Saturday, 23 November 2024
HomeNasionalUpaya Pencegahan Tindakan Pelecehan Seksual di Transportasi Umum

Upaya Pencegahan Tindakan Pelecehan Seksual di Transportasi Umum

Bogordaily.net – Transportasi merupakan perpindahan orang atau barang dari satu tempat ketempat yang lainnya atau dari tempat asal ke tempat tujuan dengan menggunakan wahana digerakan manusia, hewan atau mesin (Zulfiar Sani,2010:2). Tujuan orang menggunakan alat tranportasi umum adalah agar lebih cepat dan lebih mudah dalam perpindahan orang atau barang dari tempat asal ke tempat tujuannya. Fungsi tranportasi ini tidak hanya dilihat secara perorangan tapi juga dilihat dari kepentingan masyarakat luas.

Transportasi merupakan komponen utama dalam sistem hidup dan kehidupan, sistem pemerintahan, dan sistem kemasyarakatan.

Tranportasi umum beberapa tahun belakangan ini terus digalakan pembangunannya. Mulai dari krl, busway dan yang terbaru adalah LRT dan MRT. Tentu dengan semakin membaiknya fasilitas layanan dan transportasi umum ini, diharapkan mampu mengatasi kemacetan dan memberikan kontribusi terhadap masyarakat.

Namun di balik tersedianya fasilitas layanan transportasi umum, banyak terjadi pelecehan seksual disana. Berdasarkan data yang dikeluarkan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) merilis hasil Survei Nasional Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang hasilnya cukup mencengangkan.

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa moda transportasi umum menjadi lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan seksual di ruang publik. Sementara, untuk lokasi tertinggi pertama terjadinya pelecehan seksual berada di jalan umum.

Tentu hal ini tidak boleh terus-menerus dibiarkan terjadi, perlu adanya kerjasama dan peran antara semua pihak terutama dari pihak pemerintah yang harus selalu siap siaga memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Apalagi memberikan rasa aman kepada masyarakat tercantum dalam peraturan yang telah dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah.

Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan, hal ini diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Undang-Undang HAM).

Hak untuk memperoleh rasa aman ini dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Undang-Undang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan kebijakan-kebijakan lainnya. Ini semua sudah seharusnya direalisasikan secara berkelanjutan dimanapun dan kapanpun.

Pelecehan seksual atau sexual harassment dapat dimaknai sebagai perilaku yang ditandai dengan komentar-komentar seksual yang tidak diinginkan dan tidak pantas, atau pendekatan-pendekatan fisik berorientasi seksual yang dilakukan di tempat atau situasi kerja, profesional, atau lingkup sosial lainnya (Rusyidi, Bintari & Wibowo, 2019:75).

Dalam konsepsi Gelfand, Fitzgerald, & Drasgow (1995), pelecehan seksual merupakan tindakan berkonotasi seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain.

Pelecehan seksual atau pencabulan adalah salah satu bentuk dari kekerasan seksual. Definisi pelecehan seksual menurut Komnas Perempuan (2014) adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.

Termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Faktor terjadinya pelecehan seksual dapat ditinjau dari 3 (tiga) perspektif, yaitu psikologi, sosial, dan agama.

Faktor penyebab pelecehan seksual berdasarkan tinjauan psikologi adalah adanya pelaku pelecehan seksual yang mengalami abnormalitas seksual berupa parafilia, ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan dorongan seksual dalam diri, dan rendahnya kesadaran seseorang untuk menghargai orang lain.

Adapun faktor penyebab pelecehan seksual dari tinjauan sosial adalah adanya konstruk sosial yang menempatkan perempuan dan anak dalam lapisan subordinat, sehingga perempuan dan anak dipersepsi lemah dan menyebabkan rentan menjadi korban pelecehan seksual.

Selain itu, persepsi sosial yang menganggap bahwa korban pelecehan seksual sebagai aib dan dipandang hina sehingga menyebabkan korban kurang asertif ketika mendapatkan perlakuan pelecehan seksual.

Kondisi ini menyebabkan pelaku pelecehan seksual tidak mendapatkan hukuman. Faktor lain dari tinjauan sosial adalah kurang tegasnya aparat keamanan dan hukum serta rendahnya kepedulian sosial.

Sedangkan, faktor penyebab terjadi pelecehan seksual berdasarkan tinjauan agama adalah kurang berkualitasnya religiositas seseorang. Akan tetapi, faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual ditinjau dari 3 (tiga) perspektif, tindakan pelecehan seksual sangatlah tidak dibenarkan dilakukan oleh siapapun dan juga perlu adanya hukuman nyata dan tegas terhadap pelakunya serta tidak boleh terus-terusan menyalahkan korban.

Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.

Pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu: a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat petunjuk, d. keterangan terdakwa.

