Bogordaily.net – Sampai saat ini sejak Negara mencanangkan Perang terhadap Narkotika sekitar tahun 2015, belum terlihat hasil yang secara dignifikan terlihat. Sejauh ini upaya Negara masih terfokus pada Pemberantasan bukan pada Penanggulangan atau Pencegahan.
Berdasarkan Diseminasi Data Penelitian Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Perkara Narkotika di Indonesia. Studi Tindak Perkara Tindak Pidana Narkotika Golongan 1 Tahun 2016-2020 (Pasal 111-116 dan Pasal 127 UU Narkotika 35 Tahun 2009) yang dikeluarkan IJRS ( Indonesia Judicial Research Society ).
Putusan yang diteliti adalah Putusan Narkotika Dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung ( Se – Indonesia ) dalam kurun waktu 2016 -2020 : Peredaran Gelap Narkotika ( Pasal 111 -116 UU Narkotika ) sebanyak 1.535 Perkara dan 616 Terdakwa, sedangkan Penyalahguna Narkotika (pasal127 UU Narkotika) sebanyak 1,634 Perkara dan 745 Terdakwa.
Berdasarkan demografi perkara peredaran gelap Narkotika (pasal 111-116 UU Narkotika) bahwa Mayoritas terdakwa Peredaran Gelap Narkotika berada dalam rentang usia dewasa, yaitu Dewasa Awal (26-35 tahun) 36,0%. Dewasa Akhir (36-45 tahun) 29,7%, dan rentang Usia Remaja (18-25 tahun) 24,5%. Sehingga hampir seluruh terdakwa peredaran gelap Narkotika termasuk kedalam usia produktif.
Berdasarkan jenis kelamin sebanyak 93,5% terdakwa peredaran gelap Narkotika adalah laki – laki dan sisanya sebanyak 6,5% perempuan. Dari seluruh terdakwa peredaran gelap Narkotika 44,6% peran terdakwa dalam peredaran gelap Narkotika adalah pengguna terakhir/ end user (2 dari 5 terdakwa peredaran gelap Narkotika adalah pengguna terakhir/ end user).
Pengguna terakhir atau end use adalah orang yang melakukan perbuatan seperti : memiliki, menyimpan, menguasai, atau membeli Narkotika dengan tujuan digunakan sendiri (konsumsi pribadi).
Alih –alih dikenakan pasal penyalahguna Narkotika (pasal 127 UU Narkotika ) mereka justru dikenakan pasal peredaran gelap Narkotika (umumnya pasal 111 dan 112 UU Narkotika ) dengan ancaman pidana minimum khusus 4 tahun penjara. Sedangkan terdakwa peredaran gelap Narkotika sebagai bandar hanya 12, 9% dan produsen 0,4%.
Dari data ini terlihat Pemerintah dalam hal ini Penegak Hukum masih menitikberatkan pada kasus – kasus kecil. Dari sisi jenis barang bukti pada perkara peredaran gelap Narkotika yang sering digunakan adalah jenis sabu 79,2% dan diurutan kedua Ganja 9,7%.
Sebanyak 38,8% dari seluruh terdakwa peredaran gelap Narkotika memiliki sebagai karakteristik pengedar sabu dengan berat bersih (netto) tidak lebih atau kurang dari 1 gram.
Sementara itu pada perkara peredaran gelap Narkotika 1,8% dari seluruh terdakwa peredaran gelap Narkotika dengan karateristik sebagai pengedar ganja dengan berat bersih (netto) tidak lebih atau kurang dari 5 gram ( pengedar kecil ).
Bahkan berdasarkan data yang ada, dua dari lima terdakwa perkara peredaran gelap Narkotika di Indonesia mengedarkan Narkotika dengan jumlah sangat kecil.
Hal ini bertentangan dengan SEMA ( Surat Edaran Mahkamah Agung ) No 4 Tahun 2010 telah menentukan bahwa : Rentang pemakaian Narkotika 1 ( satu ) hari untuk jenis Sabu adalah tidak lebih atau kurang dari 1 gram, dan Rentang pemakaian Narkotika 1 ( satu ) hari untuk jenis Ganja adalah tidak lebih atau kurang dari 5 gram.
