Friday, 26 April 2024
HomeOpiniMenolak Lupa, Pertahankan Demokrasi

Menolak Lupa, Pertahankan Demokrasi

Oleh: Eko S Dananjaya

Aktivis mahasiswa 80-an

Ketua Lembaga Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Yogyakarta

Bogordaily.net– Pesawat super DC 8 JAL yang membawa perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka mendarat dengan selamat di lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Malam itu,  pukul 19.45 Tanaka hanya disambut dengan kalungan bunga. Tidak ada perlakuan yang luar biasa bagi Tanaka setiba di Indonesia. Untuk ukuran seorang  Perdana Menteri Jepang yang sepantasnya mendapat freferential treatment oleh pemerintah Indonesia.

Kedatangan Tanaka kali itu malah mendapat protes besar dari mahasiswa. Mahasiswa sudah jauh hari mendapat kabar akan ada kunjungan perdana menteri Jepang. Kalangan mahasiswa berpendapat bahwa pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto sedang menggalang pendanaan dengan  membuka diri secara luas pada asing. Satu di antaranya adalah Jepang untuk menanam modal, investasi dalam bentuk berbagai macam aspek industri di Indonesia.

Sementara mahasiswa mengawatirkan keinginan pemerintah. Bahwa Soeharto tidak akan mampu mengendalikan pihak asing untuk tidak ikut campur dalam kebijakan pemerintahannya. Dengan demikian, mahasiswa menolak tegas dan tidak ingin pemerintah Indonesia bergantung pada asing untuk membangun negara. Sebab, investasi asing tidak lebih sebagai penjajah ekonomi yang akan membuka celah korupsi , ketidakadilan, serta memperburuk lingkungan dan hak asasi manusia.

Gelombang protes  mahasiswa tak dapat lagi dicegah. Berbagai kampus di Jakarta dan daerah lain menggelar mimbar bebas dan lakukan orasi memprotes pemerintah. Mereka yang berada di Jakarta berkumpul di kampus Universitas Indonesia di Salemba dilanjut long march ke Universitas Tri Sakti Grogol Jakarta Barat.

Ribuan mahasiswa berdemonstrasi dipimpin oleh ketua Dewan Mahasiswa Hariman Siregar. Berbagai sepanduk, poster bertuliskan ” Tolak investasi asing “. Gerakan yang dimulai sejak pagi hari semakin siang semakin besar jumlah masanya. Sehingga aparat keamanan kawatir jika terjadi  bentrokan dan  bersikap waspada.

Tuntutan mahasiswa tidak lain hanya meminta Soeharto tidak gampang memberikan  kemudahan pada asing, untuk mengelola sumber daya alam dengan imbalan investasi industri dan pinjaman dana. Sebab, kedepan nantinya akan dapat mencelakakan nasib hidup orang banyak.

Tanpa disangka oleh para demonstran, dengan tuntutan yang normatif dan  bergerak dengan moral (moral force), aksi tersebut berujung  maut. Mahasiswa mengira aksi dapat berjalan dengan damai dan aman. Tetapi, setelah aksi berjalan separuh waktu, muncul pembakaran toko, kendaraan, dan terjadi penjarahan secara liar dan masif.

Mahasiswa sendiri tidak tahu asal mula anarkisme itu berasal. Yang jelas, pembakaran toko, kendaraan dan penjarahan bukan berasal dari mahasiswa. Melainkan ada penggerak kerusuhan yang didesain berbarengan dengan adanya aksi mahasiswa.

Tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka- luka, 775 orang ditahan 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar masa. 144 bangunan rusak, 160 kg emas hilang dari sejumlah toko emas, beberapa tempat usaha, perkantoran mengalami kerusakan. (Kompas.com Januari 2022 ) 

15 Januari 1974 sebagai tonggak perlawanan moral kepada modal asing. Kali pertama mahasiswa tidak ingin negara ini digadai kepada asing untuk diurusnya. Sejalan dengan waktu, para tokoh mahasiswa ditangkap dan dipenjara oleh Soeharto. Aksi mahasiswa dituduh sebagai biang keladi kerusuhan. Padahal kerusuhan itu terjadi karena ada operasi intelejen dan berbarengan adanya perseteruan sekaligus persaingan antar pembantu Soeharto.

Dua kepercayaan Soeharto saling memainkan peran politik. Tarik menarik kepentingan antara Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo menjadikan gerakan mahasiswa pupus dan dicemari akibat pertikaian kedua elite pembantu Soeharto.

Ali Moertopo yang kala itu menjabat wakil kepala Bakin sekaligus asisten pribadi Soeharto tampaknya kurang senang kepada Jenderal Soemitro. Perseteruan keduanya mengalami puncak nadir saat pecah kerusuhan  15 Januari 1974.

Jenderal Soemitro yang menjabat wakil Panglima ABRI  sekaligus Pangkopkamtib, disinyalir dekat dengan kalangan aktivis mahasiswa. Dengan demikian, Soemitro menjadi tenar di kalangan mahasiswa.

Tampak bahwa pada aksi mahasiswa menolak kehadiran Tanaka itu, Ali Moertopo memainkan peran men- taclkeing Soemitro dengan membuat gerakan anarkisme. Soemitro sebagai PangKopkamtib dirasa gagal oleh Soeharto untuk mengantisipasi kerusuhan sosial. Hal itu diyakini oleh Soemitro sebagai ulah Ali.

