Bogordaily.net– Isu redenominasi rupiah kembali mencuat. Wacana Rp1.000 diganti menjadi Rp1 yang dulu sempat digaungkan dan mereda kini mulai jadi sorotan lagi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo buka suara terkait isu redenominasi rupiah yang kembali hangat minggu ini.
Perry yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), menyebut sudah banyak kajian dan pandangan terkait dengan redenominasi, termasuk dari ISEI.
“Dari sisi ekonominya, ada banyak manfaat dari redenominasi terutama masalah efisiensi,” kata Perry, dalam konferensi pers hasil Rapat Pleno XXII ISEI dan Seminar Nasional 2022, Rabu, 24 Agustus 2022 sebagaimana dilansir CNBC Indonesia.com.
Salah satu manfaatnya kata dia dapat dilihat dari sisi teknologi sistem pembayaran. Dengan pemangkasan tiga nol, maka transaksi perbankan akan lebih cepat.
“Transaksi tanpa nol tiga, penyelesaian transaksi akan lebih cepat,” papar Perry.
Namun, ia berpesan kondisi ekonomi harus normal sebelum melakukan kebijakan redenominasi rupiah. Berkaca pada negara lain, mereka melakukannya dalam kondisi normal. Ia juga meminta agar tidak dilakukan pada saat krisis.
“Kalau lagi kuat dan tenang baru diajukan,” imbuhnya.
Sebagai Gubernur BI dan Ketua UmumISEI, Perry mendukung penuh upaya dan keputusan pemerintah terkait dengan redenominasi.
Sementara itu wacana redenominasi rupiah muncul setelah BI meluncurkan mata uang Garuda tahun emisi 2022. Dalam mata uang baru ini, terdapat tampilan nominal pecahan tanpa menyertakan lagi tiga nol di belakang.
Terpisah anggota DPR RI Komisi XI Mukhamad Misbakhun menilai saat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan redenominasi rupiah Rp1.000 diganti menjadi Rp1.
Jika redenominasi harus menunggu stabilitas ekonomi, Misbakhun yakin secara teoritas, kondisi stabil tidak dapat dicapai dengan kondisi geopolitik saat ini.
“Justru sekarang adalah momentum terbaik, to show to the world, di saat dunia dilanda resesi,” ujarnya.
Menurutnya, di saat negara-negara dunia dilanda kenaikan defisit, Indonesia mampu mengelola defisit di bawah 10%.***