Pelecehan seksual bisa menyebabkan dampak fisik maupun psikis. Dampak fisik misalkan luka akibat pelecehan seksual yang disertai kekerasan.

Adapun dampak psikis misalkan gangguan mental dan stress (Bendixen & Kennair, 2017; Lunenburg, 2010; Mohamed, Baig, Trakic, Mallow, & Surajudeen, 2015), depresi (Houle et al., 2011), mengganggu dan menurunkan produktifitas kerja (Ali, Zakaria, Said, Zahari, & Salleh, 2015), merasa bersalah, ingin menangis tanpa sebab, ingin bunuh diri, pola tidur terganggu, merasa ingin marah (Dhakal, 2009), tidak dapat belajar dengan baik serta sulit berkonsentrasi (Sang et al., 2016), munculnya kecemasan, menurunkan kepuasan kerja, menurunnya kepercayaan diri (Council, 2018).

Di sisi lain, pelecehan seksual juga menyebabkan munculnya emosi negatif yang berdampak pada penurunan kinerja pada korban (Schneider, Swan, & Fitzgerald, 1997). Lebih jauh, pengalaman pelecehan seksual bisa menyebabkan korban berpotensi melakukan hal serupa pada orang di masa mendatang.

Secara umum, terdapat berbagai upaya pencegahan pelecehan seksual dalam konteks lingkungan kerja, institusi pendidikan, dan internet.

Beberapa diantaranya adalah menciptakan lingkungan yang aman, membentuk dukungan sosial, memperkuat kode etik di setiap bidang, menciptakan kebijakan yang tegas (Fonseca, Portela, Freire, & Negreiros, 2018), menginvestigasi kasus pelecehan seksual dengan serius (Lunenburg, 2010), mengedukasi masyarakat tentang bentuk-bentuk pelecehan seksual termasuk mengedukasi mahasiswa, peserta didik, dan pekerja, meningkatkan kendali orang tua terhadap berbagai hal yang menjurus pada pelecehan seksual (Committee, 2016).

Selain itu, dalam konteks pencegahan pelecehan seksual dalam transportasi umum dapat dilakukan dengan cara tidak berdesak-desakan ketika sedang naik (baik dalam kondisi duduk maupun berdiri) transportasi umum, tidak menggunakan pakaian yang terbuka atau memancing terjadinya pelecehan seksual, menghindari transportasi umum yang rentan terjadi pelecehan seksual.

Pihak pengelola transportasi umum dan aparat keamanan harus bertindak tegas terhadap pelaku pelecehan seksual serta membuat peraturan yang meminimalisir terjadinya pelecehan seksual, meningkatkan kepedulian terhadap apapun yang terjadi di ruang publik sehingga pelaku pelecehan seksual akan berpikir ulang ketika akan melakukan pelecehan seksual (Korn, 2018), dan menciptakan transportasi umum yang aman termasuk aman dari pelaku pelecehan seksual.

Berdasarkan berbagai referensi tersebut, upaya untuk mengatasi pelecehan seksual berdasarkan perspektif psikologi, agama, dan sosial dapat dijelaskan sebagai berikut :

