Bogordaily.net – Rencana pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membentuk Badan Penerimaan Negara di luar dari Kementerian Keuangan menjadi sinyal pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto tengah menghadapi kondisi keuangan negara yang tidak dalam keadaan baik-baik saja, terutama untuk membiayai program-program setelah dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024.
Alih-alih menaikkan PPN 12 persen yang memberatkan masyarakat dan melegalkan ekspor pasir laut demi mengejar pemasukan negara tetapi merusak lingkungan, potensi penggalian keuangan negara melalui PNBP masih terbuka lebar di sektor importasi pangan. Praktek impor pangan, seperti bawang putih, buah-buahan, daging, gula dan lainnya, selama puluhan tahun dijadikan perburuan rente oleh mafia pangan dan segelintir elit di kementerian.
Isu ini bukan hal yang baru tetapi sudah cukup lama terjadi, bahkan KPPU sejak 2013 sudah memeriksa dan mengadili para kartel, demikian juga KPK juga pernah menyelidiki praktek jual beli kuota impor pangan.
Bahkan Ombudsman menyampaikan total kerugian negara yang disebabkan maladministrasi di kementerian dalam impor bawang putih mencapai Rp 4,5 triliun. Uang gelap yang beredar dalam jual beli impor pangan jika dikumpulkan dari beberapa komoditi maka bisa mencapai puluhan triliun setiap tahunnya.
Selama ini alasan ditetapkannya kuota impor pangan karena memperhatikan petani di dalam negeri. Alasan tersebut jelas mengada-ada, karena tidak semua komoditi pangan bisa diproduksi di dalam negeri secara efisien, sehingga memang harus impor.
Sebagai contoh, bawang putih, bombay, buah-buahan impor, kedelai, dan garam, komoditi tersebut tidak tumbuh dan berproduksi dengan baik di dalam negeri. Terdapat komoditi pertanian yang pantas diswasembadakan dan ada yang tidak perlu, karena tidak efektif dan efisien.
Komoditi beras, bawang merah, kacang-kacangan, dan gula adalah komoditi yang bisa diswasembadakan, karena itu harus diproteksi.
Persoalan muncul karena kebijakan praktek pembatasan dan kuota impor dari peemrintah sendiri yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan yang justru menciptakan munculnya mafia dan perburuan rente dalam impor pangan. Dengan tarifisasi impor pangan, di satu sisi harga komoditi pangan bisa lebih murah, karena jumlah importir lebih banyak, tidak dimonopoli oleh kartel, dan harga ke konsumen bisa bersaing untuk mendapatkan barang yang murah dan bagus.
Di sisi lain, negara mendapatkan pemasukan dari tarifisasi impor, uang gelap permainan kuota dapat dikembalikan kepada negara. Tarifisasi impor ini dapat menjadi objek kebijakan di Badan Penerimaan Negara.
Bahkan pemerintahan Prabowo bisa melakukan subsidi program makan gratis dan bergizi yang sumber pendanaannya berasal dari pungutan tarif impor pangan. ***
Penulis: Syaiful Bahari (Analis Kebijakan Pangan)