Wednesday, 13 November 2024
HomeKabupaten BogorGelar Seminar Nasional, HIMA PPI dan BEM STAI Al Aulia Bahas Rendahnya...

Gelar Seminar Nasional, HIMA PPI dan BEM STAI Al Aulia Bahas Rendahnya Partisipasi Gen Z di Pilkada 2024

Bogordaily.net – Himpunan Mahasiswa Pemikiran Politik Islam (HIMA PPI) STAI Al-Aulia menggelar Seminar Nasional bertajuk ‘Respon Generasi Z dalam Pusaran Perebutan Kekuasaan Politik dan Pilkada 2024 di Era Revolusi Industri 4.0 dan Civil Society 5.0’ di Aula Kampus STAI Al Aulia, Sabtu 9 November, kemarin.

Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Direktur Lembaga Penelitian Demokrasi (Literasi) Deden Rahmanudin, Pemimpin Redaksi Radar Bogor Ricky Noor Rachman, Direktur Lembaga Pemerhati Kebijakan Pemerintah Rahmatullah, Pendiri Pusat Kajian Agraria dan SDA, Syaiful Bahari, Anggota Komisi V DPRD Jawa Bara Dede Candra Sasmita dan perwakilan dari relawan calon bupati dan wakil bupati yang berkontestasi di Pilkada 2024.

Dalam seminar nasional yang digelar HIMA STAI Al Aulia dibahas tentang peran generasi muda alias gen Z dalam Pilkada 2024. Sebab berdasarkan data, hampir 19 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT), Gen Z memiliki potensi besar untuk menentukan arah politik lokal.

Di Kabupaten Bogor, sari total 3.926.080 pemilih di Kabupaten Bogor, sebanyak 746.019 adalah pemilih berusia 17-24 tahun. Namun, hasil penelitian Lembaga Literasi yang dipimpin oleh Deden Rahmanudin menunjukkan bahwa tingkat partisipasi Gen Z masih tergolong rendah, dengan hanya 57% yang menyatakan akan ikut memilih dalam Pilkada mendatang.

Deden Rahmanudin menyatakan bahwa rendahnya partisipasi Gen Z ini perlu mendapat perhatian khusus dari seluruh stakeholder. “Gen Z ini punya potensi besar, tapi survei kami menunjukkan baru 57% yang berencana ikut serta. Ini angka yang harus jadi perhatian serius,” ujarnya.

Menurut dia, berdasarkan survei ada dua alasan utama. Pertama, sebagian besar merasa politik lokal kurang relevan dengan aspirasi atau masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Kedua, terdapat sentimen skeptis terhadap sistem politik daerah, menciptakan kesan bahwa jalur formal seperti pemilu terlalu kaku bagi generasi digital yang terbiasa dengan akses cepat dan terbuka.

“Hanya sebagian kecil yang merasa pemilu lokal adalah medium yang efektif untuk mengubah keadaan. Mereka melihat keterlibatan politik sebagai hal yang lebih besar dari sekadar memilih kandidat di bilik suara,” ujarnya.

Deden menjelaskan era Revolusi Industri 4.0 dan konsep Civil Society 5.0 yang menekankan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sebenarnya membuka banyak peluang. Teknologi memungkinkan generasi muda memperoleh informasi, berdiskusi, dan menyuarakan pendapat. Namun, temuan survei LITERASI memperlihatkan bahwa adaptasi pemanfaatan teknologi untuk menarik minat Generasi Z
dalam pemilu belum optimal.

“Sebagai generasi yang menyukai interaksi visual dan pesan yang ringkas, format sosialisasi pemilu yang ada tampaknya belum cukup mampu menggaet mereka,” jelasnya.

Sementara narasumber lainnya, Syaiful Bahari menyoroti karakteristik generasi Z yang kini berada di era Revolusi 4.0 dan Civil Society 5.0. Menurut dia, Generasi Z adalah generasi yang lahir dan tumbuh di tengah perkembangan teknologi digital yang pesat. Hal ini membentuk mereka menjadi generasi yang unik dalam merespons isu-isu politik dan kekuasaan lewat media sosial.

Kolaborasi Generasi Z dan Civil Society 5.0 di Era Revolusi Industri 4.0 bisa menjadi penggerak perubahan sosial, namun sayangnya partai politik meresponsnya dengan lambat. Hal ini karena partai politik terjebak dalam
struktur yang birokratis dan terkesan lamban. Mereka memiliki hirarki yang kaku dan pola komunikasi yang top-down, di mana keputusan diambil oleh elit partai tanpa banyak melibatkan suara generasi muda.

Untuk itu, kata dia, partai politik perlu beradaptasi dengan memperbarui struktur organisasi, memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan partisipasi publik, dan mengangkat isu-isu yang relevan bagi Gen Z.

Mereka harus mengembangkan sistem yang lebih inklusif dan interaktif, di mana masyarakat dapat berkontribusi secara langsung dan memberikan umpan balik terhadap kebijakan yang diambil. Tanpa perubahan ini, parpol akan semakin jauh dari aspirasi publik, dan generasi muda akan lebih memilih alternatif lain dalam
menyuarakan pandangan politik mereka,” jelasnya. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here