Sunday, 6 October 2024
HomeKabupaten BogorIUQI Bogor Adakan Khotmil Qur’an dan Kajian Rutin, Ini Pembahasannya

IUQI Bogor Adakan Khotmil Qur’an dan Kajian Rutin, Ini Pembahasannya

Bogordaily.net–  Institut Ummul Quro Al-Islami (IUQI) Bogor mengadakan Khotmil Qur’an dan kajian rutin bagi mahasiswa, dosen, dan staf kampus untuk menghafal Al-Qur’an sampai 30 juz.

Kajian ini bertempat di Masjid Al-Hasyimi yang berada di area lingkungan Kampus IUQI Bogor, Jalan Mohnoh Nur No.112, Leuwimekar, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

Dalam kegiatan Khotmil Qur’an dan kajian rutin ini diisi pemateri dari kampus IUQI Bogor yakni Dekan FEBI IUQI Bogor Jamaludin dan membahas seberapa besar berpengaruh peran alumni perguruan tinggi Islam ditengah masyarakat, desa yang menganut paham Islam tradisional.

“Ketika kalian memperhatikan secara seksama dan mendalam, terkait pengaruh peran mahasiswa alumni perguruan tinggi Islam ditengah masyarakat desa yang masih memegang teguh prinsip-prinsip Islam Tradisional. Islam tradisional yang seperti kita ketahui yaitu Islam Tradisionalis yang diarahkan kepada masyarakat pedesaan yang dalam hal ini diwakili oleh masyarakat NU dan kelompok Islam Modernis yang ditujukan kepada masyarakat perkotaan yang diwakili oleh masyarakat Muhammadiyah, sampai sekarang ini masih terus melekat dan menghegemoni,” ujar Dekan FEBI IUQI Bogor Jamaludin, MEI, Kamis, 3 November 2022.

Akibatnya, kata Jamaludin, kelompok NU selalu dianggap sebagai kelompok yang terbelakang dan rigid, sedangkan kelompok Muhammadiyah selalu diaggap sebagai kelompok yang dapat mengantisipasi perkembangan zaman.

“Berbicara tradisionalisme spontanitas kita akan menjawab bahwa kata ini berasal dari akar kata  tradisi, tradisi itu sendiri adalah segala hal yang ada di tengah-tengah masyarkat yang menjadi suatu kebiasa-kebiasan yang mendarah daging serta melekat menjadi suatu budaya yang menjadi ciri tersendiri yang membedakan suatu masyarakat dengan masyarkat lainnya di wilayah lain. Saya coba mengutip menurut Nasr, dalam jurnal Islam Tradisionalis dan Modernis,” jelas Jamaludin.

Kemudian telaah historis atas tipologi masyarakat Islam Indonesia, apa yang dimaksud dengan istilah “tradisi” sebagaimana digunakan kaum tradisionalis mengacu kepada wahyu Allah dan pengungkapan atau pengejawantahan wahyu tersebut dalam kehidupan historis manusia di lingkungan tertentu.

Institut Ummul Quro Al-Islami (IUQI) Bogor mengadakan Khotmil Qur’an dan kajian rutin bagi mahasiswa, dosen, dan staf kampus untuk menghafal Al-Qur’an sampai 30 juz. (Istimewa/Bogordaily.net)

“Karena itu tradisi mencakup tiga aspek penting. Pertama, al-din dalam pengertian seluas-luasnya, yang mencakup seluruh aspek agama dan ramifikasinya; kedua, al-sunnah, yang terbentuk dan berkembang berdasarkan model-model sakral, sehingga menjadi tradisi dan ketiga, silsilab, yakni mata rantal yang menghubungkan setiap periode, episode, atau tahap kehidupan dan pemikiran dalam dunia tradisional kepada yang maha awal,” ungkapnya.

Singkatnya, menurut Jamaludin, “tradisi” mengandung makna segala kebenaran sakral, abadi kebijaksanaan perennial dan penerapannya yang terus menerus dari prinsip-prinsipnya yang abadi kepada berbagai kondisi ruang dan waktu.

“Di dalam masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society) tentu saja “mahasiswa Islam” sebagai masyarakat yang memiliki integritas dan intelektual diharapkan peka dan cepat merespon segala bentuk perubahan sekaligus memberi jawaban terhadap segala persoalan yang muncul sebagai akibat dari kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi,” paparnya.

Pada masa ini, masyarakat kampus diharapkan tidak lagi hanya menjadi masyarakat “konsumen” atau masyarakat pendengar, pemakai dan penonton tetapi mampu menjadi masyarakat “produsen”.

