Bogordaily.net– Niat sholat witir berikut ini bisa menjadi panduan bagi umat muslim yang akan melaksanakan salah satu sunnah tersebut. Berikut penjelasan tentang niat sholat witir dan tata cara.
Dilansir dari NU Online, sholat sunnah witir merupakan salah satu shalat sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan) dalam Islam. Secara bahasa kata ‘witir’ berarti ‘ganjil’. Artinya, shalat ini harus dilakukan dalam bilangan rakaat ganjil dengan minimal satu rakaat.
Pada dasarnya witir merupakan sholat penutup bagi sholat malam. Witir sebaiknya dilaksanakan setelah melakukan berbagai sholat sunnah malam misalkan tahajjud, hajat, istikharah dan lain sebagainya.
Rasulullah pernah bersabda yang artinya, “(Shalat) witir adalah hak bagi semua umat Islam, maka barang siapa yang suka untuk melakukan witir dengan lima rakaat, maka lakukanlah. Barang siapa yang suka melakukan witir dengan tiga rakaat, maka lakukanlah. Dan, barang siapa yang yang suka melakukan shalat witir dengan satu rakaat, maka lakukanlah.” (HR Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Berikut niat sholat witir:
Jika satu rakaat: Ushallî sunnatan minal witri rak’atan lillahi ta’âlâ
Artinya, “Aku niat shalat sunnah witir satu rakaat karena Allah ta’ala.”
Jika dua rakaat: Ushallî sunnatan minal witri rak’ataini lillahi ta’âlâ
Artinya, “Aku niat shalat sunnah witir dua rakaat karena Allah ta’ala.”
Tata Cara Sholat Witir
Sholat witir mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi, yaitu dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, membaca al-Fatihah, ruku’, i’tidal, sujud, dan lainnya. Dalam pelaksanaannya, sholat witir bisa dilakukan dengan dua cara apabila jumlah rakaat yang dilakukan melebihi dari satu rakaat.
Pertama, boleh menyambung (washal), yaitu menggabungkan rakaat terakhir dengan rakaat sebelumnya. Contoh: melakukan shalat witir sebelas rakaat dengan satu kali takbiratul ihram dan satu salam.
Kedua, boleh dilakukan secara terpisah (fashal), yaitu memisah rakaat sebelumnya dengan rakaat sesudahnya. Contoh: melakukan shalat witir 10 rakaat dengan satu salam lalu ditambah satu rakaat dengan satu salam, atau bisa juga dilakukan dengan satu salam pada tiap dua rakaat. Cara yang kedua ini lebih utama daripada cara yang pertama. (Habib Zain bin Sumaith, Taqriratus Sadidah, 2003, h. 287).