Bogordaily.net– Manusia diciptakan dengan membawa dua potensi atau disposisi yang sama-sama berkembang. Dua potensi ini tercantum dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syams, ayat 8-10, yang artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu “fujur” dan “takwa”, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya itu (dengan takwa), dan merugilah orang yang mengotorinya (dengan fujur)”.
“Fujur” merupakan disposisi yang mendorong individu untuk berkembang menjadi kafir, fasik, musyrik, munafik, atau jahat. Sedangkan “takwa” merupakan disposisi yang mendorong individu untuk berkembang menjadi mukmin, muslim, muhsin, atau muttakin. Apabila kondisi tersebut dalam perkembangannya berlangsung secara alami, maka potensi takwa akan mewujud ke dalam bentuk sikap, keyakinan, atau kepercayaan individu terhadap “thagut” (sembahan atau sesuatu yang diperuntukan selain Allah). Seperti terjadi pada masyarakat primitif yang menganut animisme atau dinamisme. Sedangkan yang “fujur” tampak dalam perilaku impulsif atau perilaku naluriah yang berlangsung pada pertimbangan akal sehat atau norma agama.
Supaya individu atau manusia berkembang menjadi seorang pribadi yang beragama (beriman dan bertakwa) dan mengembangkan budaya “rahmatan lil alamin” perlu diberi intervensi, dalam hal ini adalah pendidikan agama. Melalui pendidikan agama ini diharapkan individu dapat mengembangkan potensi “takwa” kepada-Nya. Apabila potensi ini berkembang dengan baik, maka individu akan mampu mengendalikan potensi “fujur”nya, supaya tidak berwujud dalam bentuk-bentuk perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang telah tertanam dalam dirinya. Problema yang terjadi dalam upaya mengembangkan potensi “takwa” ini adalah :
- Proses menanamkan nilai-nilai agama itu memerlukan waktu yang tidak sedikit dan memerlukan ketekunan, kepiawaian, dan kesabaran.
- Banyaknya faktor-faktor eksternal yang justru dorongan atau daya tariknya sangat kuat bagi berkembangnya potensi “fujur” individu, sehingga tidak sedikit perkembangan fujur ini mengkontaminasi takwanya. Apabila hal itu terjadi, maka pribadi individu itu akan diwarnai oleh akhlakul madmumah (akhlak yang buruk) yang pada gilirannya akan memunculkan perilaku-perilaku yang kurang baik, seperti pencurian, perjudian, perzinahan, pembunuhan, minum-minuman keras, ketidakjujuran, dan tidak amanah.
Konflik keyakinan dengan situasi kehidupan sosial:
Masalah besar yang terjadi dalam kehidupan adalah munculnya berbagai kondisi yang bertentangan dengan nilai-nilai keimanan atau agama yang dianut. Bagi mereka yang kehdiupan beragamanya masih labil, kondisi ini akan menimbulkan konflik dalam dirinya, yang apabila kurang mendapatkan bimbingan akan cenderung terjerumus ke dalam kondisi tersebut.
Korban akibat kondisi tersebut tidak hanya orang dewasa (dengan perilaku kolusi, penyalahgunaan wewenang atau pelecehan seksual), tetapi dapat juga terjadi pada remaja. Remaja yang kadar keimanannya masih labil akan mudah terjangkit konflik batin dalam berhadapan dengan kondisi lingkungan yang menyajikan berbagai hal yang menarik hati/keinginannya, tetapi kondisi ini bertentangan dengan norma agama. Karena daya tarik lingkungan begitu kuatnya sehingga tidak sedikit remaja yang menjadi korban.
Kondisi lingkungan yang memiliki daya tarik bagi remaja tetapi bertentangan dengan norma agama itu, di antaranya film-film porno, minuman keras, ganja/narkotika dan zat adiktif lainnya, model pakaian, kehidupan malah (diskotik), dan pemakaian alat kontrasepsi. Kondisi tersebut menjadi pemicu merebaknya penyimpangan yang menyebabkan dekadensi moral dikalangan remaja, seperti free sex, mabuk, perkelahian massal (tawuran antar pelajar), berpakaian tidak senonoh dan terjadinya tindakan kriminal.