Penulis bersama Abriyanto wartawan senior TSM Jakarta tahun 1989 mencoba mengkonfirmasi langsung bertemu dengan Jenderal (Purn) Soemitro. Kami tanyakan soal duduk persoalan, mengapa gerakan mahasiswa 74 mengalami distruktif dan muncul kerusuhan? Sementara mahasiswa jauh dari pikiran melakukan huru hara apalagi bakar-bakaran?

Dan betulkah Pak Soemitro pada  momentum itu disharmoni dengan Ali Moertopo?

Pertanyaan kami dijawab langsung oleh Soemitro. Bahwa kerusuhan malapetaka 15 Januari 1974 memang by design oleh kelompok Ali Moertopo. Jelas bahwa gerakan mahasiswa dan tokoh-tokohnya dijadikan korban politik oleh Ali Moertopo. Alasan itu guna membangun stabilitas keamanan yang lebih kondusif di kemudian hari. Dan Ali tidak ingin rusak namanya di hadapan Soeharto. Maka, Soemitro yang harus dikorbankan dalam peristiwa Malari.

Setelah peristiwa Malari 74 dapat digembosi dan dipadamkan oleh Pemerintah Orde Baru. Program berikutnya untuk menjinakkan kampus dengan represifitas, bahwa mahasiswa dilarang berpolitik. Mahasiswa dimonitor dengan  ketat dengan menggiatkan Resimen Mahasiswa (Menw) untuk memonitor para aktivis di kampus. Mereka akan melarang mahasiswa melakukan kegiatan kemahasiswaan diluar program kampus.

Paska terjadinya huru hara Malari 74 , berdampak pada aktivitas kampus. Kampus dikebiri, dimandulkan. Mahasiswa diportal dengan NKK, BKK.

Mahasiswa dibungkam dan dalam dilema. Apa yang terjadi pada mahasiswa dan kampus adalah depolitisasi dan dekandensi. Amat sedikit mahasiswa yang habitus diskusi, habitus membaca, habitus menulis.

Padahal diskusi, membaca, dan menulis prasyarat utama bagi mahasiswa untuk mengetahui dunia, menganalisis situasi sosial, politik, ekonomi  maupun bergerak melawan kekuasaan. (Danang Pamungkas Pend. Sosiologi 2012, Anggota Mazhab Colombo UNY).

Dalam dialog kami dengan Jenderal Pur  Soemitro di kantornya Kemang Jakarta Selatan, memantik libido berpikir kami, karena rupanya Soeharto ikut merestui pembubaran gerakan mahasiswa Malari 74 dengan cara- cara distruktif.

Jelas sudah bahwa, setiap ada gerakan mahasiswa atau aktivitas kampus maka di sana ada monitoring yang mana dipakai sebagai alat penyadap dan cipta kondisi (cipkon) dalam internal kampus.

Peristiwa Malari 74 mengingatkan kembali pada kita bahwa perubahan itu selalu ada. Gerakan mahasiswa 74 sebagai pelopor gerakan berikutnya yang membangun dan memperjuangkan gerakan moral dan integritas, militansi pada nilai-nilai idealisme mahasiswa dan kaum muda.

Benedict Anderson dalam tulisannya yang cukup rinci dalam kitab buku babon Revoloesi Pemoeda pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa 1944-1946.

Pak Ben menganalisis secara rinci dan intensif asal mula revolusi Indonesia. Dan ada ciri penting dalam revolusi di Indonesia yang memiliki perbedaan dengan revolusi-revolusi modern lainnya. Revolusi Indonesia tidak dapat di terangkan secara memuaskan baik melalui analisis marxis konvensional maupun dipandang dari segi alienasi kaum cendikiawan.

Pak Ben juga menyinggung watak penjajahan akan mempengaruhi kesadaran politik generasi muda. Terutama dalam  perjuangan dan perubahan sosial.

Demikian pula kesadaran akan bernegara dan berbangsa, kaum muda menjadi ujung tombak atau avant guard. Kaum muda di sini adalah kaum cendikiawan, kaum intelektual, yang notabene menyandang status mahasiswa. Harus memiliki kesadaran jauh ke depan untuk estafet membangun bangsa negara dengan tanpa ada keterbelahan sosial.

Hari ini kita diingatkan kembali 49 tahun silam. Kaum muda, mahasiswa telah mengukir sejarah dan mengingatkan kepada bangsa ini, agar tidak mudah menerima tawaran hutang negara dalam bentuk investasi.

Sebab, investasi yang sedianya untuk kesejahteraan rakyat itu ternyata disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau untuk melanggengkan kekuasaan. Investasi tidak ada gunanya jika rakyat masih banyak yang miskin. Investasi tidak ada dampaknya manakala rakyat masih banyak tertinggal cara berpikirnya. Investasi tidak ada manfaatnya apabila sumber daya alam dieksploitasi, dikeruk secara ugal-ugalan oleh pemerintah sementara masyarakat sekitar tambang, sekitar hutan, sekitar pesisir lautan, hanya sekadar menjadi pelengkap penderita dan alat menghibur kaum pemilik modal (oligarki).

49 tahun lalu kita sudah diingatkan oleh para aktivis senior pendahulu kita, untuk membangun kebersamaan dalam berbudaya, etika, semangat kebersamaan, berdemokrasi. Tapi kali ini kita mendapat derita dan menelan pil pahit, karena negara diurus oleh orang yang salah.

Selamat berdiskusi

Menolak lupa, Pertahankan Demokrasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here