Bogordaily.net – Petro dan Marquez. Dua orang ini tak pernah menyangka bakal memenangkan Pilpres Kolombia dan menjadi presiden dan wakil presiden. Padahal, keduanya adalah mantan gerilyawan dan mantan Asisten Rumah Tangga (ART).
Keduanya adalah Perto sang mantan gerilyawan dan Francia Marquez sang mantan ART.
Petro. Pria berusia 62 tahun ini menyebut kemenangannya sebagai “kemenangan bagi Tuhan dan bagi rakyat”.
“Semoga banyak penderitaan dibalut oleh kegembiraan yang hari ini membanjiri jantung tanah air,” tulis Petro di Twitter.
Wakil Petro dalam kontestasi politik tersebut adalah Francia Marquez, orang tua tunggal dan mantan asisten rumah tangga. Dia akan menjadi wakil presiden perempuan kulit hitam pertama di negara itu.
Dalam sebuah video yang diunggah di media sosial, Hernandez, yang menjalankan kampanye non-tradisional dengan bergantung pada TikTok dan media sosial lainnya, mengakui kemenangan Petro.
“Warga Kolombia, hari ini mayoritas penduduk telah memilih calon lain. Seperti yang saya katakan selama kampanye, saya menerima hasil pemilihan ini,” katanya.
“Saya berharap Gustavo Petro tahu bagaimana menjalankan negara dan setia pada wacananya melawan korupsi,” tambahnya.
Presiden Ivan Duque, yang dilarang mencalonkan diri kembali karena batasan masa jabatan presiden di Kolombia, mengatakan melalui akun Twitter bahwa dia telah menelepon Petro untuk memberi selamat.
Dia juga berkata keduanya telah “sepakat untuk bertemu dalam beberapa hari mendatang untuk memulai transisi yang harmonis, institusional dan transparan”.
Dalam kampanyenya, Petro – mantan anggota gerakan gerilya M-19 – menjalankan manifesto radikal dan berjanji memerangi ketidaksetaraan dengan menyediakan pendidikan universitas gratis, reformasi pensiun, dan pajak tinggi atas tanah yang tidak produktif.
Dia juga berjanji untuk sepenuhnya menerapkan kesepakatan damai 2016 yang mengakhiri konflik selama 50 tahun dengan kelompok gerilya komunis, FARC, dan untuk mencari negosiasi dengan pemberontak ELN yang masih aktif.
Suasana perayaan kemenangan Gustavo sangat bersahaja. Di atas panggung dan di keramaian pendukungnya, para warga berdansa salsa – menikmati tiap momen pemilu yang tiada duanya.
Di negara yang mengalami konflik sipil selama puluhan tahun, para kritikus Gustavo Petro menyoroti perannya sebagai mantan pemberontak dan berpendapat bahwa rencana ekonominya akan memicu malapetaka bagi negara itu.
Tapi janjinya tentang inklusi dan mengatasi kemiskinan bergema di negara yang sangat tidak setara ini.
Bagi Ana Beatriz Acevedo, yang mewakili perempuan Afro-Kolombia, pemilihan tersebut menandai perubahan besar bagi negara tersebut.
“Salah satu masalah negara ini adalah ketidaksetaraan – dalam komunitas kulit hitam dan masyarakat adat, di antara para perempuan,” ujarnya.
“Dan mereka (Petro dan Marquez) mewakili perbedaan itu – satu adalah ras campuran, dan yang lain berkulit hitam – dan keduanya percaya pada inklusi.”
Menyebut hasil pemilu sebagai pemilu bersejarah adalah suatu hal yang klise, tetapi ini benar-benar terjadi.
Ini adalah awal besar bagi negara konservatif ini dan menjelaskan banyak hal tentang seberapa banyak negara ini telah berubah.
Sekarang Kolombia akan memiliki pemimpin kiri pertama dan di sampingnya, wakil presiden kulit hitam pertama – dan itu berbicara banyak tentang keinginan untuk jalur politik yang berbeda.
Kampanye tersebut menandai pencalonan ketiga Petro sebagai presiden. Dia berada di peringkat keempat pada 2010, dan kalah dalam putaran kedua oleh Duque pada 2018.
Kendati beberapa rencananya mengejutkan investor – termasuk rencana larangan proyek minyak bumi baru – banyak pemilih mengatakan mereka memilih dia untuk mengatasi beberapa masalah rumit yang dihadapi Kolombia, seperti korupsi, kemiskinan dan gelombang kekerasan politik.
Tapi Petro akan menghadapi tantangan dari kongres yang terpecah-pecah, sebab Kongres Kolombia berisi perwakilan lebih dari selusin partai.
“Mengingat tingkat polarisasi saat ini dan krisis politik, ekonomi, sosial dan kemanusiaan yang ada, pemerintah Petro akan menghadapi tantangan yang signifikan,” kata Prof Arlene Tickner, dosen hubungan internasional di Universitas Bogota, kepada BBC.
Sumber: suara.com