Dan yang menjadi pelaku dari skenario perkembangan, dari sudut pandang yang berbeda bahkan ada anggapan bahwa mahasiswa tidak produktif, cenderung konsumtif bahkan dianggap bahwa mahasiswa sebagai beban masalah ditengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Opini terkait hal ini, kata Jamaludin, tentu juga tidak bisa dibenarkan sepenuhnya dan juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya, ada peran-peran lain yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya mahasiswa Islam yang unggul dan memililiki integritas yang tinggi, pertama motivasi yang besar dalam diri mahasiswa tersebut.

“Kedua peran keluarga dan lingkungan masyarkat dalam membentuk, sikap dan sifat mahasiswa, ketiga peran perguruan tinggi dalam mendesain kurikulum yang terbaik guna menghasilkan mahasiswa-mahasiswa atau alumni yang unggul, memiliki integritas tinggi,” katanya.

Kemudian masyarakat Islam pada umumnya memiliki harapan besar terhadap mahasiswa alumni perguruan tinggi Islam, tentu tantangan dan harapan yang begitu besar ini harus dijawab oleh insan akademisi yang menjadi keprihatinan adalah apabila terdapat mahasiswa atau alumni perguruan tinggi Islam ini tidak mampu membaca dan menulis Al-Qur’an secara baik dan benar.

Tentu harapan besar ada dipundak para mahasiswa untuk pula dapat memahami isi kandungan Al-Qur’an sehingga mahasiswa perguruan tinggi Islam mampu menjawab exspektasi tinggi dari masyarakat sebagai calon pemimpin islam pada masa yang akan datang.

“Jangan sampai mahasiswa alumni perguruan tinggi Islam kehilangan identitas dan idealismenya. Apabila kita menelaah sejarah, maka kita akan menemukan betapa besarnya peran para cendikiawan muslim dalam perkembangan dan pembangunan bangsa serta negara kita ini, seperti di antaranya KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Abdul Karim Amrullah atau kita kenal Buya Hamka, KH. Abdurahman Wahid atau lebih kita kenal Gus Dur dan masih banyak lagi tokoh-tokoh cendekiawan muslim lainnya yang memiliki peran penting di tengah-tengah masyarkat dan bangsa ini,” bebernya.

Tentu peran dari pada para tokoh ini harus menjadi contoh bagi generasi mahasiswa muslim sekarang dan nanti untuk mencapai tujuan serta keinginan membentuk kader mahasiswa unggul dan memiliki integritas tinggi tentu saja tanggung jawab dan peran perguruan tinggi Islam sangat besar dan memiliki peran penting.

Dengan demikian, perguruan tinggi diharapkan mampu mengajarkan nilai-nilai tinggi pertama, terus memupuk keimanan dan ketakwaan serta menumbuhkan kembali nilai-nilai keislaman yang berdasarkan pada nilai-nilai ahlusunnah waljamaah, sehingga mahasiswa muslim tidak kehilangan identitasnya.

Kedua, kata Jamaludin, menanamkan disiplin intelektual, berpikir secara konsisten dan memiliki integritas pribadi, hingga dengan demikian, sehingga mahasiswa mampu memiliki problem solving dalam setiap masalah yang dihadapai, apabila mahasiswa sudah lulus menjadi alumni dan membaur dengan masyarakat sebenarnya.

Ketiga, mahasiswa menjadi agent of change sebagai kunci perubahan di dalam masyarkat, mahasiswa dibekali dengan ilmu pengetahuan sehingga para mahasiswa mampu menganalisis perubahan-perubahan ke depan sehingga mahasiswa atau alumni perguruan tinggi Islam mengajarkan kepada mahasiswa pokok-pokok pemikiran sebagai kunci memahami keadaan masyarakat yang selalu mengalami perubahan.

Mahasiswa dipersiapkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang mungkin timbul 30 atau 40 tahun yang akan datang, karena mereka akan menghadapi masalah yang berbeda dengan masalah yang kita hadapi sekarang.

“Harapan terbesarnya adalah bagaimana mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Islam mampu menjadi insna-insan yang tidak hanya unggul secara kecerdasan intelektual tetapi jauh dari pada itu adalah bagaimana mahaiswa-mahasiswa Islam di Perguruan tinggi Islam mampu menjadi manusia yang berkarater, memiliki jatidiri, yang unggul, memiliki iman yang kuat, ahlak yang baik, cerdas dalam berpikir dan bertingkah laku, memiliki integritas tinggi,” pungkasnya. (Ibnu Galansa)

Copy Editor: Riyaldi

 

Simak Video Lainnya dan Kunjungi Youtube BogordailyTV

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here