Sebagai contoh mengenai gambaran dekadensi moral di kalangan remaja dapat dikemukakan dalam beberapa kasus sebagai berikut :
- Sembilan pelajar SLTA kelas III (7 putra dan 2 putri) di salah satu sekolah di Jawa Barat telah dikeluarkan dari sekolahnya karena diketahui telah amoral, yaitu melakukan praktik prostitusi dengan menggunakan obat-obatan terlarang. Bahkan, tiga pelajar diantara mereka telah melakukan tindakan yang keterlaluan, yakni seorang pelajar putra telah menghamili dua pelajar putri (pikiran Rakyat, 26-4-1995).
- Menurut temuan tim Riset Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, jumlah anak gadis yang berkunjung ke diskotik lebih banyak bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Dari 820 responden dalam riset “minat remaja dalam musik disko, profil remaja pengunjung diskotik”, ternyata jumlah anak gadis 56%. Menurut pengakuan mereka, pergi ke diskotik itu untuk menemukan ekspresi diri, identitas diri, di samping sebagai hiburan karena tidak merasa betah tinggal di rumah. Umumnya diskotik buka pada pukul 23.00 sampai pukul 02.00 dan dalam suasana remang-remang itulah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mulai dari mencoba obat keras sampai akhirnya merasa ketagihan, kemudian hamil sebelum menikah dan melakukan aborsi. Sementara itu PBB melaporkan, lebih dari setengah pengidap AIDS yang baru, secara global ternyata adalah anak-anak muda usia 15-24 tahun, terutama remaja putri da wanita muda (Pikiran Rakyat, 24-8-1995).
- Tindakan kriminal di kalangan remaja belakangan ini cukup gencar diberitakan di media massa. Perbuatan tidak terpuji seperti halnya pencurian yang dilakukan anak belasan tahun terjadi di berbagai daerah di tanah air, yang tidak jarang mengantarkan pelakunya mendekam di hotel prodeo (Pikiran Rakyat).
Individu yang sejak kecilnya dibimbing dengan pendekatan agama secara terus-menerus mengembangkan diri dalam keluarga beragama cenderung akan mencapai kematangan beragama. Kematangan beragama ini berkaitan dengan kualitas pengalaman ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, baik yang menyangkut aspek hablumminallah maupun hablumminannaas.
Secara umum kriteria kematangan dalam kehidupan beragama itu adalah sebagai berikut.
- Memiliki kesadaran bahwa setiap perilakunya (yang tampak maupun tersembunyi) tidak terlepas dari pengawasan Allah. Kesadaran ini terefleksi dalam sikap dan perilakunya yang jujur, amanah, istiqomah, dan merasa malu untuk berbuat yang melanggar aturan Allah.
- Mengamalkan ibadah ritual secara ikhlas dan mampu mengambil hikmah dari ibadah tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
- Memiliki penerimaan dan pemahaman secara positif akan irama/romantika kehidupan yang ditetapkan Allaj, yaitu bahwa kehidupan setiap manusia berfluktuasi antara suasana kehidupan yang “usron” (kesulitan/musibah), dan “yusron” (kemudahan/anugerah/nikmat).
- Bersyukur pada saat mendapatkan anugerah baik dengan ucapan (membaca hamdalah) maupun perbuatan (ibadah mahdhah, mengeluarkan zakat dan sedekah).
- Bersabar pada saat mendapat musibah. Setiap insan yang hidup di dunia ini akan dicoba oleh Allah dengan diberikan musibah (segala sesuatu yang tidak disenangi kepadanya), baik yang ringan maupun yang berat. Bagi orang yang telah matang sikap keagamaannya tatkala dia mendapat musibah, akan menyadari bahwa hal itu merupakan ujian dari Allah yang akan meningkatkan nilai keimanannya.
- Menjalin dan memperkokoh “ukhuwah Islamiyah” (tali persaudaraan dengan sesama muslim) dan “ukhuwah insaniah/basyariah)” (tali persaudaraan dengan manusia lainnya dengan tidak melihat latar belakang agama, suku, ras, maupun status sosial ekonominya). Jalinan persaudaraan itu diwujudkan dalam bentuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.
- Senantiasa menegakkan “amar ma’ruf dan nahyi munkar”, mempunyai ruhul jihad fisabilillah, menebarkan mutiara nilai-nilai Islam dan mencegah atau memberantas kemusyrikan, kekufuran, dan kemaksiatan.***
Penulis: Arlen Defia Mahasiswi Institut Ummul Quro Al-Islami (IUQI) Bogor