Bogordaily.net — Hingga kini, ratusan pedagang kaki lima (PKL), masih menggelar lapak untuk berjualan di kawasan Jl Merdeka, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Diduga ratusan PKL di Jalan Merdeka, mendapat ‘perlindungan’ dari sekelompok orang. Uang perlindungan yang dikutip saat berdagang, rata-rata mencapai Rp. 100 ribu hingga Rp. 130 ribu rupiah. Uang dari ratusan PKL, diyakini mengalir ke sejumlah pihak.
Trotoar yang seharusnya digunakan untuk pejalan kaki serta bahu jalan untuk lalulintas kendaraan, mendadak berubah menjadi pusat perdagangan yang ramai. Hiruk pikuk penjual dan pembeli riuh terdengar.
Denyut aktifitas para PKL, mulai terasa sejak pukul dua dini hari. Satu persatu para pedagang berdatangan, lalu menggelar dagangannya di sepanjang trotoar dan bahu Jalan Merdeka. Aktifitas jual beli berlangsung hingga pukul 06:00 WIB.
Dampak kehadiran para PKL, ruas Jalan Merdeka di depan Kafe Bajawa, setiap pagi didera kemacetan.
Hasil penelusuran, terungkap para PKL menyetor uang sekira Rp 100 ribu hingga Rp 130 ribu per malam, kepada sekelompok preman. Uang itu sebagai jaminan mendapat tempat untuk berdagang.
Uang itu dikutip sejumlah preman yang selama ini, terus berupaya menghalang-halangi upaya Pemkot Bogor, merelokasi para PKL ke Pasar Mawar. Ditenggarai uang kutipan itu mengalir ke sejumlah pihak.
Mendapat Intimidasi
Meski lokasi baru di Pasar Mawar telah tersedia sebagai berjualan, namun para pedagang tetap memilih berjualan di pinggir jalan dengan berbagai alasan, salah satunya karena adanya intimidasi yang mereka alami saat pindah ke Pasar Mawar.
Salah seorang pedagang bernama Supriatna, telah berjualan di lokasi tersebut selama 16 tahun, mengungkapkan bahwa dirinya bisa berjualan, karena membayar iuran harian sebesar Rp 100 ribu hingga Rp 130 ribu per hari. Ia juga harus membayar uang mingguan rata-rata sejumlah Rp 200 ribu.
“Kami sempat pindah ke Pasar Mawar, namun saya diancam supaya tidak pindah. Akhirnya, Kami kembali ke sini,” ujar Supriatna.
Dia mengaku, pada dasarnya ia bersedia jika lapak dagangannya direlokasi ke Pasar Mawar. Selain mendapat intimidasi berupa ancaman fisik, para pedagang juga mengaku mereka tidak akan mendapatkan pasokan barang, jika berani pindah ke lokasi baru di Pasar Mawar.
“Kalau ngak punya barang, mau jualan apa?” akunya.
Pedagang tersebut juga mengungkapkan masalah yang mereka hadapi saat berjualan di lokasi tersebut.
Setiap pagi, mereka harus membereskan lapak sebelum mulai berjualan, dan harus kembali membereskan dagangan ketika selesai. Ini karena lokasi mereka bersifat sebagai pasar tumpah yang tidak permanen.
Ditempat yang sama pedagang lainnya bernama Hendey, menuturkan dirinya telah berjualan di lokasi tersebut, selama satu tahun lebih.
Setiap hari, ia dipungut biaya sekitar Rp 100 ribu per hari. Uang tersebut menjadi jaminan baginya untuk mendapatkan tempat.
“Sebetulnya, saya pengen jualan di tempat yang sudah disiapkan. Namun terlalu rumit jika ikut relokasi,” ucapnya.
Keberadaan pedagang di sepanjang jalan ini menjadi sorotan publik, terutama dalam upaya penataan Kota Bogor, supaya lebih teratur sesuai dengan perda PKL No 13 tahun 2005.***