Bogordaily.net – Saling klaim menjabat ketua Palang Merah Indonesia (PMI) terjadi pada Jusuf Kalla dan Agung Laksono. Kisruh ini dipicu oleh dualisme hasil Musyawarah Nasional (Munas) PMI yang digelar oleh kedua pihak.
Jusuf Kalla terpilih kembali sebagai Ketua Umum PMI melalui Munas XXII PMI yang berlangsung di Jakarta pada 8-9 Desember 2024.
Sementara itu, Agung Laksono menyelenggarakan munas tandingan yang menghasilkan dirinya sebagai ketua umum PMI versi lain.
Lalu seperti apa yang sebenarnya terjadi? Berikut ini kronologi kisruh Jusuf Kalla vs Agung Laksono:
Pada 8-9 Desember 2024, PMI menggelar Musyawarah Nasional (Munas) XXII di Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh 490 peserta, yang terdiri dari perwakilan 34 PMI provinsi dan Forum Relawan Nasional (Forelnas).
Dalam sidang pleno kedua, laporan pertanggungjawaban Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum periode sebelumnya diterima dengan baik.
Ketua Sidang Pleno Kedua, Adang Rochjana, menyatakan bahwa dukungan terhadap Jusuf Kalla melampaui 50 persen dari total suara yang sah. Dengan demikian, JK ditetapkan kembali sebagai Ketua Umum PMI untuk periode 2024-2029 secara aklamasi.
“Menurut aturan PMI, apabila ada bakal calon yang memperoleh dukungan lebih dari 50 persen, maka calon tersebut dapat ditetapkan secara aklamasi,” ujar Fachmi Idris, Ketua Panitia Munas.
Sidang pleno ketiga pada 9 Desember 2024 secara resmi mengukuhkan keputusan tersebut melalui simbolis ketok palu. Namun, proses ini justru memantik konflik baru dengan kubu Agung Laksono.
Agung Laksono, mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, menggelar munas tandingan yang berlangsung bersamaan dengan Munas PMI versi JK.
Ia mengklaim mendapat dukungan lebih dari 20 persen anggota PMI, jumlah minimal yang disyaratkan untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Pada 9 Desember 2024, Agung menyerahkan laporan hasil munas versinya ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Ia menegaskan bahwa proses tersebut sesuai dengan Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) PMI.
“Ini sudah kami serahkan kepada Kemenkumham. Dari situlah yang punya kewenangan, karena ada SK dari Kemenkumham,” ungkap Agung.
Namun, klaim Agung dibantah keras oleh kubu JK, yang menyebut munas tandingan tersebut ilegal dan tidak sesuai prosedur organisasi.
Langkah Agung Laksono menciptakan kepengurusan tandingan dianggap oleh Jusuf Kalla sebagai tindakan ilegal dan pengkhianatan terhadap PMI. JK menuding Agung sengaja menciptakan dualisme demi kepentingan pribadi. “Itu ilegal dan pengkhianatan. Kita harus lawan karena dia buat bahaya untuk kemanusiaan,” ujar JK pada 9 Desember 2024.
JK bahkan melaporkan Agung ke pihak kepolisian atas dugaan tindakan melawan hukum. Ketua Bidang Hubungan Internasional PMI, Hamid Awaluddin, menegaskan bahwa munas tandingan melanggar konstitusi organisasi.
“Secara konstitusi organisasi, ini adalah inkonstitusional. Apa yang ditunjukkan oleh Pak Agung Laksono cs adalah refleksi dari jiwa tidak kesatria,” kata Hamid.
Mantan Sekretaris Jenderal PMI, Sudirman Said, mengungkapkan bahwa munas tandingan yang digelar Agung Laksono bertentangan dengan tujuh prinsip gerakan kepalangmerahan internasional. Salah satu prinsip tersebut adalah kesatuan, yang menegaskan bahwa di setiap negara hanya ada satu organisasi kepalangmerahan.
“Dengan demikian bila ada pihak yang membentuk kepengurusan tandingan, apalagi melalui proses yang tidak punya landasan hukum, itu maknanya mereka tidak memahami tujuh prinsip gerakan kepalangmerahan,” kata Sudirman.
Selain itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa pihaknya tidak ikut campur dalam konflik internal PMI. “PMI adalah mitra kerja Kemenkes yang punya aturan organisasi sendiri yang kita hargai. Kita tidak ikut campur urusan organisasi di luar,” jelas Budi.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan siap memediasi konflik ini. Hingga saat ini, pihaknya belum menerima Surat Keputusan (SK) terkait kepengurusan PMI dari kedua kubu.
“Semua yang kami lakukan di Kementerian Hukum sebelum ambil keputusan terkait dualisme kepengurusan dilakukan dengan proses mediasi,” ujar Supratman.
Mediasi ini akan dilakukan berdasarkan verifikasi prosedur pelaksanaan sesuai AD/ART PMI. “Kami akan teliti secermat mungkin terkait pengesahan,” tambahnya. Proses mediasi diharapkan dapat mengakhiri konflik yang berpotensi merugikan organisasi kemanusiaan ini. ***