Bogordaily.net – Orde Baru (Orba) 1998, perjuangan para aktivis, pemuda dan mahasiswa membuahkan hasil atas keringat yang mereka korbankan. Perjuangan mereka tidak sia-sia dengan ditandai lengsernya Soeharto sebagai sang penguasa Indonesia selama 3 dekade.
Usai Soeharto lengser, hirarki masyarakat Indonesia lebih demokrasi. Seluruh masyarakat dapat lantang bersuara, tanpa rasa takut.
Dihari Kebangkitan Nasional, dan mengenang 24 tahun reformasi setelah Orba 1998, Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule, menuliskan pidato politik untuk menyadarkan kembali makna dan tujuan utama dari perjuangan 1998.
Iwan Sumule merupakan bagian dari aktivis 1998 yang hingga kini bersama ProDEM konsisten menjaga demokrasi tetap terjaga di negeri ini.
Berikut petikan lengkap pidato Ketum ProDEM Iwan Sumule menyambut 24 tahun reformasi, mengenang masa orba 1998.
Assalamualaikum wr. wb.
Shalom
Salam Kebajikan
Om Swastiastu
Namo Buddhaya
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang kita terima
Yang saya banggakan,
Saudara-saudara pejuang demokrasi, rekan-rekan aktivis, mahasiswa, seniman, buruh, tani, jurnalis, TNI, Polri, dan seluruh rakyat Indonesia.
Saat ini, kita memasuki tahun ke-24 reformasi. Mei 1998, adalah momentum perubahan yang merupakan titik kulminasi dari serangkaian perjuangan yang dilakukan para pejuang pro demokrasi di era Soeharto. Buahnya, Soeharto berhenti sebagai Presiden RI.
Bagi kita yang merasakan bagaimana sesaknya napas kebebasan di era otoritarian Orde Baru, tentu merasakan nikmatnya napas demokrasi yang lega pasca tumbangnya rezim Orde Baru.
Keran demokrasi telah dibuka dan kebebasan dirayakan setelah sebelumnya dibuat mampet oleh kekuasaan yang berkarat dan menyumbat suara rakyat.
Reformasi, menjadi momen yang melepaskan cekikan kekuasaan otoriter pada leher demokrasi. Reformasi datang seperti Ratu Adil yang didambakan sekian purnama.
Namun demikian, ketika orang-orang euforia, kegirangan dengan kebabasan yang diperoleh, orang-orang mulai mengalami kebingungan di tengah kebebasan. Disorientasi.
Saudara-saudara pejuang demokrasi, rekan-rekan aktivis, mahasiswa, seniman, buruh, tani, jurnalis, TNI, Polri, dan seluruh rakyat Indonesia.
Saat-saat di mana reformasi kehilangan arah ini, menjadi momen bagus yang dimanfaatkan oleh mereka yang berwatak jahat untuk menyelewengkan reformasi. Mereka membuat reformasi mengalami degradasi makna.
Reformasi bukan lagi menjadi mantra sakti melawan rejim Tirani seperti sediakala. Di tangan para penyeleweng, reformasi menjadi sekadar label dagangan politik segelintir kalangan yang mengklaim memiliki saham pada perubahan nasib bangsa.
Sementara di sisi lain, demokrasi yang konon dielu-elukan sebagai sistem ideal yang menjanjikan kesetaraan, dibajak oleh sekawanan oligarki. Dan sungguh ironis ketika kita harus menyaksikan para penyeleweng reformasi menyelundupkan makna demokrasi di pasar gelap politik. Turut ambil posisi menjadi sekrup dari sistem oligarki.
Jika demokrasi liberal yang ada mensyaratkan banyak uang untuk dapat mengakses kesetaraan hak dalam berbagai aspek, maka mustahil bagi rakyat banyak untuk bisa mengambil bagian dalam demokrasi tersebut.
Dengan besaran uang dalam jumlah tertentu sebagai syarat untuk mengakses kesamaan hak, maka demokrasi yang ada hanya dapat diakses oleh mereka yang punya uang sebagai modal membeli tiket kesetaraan.
Hal ini berarti, demokrasi hanya milik segelintir kalangan yang punya uang. Demokrasi yang sesungguhnya milik seluruh rakyat, dirampok oleh para oligarki dan berubah menjadi sistem oligarki.
Saudara-saudara pejuang demokrasi, rekan-rekan aktivis, mahasiswa, seniman, buruh, tani, jurnalis, TNI, Polri, dan seluruh rakyat Indonesia.
Menyikapi kondisi demikian, saya mengajak siapapun yang merasa memiliki saham dalam perubahan nasib bangsa pasca reformasi, untuk menyadari kebobrokan keadaan ini serta turut andil mengungkap penyelewangan reformasi.
Saya juga berharap agar para pejuang pro demokrasi bersama segenap rakyat menyadari bahwa demokrasi telah dirampok dan rakyat kecil tak memiliki akses untuk menikmati kesetaraan dan kesejahteraan.
Demokrasi yang diperjuangkan saat reformasi dengan darah dan jiwa, tak boleh lagi hanya sampai di dalam pagar istana dan rumah kaum berpunya, tetapi demokrasi harus hadir dalam setiap kehidupan dan sampai ke piring-piring rakyat.
Saatnya, kita kembali bersama selamatkan Indonesia dan luruskan jalan reformasi yang telah diselewengkan dan demokrasi yang telah dirampok oligarki.***