Bogordaily.net – Tidak terasa, Program Praktisi Mengajar yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI dengan menggandeng Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI telah memasuki Angkatan ke-5.
Sudah dua tahunan program yang mengelaborasi profesional karir di dunia korporasi dan civitas akademika kampus ini telah terselenggara dengan baik.
Namun, apakah Program Praktisi Mengajar ini sudah berhasil melahirkan talenta baru bagi output kampus? Benarkah Praktisi Mengajar menjadi jawaban atas quo vadis Pendidikan vokasi profesi di dunia civitas?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2024, jumlah angkatan kerja berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2024 sebanyak 149,38 juta orang, naik 2,76 juta orang dibanding Februari 2023.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) naik sebesar 0,50 persen poin dibanding Februari 2023. Sementara, Penduduk yang bekerja pada Februari 2024 sebanyak 142,18 juta orang, naik sebanyak 3,55 juta orang dari Februari 2023.
Lapangan usaha yang mengalami peningkatan terbesar adalah Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum sebesar 0,96 juta orang. Pada Februari 2024 sebanyak 58,05 juta orang (40,83 persen) bekerja pada kegiatan formal, naik sebesar 0,95 persen poin dibanding Februari 2023.
Namun, persentase setengah pengangguran pada Februari 2024 naik sebesar 1,61 persen poin, sementara pekerja paruh waktu turun sebesar 0,73 persen poin dibanding Februari 2023.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2024 sebesar 4,82 persen, turun sebesar 0,63 persen poin dibanding Februari 2023.
Angka ini sebenarnya masih sangat merisaukan mengingat jumlah output atau lulusan kampus baik yang berada di strata sarjana, master sampai jenjang doktor, setiap tahun meningkat drastis tanpa perimbangan atau linieritas
peluang pekerjaan baru.
Tidak sedikit lulusan kampus akhirnya menambah tingkat pengangguran di Indonesia. Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 memperlihatkan masih ada ratusan ribu lulusan S1, S2, dan S3 rentang usia 15 sampai 24 tahun yang tidak bekerja, sekolah, atau mendapat pelatihan (not in employment, education, and training/ NEET).
Dikutip dari laman Satu Data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), BPS mendata, pada Agustus 2023, tercatat ada 452.713 orang lulusan S1, S2, dan S3 yang tergolong NEET, sedangkan lulusan diploma ada 108.464 orang.
Sementara untuk jenjang S1, S2, S3, 452.713 orang. Sementara itu, secara total jumlah anak muda berusia 15 sampai dengan 24 tahun yang tergolong NEET ada 9,9 juta atau setara 22,25 persen dari 44,7 juta anak muda golongan Gen Z.
Lahirnya Program Praktisi Mengajar pada Tahun Anggaran 2022 sebenarnya telah sedikit banyak memberi manfaat kepada lulusan kampus-kampus di Indonesia. Melalui program ini, mahasiswa bisa mengenal dan menjajaki dunia kerja lebih awal.
Tidak sedikit mahasiswa akhirnya bisa mendapatkan tempat magang dari program ini. Civitas akademika mulai dari
Rektor, Dekan dan Kaprodi juga turut menikmati efektifitas Program Praktisi Mengajar ini karena anak-anak didiknya bisa menggambarkan bagaimana kerasnya persaingan di dunia kerja.
Hal lain yang perlu menjadi interospeksi, otokritik dan overview dari Program Praktisi Mengajar ini adalah minimnya kelas praktik dan kelas bakat yang diselenggarakan di kampus-kampus di Indonesia.
Padahal, jika setiap kampus bisa membuat bank talenta atau big data mengenai bakat serta ketrampilan mahasiswa, tidak sulit bagi korporasi di Indonesia untuk merekrut menjadi professional karir.
Beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebenarnya telah memulai melakukan penjaringan talenta professional karir ini dari jenjang lulusan baru (fresh graduate) melalui beberapa program diklat ODP (Officer Development Program), MDP (Management Development Program) dan MT (Management Traine).
Melalui program ini, fresh graduate ini akan mengikuti diklat berjenjang untuk menjadi calon leader di korporasi. Adanya Program Praktisi Mengajar, sebenarnya sudah menjadi bagian dari pengenalan dasar program diklat tersebut.
Profesional praktisi sudah seharusnya memberi pemahaman skill, keahlian, kompetisi dan jenjang karir di dunia korporasi bagi mahasiswa. Sehingga, mahasiswa juga terpacu untuk menambah dan mengasah ketrampilan serta bakat mereka dengan mengikuti kursus-kursus keahlian di luar mata kuliah yang diajarkan di kelas kampus.
Tantangan terbesar dunia korporasi ke depan adalah transisi dunia digital yang mengharuskan digitalisasi di semua transaksi. Baik transaksi jual beli, negosiasi hingga lelang pengadaan
barang dan jasa. Kondisi ini tentunya harus dimaknai Sumber Daya Manusia (SDM) kampus sebagai tantangan berat dan besar yang harus dihadapi. Jika tak siap mengikuti arus digitalisasi, semakin sulit lulusan kampus di Indonesia menjadi generasi yang siap kerja.
Digitalisasi tidak hanya menjadi keharusan dan dialami korporasi saja. Kita bisa lihat hari-hari ini, semua instansi pemerintah baik Kementerian/Lembaga dan Pemda telah berlomba-lomba melakukan berbagai inovasi di dunia digital pelayanan. Talenta-talenta birokrasi baru sudah tak lagi melulu dituntut untuk bisa melayani publik saja. Namun, juga dituntut untuk melek digital dan mampu mengoperasikan seluruh platform digital sebagai bagian dari
transparansi dan inovasi.
Dengan melihat kondisi tersebut, sudah sedianya Program Praktisi Mengajar harus berhasil menjadi jembatan bagi civitas akademika dengan dunia korporasi dalam menyalurkan bakat
mahasiswa. Koneksitas dan kausalitas antara dunia korporasi dengan jejaring civitas akademika juga harus terbentuk melalui program ini. Dengan begitu, Program Praktisi Mengajar bisa menjadi jawaban atas quo vadis Pendidikan vokasi di dunia kampus. ***
Penulis: Yuska Apitya Aji Iswanto, S.Sos.,M.H (Dosen Praktisi Mengajar Kemendikbud Ristek-LPDP RI)