Saturday, 2 November 2024
HomeOpiniAkibat Hukum Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi oleh Menkominfo Johnny G Plate...

Akibat Hukum Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi oleh Menkominfo Johnny G Plate dalam Proyek Base Transceiver Station

Ditulis oleh: Muhamad Sadam Alamsyah dan Ahmad Shobari

Mahasiswa Universitas Pakuan Bogor

Bogordaily.net–    Beberapa hari terakhir public dihebohkan dengan penetapan tersangka Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G. Plate oleh Kejaksaan Agung, atas kasus dugaan korupsi proyek BTS yang diperkirakan menimbulkan kerugian sebesar Rp8,32 triliun.

Proyek yang ditujukan untuk daerah yang terluar dan tertinggal dapat menerima akses jaringan 4G untuk kebutuhan perangkat atau sistem elektronik di daerahnya masing-masing. Proyek tersebut harus menyediakan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan inftrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat akses jaringan sangat diperlukan untuk membantu dan menunjang kehidupan sehari-hari ditambah dengan beberapa pelayanan public yang mulai menerapkan pelayanan secara digital dan tentunya memerlukan akses jaringan agar dapat mengakses pelayanan tersebut.

Tentunya, daerah yang belum mendapatkan akses jaringan yang mendukung akan kesulitan untuk mendapatkan penunjang dalam perangkat atau sistem elektronik ini, demikian pula, di dunia pendidikan yang segala sesuatunya mulai mengandalkan sistem digital agar dapat mempermudah pelaksanaannya di setiap daerah.

Namun, pada beberapa hari terakhir ini justru proyek yang seharusnya ditujukan bagi daerah di Indonesia yang belum mendapatkan infrastruktur akses jaringan 4G yang diduga disalahgunakan anggarannya untuk dapat melakukan korupsi.

Lantas dalam hal ini, penulis menerangkan tentang akibat hukum seseorang atas tindak pidana korupsi. Namun, sebelum membahas lebih mendalam mengenai pertanggungjawaban dan akibat hukum atas suatu tindak pidana korupsi.

Perlu diperhatikan terlebih dahulu tentang tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Kejaksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Merujuk kepada UU Kejaksaan pada pasal 30B huruf a bahwa jaksa berwenang dalam menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum dan pada huruf b bahwa jaksa berwenang untuk menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan, tentunya dalam hal proyek BTS tersebut merupakan salah satu proyek pembangunan infrastruktur negara.

Serta pada Pasal 30B huruf d dan e Kejaksaan berwenang melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme dan melaksanakan pengawasan multimedia. Dengan tugas dan wewenang Kejaksaan yang telah diberikan melalui oleh undang-undang yang berlaku maka tidak heran apabila mengambil Kejaksaan melakukan penetapan tersangka kepada Johnny G. Plate atas dugaan Korupsi Proyek BTS.

Namun, pada realitanya ialah ada beberapa pihak yang menganggap bahwa penangkapan Menteri Komunikasi dan Informasi adalah sebagai alat politisasi terhadap suatu kekuasaan yang dimiliki. Sebelum memberikan analisis, mari kita kesampingkan terlebih dahulu dengan urusan politik yang terjadi.

Negara Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 26 A mengatur mengenai alat bukti yang sah dalam tindak pidana korupsi berupa: alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan apabila penegak hukum telah memiliki kedua alat bukti yang sah menurut undang-undang, maka penegak hukum dapat mengambil suatu Tindakan kepada seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana korupsi.

Akibat hukum dalam suatu kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek BTS ini ialah dengan merujuk kepada Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) karena dalam hal ini tersangka telah menggunakan jabatan yang dimilikinya sebagai Menteri untuk melakukan suatu tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh tersangka atau dengan kata lain tersangka merupakan seorang pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang.

Setelah mengetahui akibat hukum yang dapat diterima atas suatu tindak pidana korupsi maka perlu kembali kepada suatu asas dalam hukum pidana ialah asas Praduga Tak Bersalah

bahwa seseorang tidak dapat dikatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan.

Dalam sistem peradilan pidana korupsi terdakwa memiliki hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi yang termaktub di dalam Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001.

Setiap penyelenggara negara dalam menjalankan fungsi dan tugasnya haruslah jujur, adil, dan bertanggung jawab kepada negara dan masyarakat. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 bahwa setiap penyelenggara negara untuk menghindari dari perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.

Dalam Pasal TAP MPR No. XI Tahun 1998 dalam Pasal 2 ayat (2) menegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.***

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here