Friday, 26 April 2024
HomeBeritaPenyebab OCD pada Remaja dan Cara Mengatasinya

Penyebab OCD pada Remaja dan Cara Mengatasinya

Bogordaily.net (OCD) adalah kondisi psikologis dengan pikiran obsesif yang memaksa melakukan tindakan kompulsi. Obsesif ditandai dengan munculnya pikiran cemas, gagasan atau ide, atau dorongan yang muncul terus menerus dan tidak terkontrol.

Pikiran tersebut akhirnya memaksa seseorang melakukan tindakan tertentu secara berulangkali. Apabila tidak dilakukan akan menimbulkan stress dan mengganggu aktivitas keseharian.

Tindakan yang dilakukan seseorang yang berulangkali untuk memastikan pikiran obsesif tersebut tidak terjadi dapat disebut sebagai tindakan kompulsi. Jadi, seseorang dengan OCD akan selalu terjebak dalam suatu siklus pola pikir atau tindakan berulang yang tak berujung.

Menurut psikiater dr. Tania Safitri, seringkali muncul saat usia di bawah 20 tahun, terutama pada mereka yang pernah mengalami stres berat dalam hidupnya. Gejala tersebut seringkali dapat diatasi atau dikendalikkan namun tidak dapat dihilangkan.

Menurut (arlin, 2019), kebanyakan individu yang mengalami (SAD) social anxiety disorder adalah disebabkan oleh tingkat (OCD) yang tinggi dalam hal ini dapat dipahami bahwa jika ada individu dengan kondisi SAD dan OCD yang tinggi, maka individu harus mendapatkan terapi tidak bisa hanya salah satu saja yang ditangani karena salah satu keluhan yang tidak ditangani akan berpotensi untuk memunculkan keluhan keluhan psikologis lainnya di masa mendatang.

Orang yang menderita OCD cenderung untuk menunjukkan reaksi ekstrem terhadap peristiwa penyebab kecemasan di lingkungan mereka. Mereka bergumul dengan rasa sakit dan imajinasi yang terkait dengan pikiran dan mereka mencoba menghentikan atau menetralkannya melalui perilaku obsesif.

Namun semakin mereka mencoba menghentikan pikiran semakin banyak ketidaknyamanan dan ketidakmampuan yang mereka hadapi. Cara yang tidak efisien untuk menghadapi perilaku ini membawa atau berdampak pada perilaku negatif yang muncul pada diri mereka sendiri.

Oleh karena itu, jika kita ingin berubah menjadi lebih baik, kita harus mengambil tindakan untuk mengubah pikiran obsesif dan mengatasi ketegangan dan kecemasan yang merupakan pendahulu dari perilaku obsesif.

Untuk tujuan ini, individu dengan perilaku obsesif kompulsif dibantu untuk menyadari peran pemikiran dan keyakinan mereka dalam masalah mereka saat ini dan mereka didorong untuk melawan pikiran obsesif mereka.

Hasil penelusuran Haugaard (2008), menunjukkan bahwa CBT adalah terapi yang efektif untuk OCD. Mereka juga menunjukkan bahwa hasil CBT lebih baik daripada pengobatan (Rector, Bourdeau, Kitchen, & Massiah, 2008).

Prevalensi Gangguan Obsesif Kompulsif berkisar antara 2-3% populasi, pada remaja lebih banyak terjadi pada lakilaki. Penyebabnya adalah multifaktorial meliputi faktor biologi, faktor perilaku dan faktor psikososial.

Obsesi adalah pikiran, impuls dan ide yang mengganggu dan berulang yang muncul dengan sendirinya dan tidak dapat dikendalikan, sedangkan kompulsi adalah perilaku atau tindakan mental repetitif dimana seseorang merasa didorong untuk melakukannya, dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan pikiran-pikiran obsesif atau untuk mencegah terjadinya suatu bencana.

Gejala obsesi yang paling banyak terjadi berkaitan dengan pola gejala kontaminasi, keraguan patologis, pikiran mengganggu dan simetri. Kekhawatiran tersebut sukar dihindari karena terjadi pada hampir segala aktivitas sehari-hari. 1,2 Gejala utama yang ditunjukkan adalah adanya pikiran obsesif dan tindakan kompulsif yang bersifat egodistonik.

Secara klinis aktivitas kompulsi tidak berhubungan secara realistis dengan tujuan yang ada atau jelas berlebihan seperti mengupayakan kesempurnaan dengan melakukannya berulang-ulang yang memakan waktu.

Gangguan obsesif kompulsif merupakan salah satu gangguan yang paling sulit ditangani. Walaupun berbagai macam intervensi dapat mengakibatkan perbaikan yang signifikan, kecenderungan obsesif kompulsif biasanya tetap ada hingga satu titik tertentu, walaupun dalam kontrol yang lebih besar dan dengan penampakan yang lebih sedikit dalam gaya hidup pasien.

Gangguan obsesif kompulsif mempunyai perjalanan penyakit yang bervariasi pada individu. Sebanyak 20%30% pasien mengalami gejala perbaikan yang bermakna, 40%-50% perbaikan cukup dan 20%-40% mengalami gejala yang memburuk atau menetap.

Pendapat lain menyatakan bahwa dengan terapi kognitif perilaku terdapat hasil yang bermakna pada 85% pasien. Penatalaksanaan pasien obsesif kompulsif memerlukan farmakoterapi dan meneruskan sholatnya sampai selesai, dengan tidak mengulang lagi dan mengabaikan keraguannya

Pengulangan kegiatan terebut dilakukan setiap hari, pengulangan dilakukan karena di dalam pikirannya selalu muncul dorongan untuk berbuat demikian. Obsessive adalah suatu pikiran yang terus menerus secara patologis muncul dalam diri seseorang bayangan (image), gagasan, atau impuls-impuls yang menetap (terus menerus) yang dirasakan itıdividu mengganggu laingga kesadar annya kelailangan control dan secara signifikan menyebabkarı ortxiety dan dt5tres5.

Kompulsif adalah Tindakan yang didorong impuls yang berulang kali dilakukan, pengıılangan perilaku atan tindakan mental di mana individu merasa harus melakukannya (Susan R Hoeksema, dalam Wira mihardja 2005 Gangguan ini dapat menyerang anak- anak ataupun orang yang baru menginjak dewasa.

OCD sering dimulai ketika seseoraı masih dalam usia muda. Puncak usia dari permulaan serangan bagi İaki-laki adalah antara 6- 15 tahun dan untuk perempuan adalah usia 20-29 tahun. OCD setadiri diperkira kan jarang terjadi pada populasi secara umum, berdasarkan suAey epidemiologis OCD lebih umum ditemukan.

sangat esensial dalam tumbuh kembang anak, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Gangguan pada masa anak-anak akan mempengaruhi perkembangan mental pada tahap tumbuh kembang yang berikutnya, yang dengan kata lain adalah bahwa masalah bangsa salah satunya dapat dicegah dengan pencegahan dan penanganan masalah pada anak.

Sekarang ini, diperkirakan bahwa anak dengan masalah bervariasi 2-3% hingga 22% (Utami et al., 2017). Kecemasan adalah penyebab utama ke sembilan pada remaja usia 15-19 tahun dan keenam bagi remaja usia 10-14 tahun (World Health Organization, 2021).

Ketidaknormalan pada Otak. Hasil penelitian pemetaan otak memperlihatkan, adanya ketidaknor malan pada otak orang dengan OCD yang melibatkan serotonin yang tidak seimbang.

Padahal, serotonin adalah zat penghantar yang digunakan otak untuk mengkomunikasikan rasa kepastian, sehingga seseorang tidak perlu melakukan tindakan kompulsi. Kepribadian Seseorang.

Orang yang berkepribadian rapi, teliti, serta memiliki disiplin tinggi cenderung memiliki risiko lebih besar untuk mengalami OCD. Pengalaman yang Menekan atau Menimbulkan Stres dan Trauma.

