pembahasannya agar bisa segera disahkan,” jelasnya.
Lebih jauh Said menyampaikan, setidaknya ada dua alasan mengapa pihaknya menyatakan menolak terhadap revisi UU PPP. Pertama, dari sisi pembahasan di Baleg DPR RI, revisi UU PPP tersebut bersifat kejar tayang.
Alasan kedua, dari sisi revisi UU PPP tersebut, PartaI Buruh dan elemen serikat pekerja ada tiga hal prinsip yang berbahaya bagi publik.
“Pertama, revisi UU PPP hanya untuk sekedar memasukkan omnibus law sebagai sebuah sistem pembentukan undang-undang. Padahal Omnibus Law UU Cipta Kerja ini ditolak oleh seluruh kalangan masyarakat termasuk buruh,” ungkapnya.
Kedua, kata dia, dalam proses pembentukan undang-undang tidak melibatkan partisipasi publik secara luas karena cukup dengan dibahas di kalangan kampus tanpa melibatkan partisipasi publik, maka sebagai undang-undang sudah dapat disahkan.
Ketiga, yang lebih berbahaya menurut Said, dalam revisi UU PPP ini diduga memungkinkan dua kali tujuh hari sebuah produk undang-undang yang sudah diketuk di sidang paripurna DPR dapat berubah.***