Friday, 29 March 2024
HomeBeritaPembentukan Karakter, Inner Child Terluka dan Toxic Parenting

Pembentukan Karakter, Inner Child Terluka dan Toxic Parenting

Bogordaily.net – Pada tiap periode kehidupan, semua orang punya tugas-tugas perkembangan tersendiri. Contohnya pada masa kanak-kanak, ada tugas terkait pembentukan , baik berupa kepercayaan diri, disiplin dan sebagainya.

Ketika ada pemenuhan tugas pada satu periode kehidupan yang terhambat karena pola pengasuhan yang tidak ideal, itu bisa jadi kegagalan dalam pengasuhan. Kita bayangkan hidup kita seperti sebuah usaha bisnis.

Ketika kita punya utang di bisnis terdahulu, terus mau membuka bisnis baru, biasanya lebih berat. Biasanya kita punya harapan lebih di bisnis baru, bahwa dia bisa mengisi atau membayar utang bisnis yang lama. Begitu juga dengan .

adalah konsep yang menggambarkan sifat dan sikap kekanak-kanakan yang mungkin dimiliki setiap orang. Meski begitu, kondisi yang terdapat di dalam setiap individu ini tidaklah sama. Pasalnya, hal tersebut terbentuk dari pengalaman saat masih anak-anak.

bisa digambarkan sebagai bagian dari diri Anda yang tidak ikut tumbuh dewasa dan tetap menjadi anak-anak. Artinya, bagian ini terus menetap dan bersembunyi di dalam diri Anda.

Bagian ini menggenggam erat setiap ingatan dan emosi yang pernah Anda alami saat masih kecil, baik yang indah maupun yang buruk. Dengan kata lain ini bisa muncul kapan saja ketika seseorang sudah dewasa.

Maka dari itu yang indah ketika muncul tidak terlalu mengganggu akan tetapi jika ini terluka dengan kata lain memiliki trauma ketika muncul itu adalah gambaran masa kecilnya.

Sepanjang ingatannya yang bisa jadi bias karena pada orang depresi biasanya, ingatan tentang hal buruk lebih kuat dibandingkan hal baik. Yang dirasakannya, 80% cara berkomunikasi sang mama itu tidak enak padanya. Mulai dari nada tinggi, mengungkit masalah lama, hingga mempersoalkan hal yang seharusnya tidak jadi persoalan.

Sebagian besar orangtua menyayangi anaknya sepenuh hati. Namun ekspresi cintanya bisa jadi sembilu bagi si anak ketika ‘bahasa cinta' yang dipakai tak sama.

Orangtua mau jadi anaknya mandiri dan kuat dengan jalan memperlakukannya secara keras, sedangkan anak ingin orangtuanya lebih lemah lembut dan peka terhadap kondisinya yang seringkali tak orang tua mengerti.

Ada anak yang senang dipeluk, ada yang merasa diapresiasi dengan pemberian barang tertentu, ada juga yang merasa lebih dicintai lewat kata-kata. Sayang sekali bila orangtua mengabaikan atau memaklumkan hal ini dengan dalih “orangtua selalu tahu yang terbaik buat anak-anaknya”.

Secara psikologis, pengalaman kecewa atau tersakiti otomatis membuat orang membangun pertahanan diri agar tidak terjadi lagi di kemudian hari. Pertahanan diri kita berwujud kemandirian karena kita tidak mau orang tua kita punya alasan untuk menyuruh kita ini itu lagi.

Kita hanya cukup membuktikan bahwa kita bisa menjalani hidup kita sendiri tanpa bantuan mereka, seberapa pun susah itu.
Ada empat gaya pola asuh yang kerap ditemukan dalam masyarakat. Apa sajakah itu?

Pertama, gaya otoriter. Di sini orangtua menegakkan hierarki kuasa dalam pengasuhan; mereka benar-benar mengontrol anaknya, tidak memberikan kebebasan sekalipun anak telah beranjak remaja, bahkan dewasa, dan kerap memakai mekanisme pendisiplinan.

Kedua, gaya permisif.

Orangtua cenderung toleran kepada anak dan longgar dalam peraturan atau kedisiplinan. Orang tua bergaya pengasuhan ini menunjukkan rasa sayangnya dengan memberi anak kebebasan untuk mengambil keputusan, bahkan yang besar sekalipun, dan mengesampingkan soal tanggung jawab anak.

Meskipun mereka membuat sejumlah aturan, tidak jarang hal tersebut diterapkan secara inkonsisten karena ada tujuan menghindari permusuhan. Mereka juga mungkin melakukan strategi menyuap dengan mainan atau barang-barang kesukaan anak supaya si anak berlaku baik.

Ketiga, gaya pegabaian.

Orangtua memusatkan perhatian pada dirinya sendiri dan jarang terlibat dalam pengasuhan anak. Tidak ada aturan tegas, begitu pula dengan kehangatan kasih sayang orang tua – anak di dalamnya.

Keempat, gaya otoritatif. Adalah gaya yang paling ideal.

Mereka yang menerapkan gaya pengasuhan ini cenderung suportif kepada anaknya, tetapi tetap menegakkan batasan tertentu. Ketika anak dididik tidak boleh menangis karena sikap itu dianggap akan membuatnya kuat, sebenarnya orang tua malah membentuk jiwa anak menjadi rapuh. Ia bisa saja terlihat tangguh secara fisik, tetapi emosi-emosi negatif yang terpendam sejak lama dalam dirinya atas nama tangguh sedang menggerogoti mentalnya.

Tinggal menunggu waktu sampai itu tumpah, atau justru terekspresikan secara merusak lewat kemarahan atau kekerasan.
Sejak usia dini, seseorang sudah punya emosi dan selayaknya orang dewasa, dapat merasakan sakit bila emosi yang ia rasakan tidak diakui dan diterima oleh orang terdekatnya.

Upaya pemaksaan orang tua bisa berdampak panjang pada anak. Ibarat dipaksa memakai sepatu kesempitan yang membuat kaki lecet, jiwa anak pun bisa terluka dan bekasnya akan senantiasa terlihat.

Sementara dalam kasus-kasus lain, pemaksaan dapat terlihat dari bagaimana anak-anak kecil dimasukkan oleh orang tuanya dalam berbagai kursus, jurusan studi, pekerjaan, bahkan jodoh dengan tipe tertentu tanpa melibatkan kehendak anak, hanya karena orangtuanya ingin mewujudkan impian masa muda yang gagal terealisasi.

Orang tua lupa bahwa anak bukan buku kosong tempat mereka bebas menorehkan apa saja sekehendak mereka. Mereka abai bahwa peran orang tua yang ideal adalah sebagai pembimbing, pemandu atau fasilitator, bukan atasan, penguasa, apalagi diktator.

Orangtua yang mengasuh secara tidak ideal dan menimbulkan luka pada diri anaknya adalah sosok yang juga punya  terluka da tidak disadari.

Penulis : Muhammad Ijlal Fauzi. Mahasiswa Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here