Bogordaily.net – Puluhan petani eks penggarap lahan sebagai penerima redistribusi lahan eks HGU PT Rejo Sari Bumi datangi Gedung DPRD Kabupaten Bogor, pada Selasa, 28 Juni 2022.
Kedatangan para petani penerima redistribusi lahan ke gedung DPRD Kabupaten Bogor tersebut untuk mengadukan dugaan penjualan paksa yang dilakukan aparat pemerintahan desanya. Keluh kesah para petani tersebut ditampung Ketua DPRD Kabupaten Bogor Rudy Susmanto.
Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Rudy Susmanto mengatakan penerima redistribusi lahan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu baik. Sebab, petani di Desa Pancawati dan Desa Cimande, Caringin yang awalnya tidak memiliki sawah atau kebun kini telah memiliki lahan.
Namun, sayangnya ketika tanah eks HGU PT Rejo Sari Bumi tersebut jadi milik petani berupa sertifikat hak milik (SHM), sertifikat tersebut tidak sampai di tangan petani tetapi aparatur desa. Rudy menyebutkan, di kemudian hari para petani dipaksa menjual sawah atau kebunnya.
“Puluhan petani mengadukan dugaan penjualan paksa sawah atau kebunnya dengan nilai layaknya over alih garap, padahal mereka sebenarnya memiliki SHM, hasil program Presiden Jokowi,” ucapnya.
Lanjutnya menerangkan, sejak SHM tersebut diterbitkan oleh Kantor ATR/BPN Kabupaten Bogor para petani tidak pernah menerima SHM sawah maupun kebunnya.
Ada modus SHM para petani ditahan oleh aparatur desa, lalu diperjual belikan ke pihak-pihak tertentu yang jelas sesuai aturan melanggar, karena SHM hasil redistribusi tanah tidak bisa diperjual belikan selama 10 tahun. Saya akan ambil langkah lebih lanjut permasalahan ini ke Kantor ATR/BPN, Polres dan Kejaksaaan Negeri Kabupaten Bogor,” jelasnya.
Sementara, Politisi Partai Gerindra ini menuturkan, ada ancaman saat aparatur desa memberikan uang kerahiman (layaknya over alih garap), kalau uang tidak diterima, maka sawah dan kebun mereka juga akan diambil.
“Ada ancaman dalam proses pemberian uang kerahiman dimana nilainya Rp5.000 per meter, walaupun mereka tidak mengambil uang kerahiman tersebut, tanah mereka pun tetap diambil oleh aparatur desa,” pungkasnya.
(Albin Pandita)