Untuk mengatas kondisi yang tidak diinginkan tersebut, beberapa orang memunculkan gejala OCD seb agai mekanisme perlindungan. Misalnya seseorang yang mandi berkali-kali dan selalu merasa ‘kotor' karena pernah menjadi korban kekerasan seksual atau perkosaan.

Dikutip dari psycom.net, cara mengobati penyakit OCD “lini pertama” yang direkomendasikan adalah dengan cognitive- behavioral therapy (CBT) dan manajemen pengobatan, yang biasanya menargetkan serotonin.

Banyak dokter percaya bahwa kombinasi dari kedua cara mengobati penyakit OCD ini lebih efektif daripada dilakukan secara terpisah. Jika OCD resisten terhadap bentuk pengobatan standar, masih ada alternatif cara mengobati penyakit OCD lain.

Oleh karena itu, agar kondisi tak memburuk, OCD mesti segera diobati dengan benar. Saat ini terdapat beragam terapi OCD yang bisa dipilih, mulai dari bimbingan psikolog hingga mengonsumsi obat-obatan.

Selain itu, ada pula cara mengobati OCD dengan terapi alternatif. Berikut ini beberapa contoh terapi alternatif :

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS)

Dijelaskan dr. Dyah Novita Anggraini, salah satu perawatan alternatif untuk penderita OCD adalah rTMS.

“rTMS membantu menambah atau mengurangi aktivitas sel-sel neuron di otak, yang diduga sebagai faktor pemicu OCD,” ucap dr. Dyah Novita.

Prosedur rTMS adalah dengan menempatkan perangkat kecil ke kulit kepala yang berdekatan dengan dahi. Perangkat ini berisi kumparan magnet kawat yang membawa arus listrik.

Aliran listrik melalui perangkat menghasilkan medan magnet, dan diyakini dapat merangsang sel-sel otak (neuron) agar lebih atau menjadi kurang aktif. D-cycloserine

Teknik psikoterapi, seperti exposure and response prevention therapy (ERP) dinilai efektif untuk mengobati gejala OCD. Sayangnya, perawatan itu tidak selalu membuahkan hasil. Sebab, terapi ERP memiliki tingkat kesulitan yang mungkin tidak semua penderita OCD nyaman untuk melakukannya. Selain itu, harga yang dipatok untuk terapi ini juga relatif tinggi.

Sebagai alternatif, ada sebuah terapi yang memiliki khasiat serupa dengan ERP. Terapi ini adalah dengan mengonsumsi obat D-cycloserine.

Melansir dari Very Well, konsumsi obat D-cycloserine ditemukan dapat mengurangi gejala OCD. Obat ini pun dapat digunakan untuk melengkapi terapi perilaku yang sedang dijalani.

Latihan Aerobik

Latihan aerobik bermanfaat untuk kesejahteraan fisik, termasuk menurunkan kadar kolesterol dan risiko penyakit jantung maupun diabetes Tidak hanya itu, ada pula dugaan yang menyebut bahwa latihan aerobik dapat digunakan secara terapeutik untuk mengurangi gejala depresi derajat ringan– sedang.

Aktivitas tersebut pun diyakini bisa mengurangi kadar stres dan kecemasan secara keseluruhan. Baru-baru ini, latihan aerobik juga ditemukan dapat mengurangi keparahan gejala OCD.

Deep Brain Stimulation

Penelitian dalam BMC Research Notes menyatakan, perawatan yang menargetkan sirkuit tertentu di otak dapat membantu mengurangi gejala OCD pada orang-orang dengan gejala parah dan tidak merespons pengobatan tradisional.

Manfaat tersebut konon bisa didapatkan dengan terapi deep brain stimulation untuk OCD. Karena bersifat terapi alternatif, sebagian dari metode yang telah disebutkan mungkin akan memberikan hasil yang berbeda pada setiap orang.

Oleh karena itu, guna mengetahui pilihan terapi OCD yang terbaik, pastikan untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan psikolog, psikiater, ataupun dokter.*

(Lamawati Mahasiswa BKI UIQI Bogor)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here