Adapun ketentuan rentang pemakaian Narkotika 1 ( satu ) hari adalah (salah satu) persyaratan ambang batas penggunaan Narkotika untuk direhabilitasi.
Berarti 40,6% (38.8 + 1,8) dari seluruh terdakwa peredaran gelap Narkotika telah memenuhi (salah satu) persyaratan Rehabilitasi. Hal ini menjadi wajar bila LAPAS diseluruh Indonesia kelebihan kapasitas, dikarenakan target perang Narkotika (War on Drug ) tidak tepat sasaran.
Melihat sebagian dari data ini Kami Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia ( PKNI ) menyampaikan melalui saudara Bonny Sofianto (HUMAS) yang juga sebagai Koordinator untuk wilayah Bogor (PKN Bogor) mengharapkan Pemerintah yang dalam hal ini Dinas Terkait, seperti Aparat Penegak Hukum, Keplisian RI, KEJAKSAAN, KEHAKIMAN dan BNN RI untuk perang terhadap narkotika dengan mengkaji ulang pendekatan penanggulangan permasalahan Narkotika dengan lebih humanis dan mengedepankan faktor kesehatan dan sosial, dan bukan lagi Memerangi ( War on Drug ).
Untuk itu Kami PKNI ( Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia ) sebuah Jaringan yang “ Memperjuangkan hak – hak korban NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) selayaknya masyarakat pada umumnya”, menghimbau:
- Pemerintah lebih mengedapankan Pencegahan bukan pemberantasan/ Penghukuman.
- Membukanya akses seluas2 nya bagi para penyalahguna, pengguna dan korban NAPZA, baik kesehatan, sosial, ekonomi, pendikan agar komunitas dapat kembali produktif dan kembali ke fungsi sosialnya.
- Memberikan informasi Narkotika berbasis bukti atau berdasarkan fakta bukan mitos.
- Perlakuan atau tindakan yang sama pada permasalahan Narkotika dimata hukum.
- Pemberantasan Narkotika tidak hanya fokus pada pengguna atau kurir/ bandar kecil.
- Mengedepankan Rehabilitasi sukarela bukan Rehabilitasi secara paksa.
- Dikarenakan penyakit adiksi (kecanduan) adalah masalah kesehatan dan sosial, maka bentuk yang ideal dalam penanganan pada masalah ini lebih mengedepankan kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi dan bukan penghukuman
- Penanganan masalah kecanduan setiap orang disesuaikan dengan situasi kondisi orang tersebut berdasarkan penilaian/ asesmen yang dilakukan pelaksana yang berkompetensi.
- Permudah pengajuan proses penilaian tingkat permaslahan pada tersangka kasus Narkotika melalui sistem dan pelasana Tim Asesmen Terpadu. Batas waktu pengajuan proses penilaian satu minggu setelah penangkapan, dirasa terlalu singkat.
- Pelibatan Konselor Adiksi dan Paralegal dari Komunitas pada proses penilaian (pada proses TAT) permasalahan terdakwa dirasa dapat menjadi kelengkapan informasi dan objektif, sebagai dasar putusan yang sesuai bagi tersangka.
- Pelibatan komunitas dalam menangani permasalahan Narkotika dan dukungan penuh Pemerintah dalam menangani permasalahan yang ada.
- Pendekatan humanize dirasa lebih bekerja daripada memerangi.
- Peringatan HANI bukan sebagai selebrasi tapi lebih kepada mengingatkan mengenai permasalahan, kegiatan sosial yang dilakukan komunitas dirasa lebih bermakna untuk menghilangkan stigma bagi pengguna Narkotika.
- Hak rehabilitasi untuk semua, bukan pada kalangan tertentu. Tidak semua orang yang mempunyai permasalahan penggunaan Narkotika dari kalangan berada.
- Sesuai dengan SE/01/II/018/Bareskrim tentang Petunjuk Rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalagunaan Narkotika yang berlaku di tingkat penyidikan. Lembaga Rehabilitasi yang menjadi Bantaran memiliki Standart Nasional Indonesia agar tidak terjadi penyelewengan pada prosesnya.***