  • Pertama, peningkatan pengetahuan tentang bentuk pelecehan seksual dan respons jika ada seseorang melakukan pelecehan seksual. Pengetahuan tentang pelecehan seksual penting diberikan kepada masyarakat. Hal ini bisa berdampak pada upaya meminimalisir seseorang menjadi korban maupun melakukan pelecehan seksual.
  • Kedua, perbaikan konstruksi citra perempuan dan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan. Salah satu faktor dalam konteks sosial yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual adalah adanya budaya yang menganggap laki-laki lebih superior dibanding perempuan, atau perempuan merupakan manusia yang lemah. Konstruksi sosial ini yang menyebabkan adanya motif perbuatan sewenang-wenang, termasuk pelecehan seksual.
  • Ketiga, pengendalian diri. Rendahnya pengendalian diri merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya pelecehan seksual (Franklin, 2011). Maka dari itu, perlu adanya upaya peningkatan pengendalian diri untuk menghindarkan diri dari perbuatan pelecehan seksual (Turner, Hartman, & Kuhns, 2008).
  • Keempat, peningkatan perilaku asertif. Penelitian Hahn, Morris, & Jacobs (2016); Karniyanti & Lestari (2018); Noviani, Arifah, Cecep, & Humaedi (2018); Sriyanto, Abdulkarim, Zainul, & Maryani (2014); Safarzadeh, Navidian, & Dastyar (2018) menunjukkan bahwa perilaku asertif menjadi salah satu solusi dalam mencegah perilaku pelecehan seksual. Bahkan, Adams-Roy & Barling (1998) menuliskan bahwa penting untuk melawan dan melaporkan pelaku pelecehan seksual, baik secara sosial maupun secara hukum.
  • Kelima, pemberian dukungan terhadap korban pelecehan seksual. Dukungan terhadap korban pelecehan seksual sangat beragam. Dukungan paling sederhana adalah kepedulian terhadap korban pelecehan seksual.
  • Keenam, peningkatan religiositas. Religiositas adalah suatu kondisi ketika seseorang mendapatkan pengalaman dan kesadaran tentang adanya Tuhan yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyelarasan perilaku dengan aturan Tuhan (Clark, 1958).
  • Ketujuh, peningkatan ketegasan aparat keamanan dalam menindaklanjuti laporan pelecehan seksual. Salah satu faktor meningkatnya pelecehan seksual adalah karena laporan korban pelecehan seksual tidak ditanggapi secara serius.
  • Kedelapan, perbaikan kualitas hubungan antara orangtua dengan anak. Dalam konteks keluarga dan sosial, alternatif solusi untuk mencegah pelecehan seksual bisa dilakukan untuk menghindarkan seseorang dari pelecehan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku.
  • Kesembilan, penanganan terhadap pelaku pelecehan seksual dan parafilia dengan pendekatan psikologis, medis, dan keagamaan. Sebagian pelaku pelecehan seksual, selain menemukan kesempatan melakukan pelecehan seksual, juga karena memiliki abnormalitas berupa parafilia. Parafilia merupakan suatu abnormalitas seksual yang memiliki beberapa jenis dan berpotensi menjadi pelecehan seksual.
  • Kesepuluh, penanganan yang tepat terhadap korban pelecehan seksual. Berbagai literatur menyebutkan bahwa salah satu faktor terjadinya pelecehan seksual adalah karena individu mengalami pelecehan seksual di masa lalu. Maka dari itu, salah satu upaya untuk memutus mata rantai pelecehan seksual adalah dengan mengatasi faktor tersebut, yaitu memberikan terapi yang tepat terhadap korban pelecehan seksual.

Jadi, kesimpulannya berdasarkan berbagai penjelasan tersebut, terdapat sepuluh solusi atau upaya pencegahan tindakan pelecehan seksual, baik dengan menggunakan perspektif sosial, agama, dan psikologi, maupun dari konteks orang yang rentan menjadi korban pelecehan maupun orang yang rentan menjadi pelaku pelecehan seksual.

Sepuluh solusi tersebut berkaitan satu dengan yang lain, sehingga butuh sinergitas berbagai kalangan yang terkait. Oleh karena itu, saran yang direkomendasikan dari penelaahan ini adalah peningkatan kesadaran masyarakat bahwa permasalahan pelecehan seksual adalah permasalahan serius, misalkan dengan cara psikoedukasi, sehingga harus ditindak secara tegas dan proporsional.

Selain itu, keluarga hendaknya mampu mengambil peran untuk mengadakan pendidikan terkait perilaku asertif. Pihak agamawan juga dapat mengambil peran mengajarkan tafsir yang tepat terhadap teks keagamaan yang berpotensi disalahtafsirkan sehingga memunculkan diskriminasi.

REFERENSI

Pratama, Y. (2020). Strategi Pencegahan Kejahatan Terhadap Pelecehan Seksual Di Trasnportasi Umum (Studi Kasus Kereta Rel Listrik Di Jakarta). (Doctoral dissertation, Universitas Islam Riau).
Soesilo, G. B., Alfian, M., & Rachmawati, A. F. (2021). Penegakan Hukum Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Moda Transportasi Umum Konvensional. Ahmad Dahlan Legal Perspective, 1(2), 145-154.
Dewi, I. A. A. (2019). Catcalling: Candaan, pujian atau pelecehan seksual. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 198-212.
Suprihatin, S., & Azis, A. M. (2020). Pelecehan Seksual Pada Jurnalis Perempuan Di Indonesia. PALASTREN Jurnal Studi Gender, 13(2), 413-434.
Dewantary, Z. R., Citra, A., Rachel, F., & Perdana, A. S. (2021). Saling Jaga Atas Pelecehan Seksual di Tempat Publik. ACADEMICS IN ACTION Journal of Community Empowerment, 2(2), 104-116.
Hariadi, F., & Oktafian, A. (2021). Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Di Tempat Umum Dalam Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam). Al-Intifa’: Jurnal Ilmiah Ilmu Syariah, 3(2), 12-24.
Saifuddin, A. (2021). MERUMUSKAN FAKTOR PENYEBAB DAN SOLUSI PELECEHAN SEKSUAL MENGGUNAKAN PERSPEKTIF PSIKOLOGI, SOSIAL, DAN AGAMA. Academica: Journal of Multidisciplinary Studies, 5(2), 381-420.

Disusun oleh:

Mutawarudin (Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor)
Faisal Rachmat, MA. (Dosen Bimbingan dan Konseling Islam Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here