Tuesday, 3 June 2025
HomeOpiniAbidzar Al-Ghifari dalam 'A Business Proposal': Kebebasan Berkarya  atau Sekadar Menghindari Ekspektasi?

Abidzar Al-Ghifari dalam ‘A Business Proposal’: Kebebasan Berkarya  atau Sekadar Menghindari Ekspektasi?

Oleh: Saffana Khalista

Dunia hiburan Indonesia mengalami perkembangan yang pesat sehingga adaptasi drama Korea menjadi salah satu hal yang sudah tidak asing di mata publik. Film “A Business  Proposal” versi Indonesia yang dijadwalkan akan tayang pada 6 Februari 2025 merupakan  adaptasi dari drama Korea dengan judul sama yang dirilis pada tahun 2022. Film yang  diperankan oleh Abidzar Al-Ghifari, Ariel Tatum, Ardhito Pramono, dan Caitlin Halderman ini

yang semula terlihat sebagai tontonan yang menarik, justru berujung pada kontroversi.

Melalui konferensi pers, Abidzar mengungkapkan bahwa dirinya tidak terlalu familiar dengan  drama Korea, bahkan ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa ia harus memerankan  karakter dari sebuah drama Korea itu sendiri. Ia memberikan pernyataan bahwa dirinya akan  membawa karakter utama pria yang berbeda dengan karakter dalam versi Korea. Pernyataan

tersebut tidak hanya menimbulkan keraguan, tetapi juga memicu amarah para penggemar  drama Korea yang menganggap bahwa Abidzar terlalu menganggap remeh pengembangan  karakter yang seharusnya menjadi daya tarik penonton.

Kritik pedas terus berdatangan, terutama di media sosial. Pada tanggal 30 Januari kemarin,  Abidzar muncul di sebuah podcast bersama lawan mainnya, Ariel Tatum, dan membuat  pernyataan yang semakin membuat penggemar drama Korea geram. Lelaki itu menyebut  penggemar drama Korea sebagai “fans fanatik” dan tentunya menjadi topik panas yang tak ada  hentinya di media sosial, berujung pada banyaknya kata-kata tidak pantas muncul di sana. Ika  Natassa, seorang penulis naskah film, bahkan menganggap bahwa hal yang dilakukan Abidzar  sudah kelewatan dan meminta lelaki itu untuk mempertimbangkan kembali pernyataannya.

Namun, dari banyaknya kritik yang membangun, putra dari Umi Pipik itu nampak tidak  mengintrospeksi dirinya. Ia kemudian mengunggah sebuah postingan eksklusif di  Instagramnya dan berkata bahwa warga Indonesia yang mengkritiknya merupakan warga  Indonesia yang rasis. Kontroversi ini memunculkan banyak pertanyaan tentang bagaimana  seorang aktor seharusnya bersikap dalam menanggapi ekspektasi penggemar dan budaya yang  ada di balik karya yang diadaptasi.

Kebebasan Berekspresi, Apakah Berlaku dalam Remake?

Sebagai seorang aktor, Abidzar memang memiliki hak untuk berkespresi terhadap suatu  karakter yang ia perankan. Kreativitas dalam dunia hiburan merupakan sesuatu hal yang sangat  dihargai, namun dalam konteks adaptasi sering kali membawa tantangannya tersendiri.  Masalah muncul ketika kebebasan ini bertabrakan dengan harapan penggemar dan ekspektasi  publik, terlebih drama Korea seperti “Business Proposal” ini ramai diperbincangkan. Maka  ketika Abidzar mengungkapkan bahwa ia tidak terlalu familiar dengan karya tersebut dan  berencana untuk membawa karakter utama pria dalam versi Indonesia dengan cara yang  berbeda, ia tanpa disadari menggoyahkan ikatan emosional yang sudah terjalin antara penonton  dan karakter asli. Bagi banyak penggemar, karakter-karakter ini menjadi daya tarik drama

tersebut dan tidak dapat dipisahkan, maka harapan mereka terhadap versi Indonesia pun tidak  terlalu jauh dari sana.

Namun, dalam dunia kreatif, ada ruang untuk inovasi dan interpretasi baru. Adaptasi bukan  hanya soal meniru, namun tentang mengambil esensi dari karya yang ada dan  menyesuaikannya dengan konteks lokal. Walaupun Abidzar berhak untuk menghadirkan  karakter dengan sentuhan yang berbeda, sikap yang terkesan meremehkan karakter asli dan  seakan ingin mengganti elemen-elemen utama memicu perasaan penggemar dimana mereka  merasa bahwa adaptasi ini hanya dilakukan tanpa memahami konteks atau kedalaman dari  cerita tersebut. Dari sinilah kita dapat melihat bagaimana seorang aktor mengatasi hal tersebut.

Respons Terhadap Kritik, Merupakan Pertahanan Diri atau Keterbukaan?

Permasalahan utama dalam kontroversi ini adalah bagaimana Abidzar sebagai seorang publik  figur menanggapi kritikan dengan tatanan bahasa yang kurang diperhatikan. Sebagai individu,  tentunya kita memiliki hak untuk berpendapat dan menyampaikan kritik, terutama ketika  sesuatu hal yang kita anggap penting ditanggapi dengan buruk. Maka wajar, jika penggemar drama tersebut tidak terima dengan pernyataan Abidzar yang dianggap ‘blunder’.

Sebagai publik figur, penting untuk memahami bahwa kritik terhadap karya seni atau  penampilan seseorang bukanlah hal yang harus disikapi dengan defensif atau bahkan  menyerang balik. Abidzar seharusnya lebih siap untuk menerima kritik, baik yang membangun  maupun yang pedas, dan menjadikannya sebagai bahan introspeksi. Justru, penggemar yang  menyuarakan ketidakpuasan mereka—walaupun dengan cara yang tidak selalu sopan— mungkin saja sebenarnya menunjukkan rasa cinta terhadap karya tersebut. Kritik merupakan  bagian dari proses yang wajar dalam industri hiburan.

Sayangnya, pernyataan Abidzar yang menganggap bahwa kritik tersebut bersifat rasisme justru  menciptakan perpecahan lebih lanjut. Sikap seperti ini bukan hanya merusak citra pribadi,  tetapi juga menutup peluang untuk berdialog bersama para penggemar. Bukannya menghindari  kritik, seorang publik figur sebaiknya bisa menghadapi dan membahasnya dengan sikap yang  lebih terbuka, mengakui kesalahan jika ada, dan berusaha memahami perspektif penggemar  yang memang memiliki keterikatan emosional terhadap karya yang diadaptasi.

Saffana Khalista Nurisnina, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi  IPB

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here