Beras Langka di Pasar, Pemerintah Harus Jujur Soal Stok Beras
Pembatasan pembelian beras di pasar ritel terjadi kembali di beberapa kota, seperti Bogor dan Yogyakarta. Konsumen hanya diperbolehkan beli beras kemasan 5 Kg sebanyak dua pak. Bukan kali ini saja beras jenis premium hilang dari peredaran pasar, di Oktober 2023 juga mengalami hal yang sama. Kelangkaan dan harga beras yang kini semakin naik di tengah derasnya pembagian bansos sudah bukan cerita kosong lagi, tetapi sudah terjadi.
Defisit beras di awal 2024 sekitar 2,8 juta ton, sementara panen raya nanti baru akan jatuh di Mei, meskipun Maret ada panen tetapi tidak serentak karena tanam padi mundur. Dengan curah hujan yang tinggi dan banjir di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, maka diperkirakan sebagian lahan akan gagal panen. Kita tidak bisa memastikan berapa hasil panen nanti antara Maret sampai Mei, tapi yang jelas tetap di bawah normal.
Sementara, harapan untuk impor beras yang 2 juta ton masih belum ada kepastian. Bahkan menurut Bapanas sendiri, jumlah beras impor yang 600 ribu ton baru tiba Maret. Jika menghitung ketersediaan stok, proyeksi hasil panen kuartal pertama, dan permintaan pasar menjelang puasa dan Idul Fitri, maka sudah jelas pemerintah akan kedodoran dalam memenuhi persediaan beras, dan sulit untuk membendung kenaikan harga beras yang sudah naik cukup tinggi sebelumnya. Kalau di fase awal, gejala krisis beras ditunjukkan dengan kenaikan harga yang kontstan setiap bulan, tapi sekarang ini tidak lagi soal harga, tetapi kelangkaan beras di berbagai kota.
Seharusnya pemerintah jangan lagi terus berkelit demi pencitraan seolah-olah keadaan beras nasional baik-baik saja. Situasi yang dihadapi sekarang cukup serius jika penangannya tidak hati-hati. Kesalahan terbesar pemerintah adalah, di tengah krisis beras yang sudah berlangsung sejak awal 2023, beras masih dijadikan komoditi politik untuk kepentingan kelompok tertentu melalui pembagian bansos secara serampangan. Harusnya beras impor yang masuk di 2023, jika itu benar ada, digunakan untuk supply ke pasar-pasar sehingga bisa menahan laju kenaikan harga beras.
Sampai hari ini, publik juga masih belum dapat informasi yang jelas berapa stok beras di Bulog sekarang ini? Kalau selalu dikatakan cukup, kenapa harga tidak kunjung turun, justru malah naik, bahkan terjadi kelangkaan. Dengan masuknya beras impor 3 juta ton di 2023, semestinya bisa menstabilkan harga, tapi kemana larinya beras-beras tersebut. Jika dikatakan untuk bansos, berapa jumlah kebutuhan beras bansos? Kalau dihitung jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) menurut data 22 juta, dan pemberian beras 10 Kg per keluarga, artinya baru 220 ribu ton beras impor yang dikeluarkan, selebihnya kemana?
Di sini tidak ada keterbukaan pemerintah soal angka-angka panen, produksi beras dalam negeri, berapa angka impor beras sebenarnya, dan berapa stok cadangan beras pemerintah? Akhirnya yang terjadi hanya narasi-narasi pembohongan publik, karena fakta berbicara lain, yaitu harga beras makin naik dan langka.***
Oleh: Syaiful Bahari, Analis Kebijakan Pangan