Oleh: Saffana Khalista
Dunia hiburan Indonesia mengalami perkembangan yang pesat sehingga adaptasi drama Korea menjadi salah satu hal yang sudah tidak asing di mata publik. Film “A Business Proposal” versi Indonesia yang dijadwalkan akan tayang pada 6 Februari 2025 merupakan adaptasi dari drama Korea dengan judul sama yang dirilis pada tahun 2022. Film yang diperankan oleh Abidzar Al-Ghifari, Ariel Tatum, Ardhito Pramono, dan Caitlin Halderman ini
yang semula terlihat sebagai tontonan yang menarik, justru berujung pada kontroversi.
Melalui konferensi pers, Abidzar mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlalu familiar dengan drama Korea, bahkan ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa ia harus memerankan karakter dari sebuah drama Korea itu sendiri. Ia memberikan pernyataan bahwa dirinya akan membawa karakter utama pria yang berbeda dengan karakter dalam versi Korea. Pernyataan
tersebut tidak hanya menimbulkan keraguan, tetapi juga memicu amarah para penggemar drama Korea yang menganggap bahwa Abidzar terlalu menganggap remeh pengembangan karakter yang seharusnya menjadi daya tarik penonton.
Kritik pedas terus berdatangan, terutama di media sosial. Pada tanggal 30 Januari kemarin, Abidzar muncul di sebuah podcast bersama lawan mainnya, Ariel Tatum, dan membuat pernyataan yang semakin membuat penggemar drama Korea geram. Lelaki itu menyebut penggemar drama Korea sebagai “fans fanatik” dan tentunya menjadi topik panas yang tak ada hentinya di media sosial, berujung pada banyaknya kata-kata tidak pantas muncul di sana. Ika Natassa, seorang penulis naskah film, bahkan menganggap bahwa hal yang dilakukan Abidzar sudah kelewatan dan meminta lelaki itu untuk mempertimbangkan kembali pernyataannya.
Namun, dari banyaknya kritik yang membangun, putra dari Umi Pipik itu nampak tidak mengintrospeksi dirinya. Ia kemudian mengunggah sebuah postingan eksklusif di Instagramnya dan berkata bahwa warga Indonesia yang mengkritiknya merupakan warga Indonesia yang rasis. Kontroversi ini memunculkan banyak pertanyaan tentang bagaimana seorang aktor seharusnya bersikap dalam menanggapi ekspektasi penggemar dan budaya yang ada di balik karya yang diadaptasi.
Kebebasan Berekspresi, Apakah Berlaku dalam Remake?
Sebagai seorang aktor, Abidzar memang memiliki hak untuk berkespresi terhadap suatu karakter yang ia perankan. Kreativitas dalam dunia hiburan merupakan sesuatu hal yang sangat dihargai, namun dalam konteks adaptasi sering kali membawa tantangannya tersendiri. Masalah muncul ketika kebebasan ini bertabrakan dengan harapan penggemar dan ekspektasi publik, terlebih drama Korea seperti “Business Proposal” ini ramai diperbincangkan. Maka ketika Abidzar mengungkapkan bahwa ia tidak terlalu familiar dengan karya tersebut dan berencana untuk membawa karakter utama pria dalam versi Indonesia dengan cara yang berbeda, ia tanpa disadari menggoyahkan ikatan emosional yang sudah terjalin antara penonton dan karakter asli. Bagi banyak penggemar, karakter-karakter ini menjadi daya tarik drama
tersebut dan tidak dapat dipisahkan, maka harapan mereka terhadap versi Indonesia pun tidak terlalu jauh dari sana.
Namun, dalam dunia kreatif, ada ruang untuk inovasi dan interpretasi baru. Adaptasi bukan hanya soal meniru, namun tentang mengambil esensi dari karya yang ada dan menyesuaikannya dengan konteks lokal. Walaupun Abidzar berhak untuk menghadirkan karakter dengan sentuhan yang berbeda, sikap yang terkesan meremehkan karakter asli dan seakan ingin mengganti elemen-elemen utama memicu perasaan penggemar dimana mereka merasa bahwa adaptasi ini hanya dilakukan tanpa memahami konteks atau kedalaman dari cerita tersebut. Dari sinilah kita dapat melihat bagaimana seorang aktor mengatasi hal tersebut.
Respons Terhadap Kritik, Merupakan Pertahanan Diri atau Keterbukaan?
Permasalahan utama dalam kontroversi ini adalah bagaimana Abidzar sebagai seorang publik figur menanggapi kritikan dengan tatanan bahasa yang kurang diperhatikan. Sebagai individu, tentunya kita memiliki hak untuk berpendapat dan menyampaikan kritik, terutama ketika sesuatu hal yang kita anggap penting ditanggapi dengan buruk. Maka wajar, jika penggemar drama tersebut tidak terima dengan pernyataan Abidzar yang dianggap ‘blunder’.
Sebagai publik figur, penting untuk memahami bahwa kritik terhadap karya seni atau penampilan seseorang bukanlah hal yang harus disikapi dengan defensif atau bahkan menyerang balik. Abidzar seharusnya lebih siap untuk menerima kritik, baik yang membangun maupun yang pedas, dan menjadikannya sebagai bahan introspeksi. Justru, penggemar yang menyuarakan ketidakpuasan mereka—walaupun dengan cara yang tidak selalu sopan— mungkin saja sebenarnya menunjukkan rasa cinta terhadap karya tersebut. Kritik merupakan bagian dari proses yang wajar dalam industri hiburan.
Sayangnya, pernyataan Abidzar yang menganggap bahwa kritik tersebut bersifat rasisme justru menciptakan perpecahan lebih lanjut. Sikap seperti ini bukan hanya merusak citra pribadi, tetapi juga menutup peluang untuk berdialog bersama para penggemar. Bukannya menghindari kritik, seorang publik figur sebaiknya bisa menghadapi dan membahasnya dengan sikap yang lebih terbuka, mengakui kesalahan jika ada, dan berusaha memahami perspektif penggemar yang memang memiliki keterikatan emosional terhadap karya yang diadaptasi.
Saffana Khalista Nurisnina, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB