Friday, 21 March 2025
HomeBeritaAlgoritma dan Filter Bubble di Media Sosial

Algoritma dan Filter Bubble di Media Sosial

Bogordaily.net – Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube telah mengubah cara orang berinteraksi dengan konten, berbagi, dan berkomunikasi melalui penggunaan sistem berbasis algoritma yang mempersonalisasi pengalaman pengguna. Alih-alih menampilkan konten secara kronologis, algoritma menganalisis berbagai faktor untuk menentukan konten yang paling relevan dan menarik bagi setiap individu, sehingga memengaruhi jenis konten yang dilihat dan pola keterlibatan pengguna. Dampak algoritma ini tidak hanya terbatas pada perilaku pengguna, tetapi juga membentuk tren masyarakat, dinamika sosial, dan bahkan kesehatan mental.

Algoritma media sosial memainkan peran penting dalam menentukan pengalaman pengguna di berbagai platform digital. Algoritma ini dirancang untuk menyaring, mengurutkan, dan menyajikan konten kepada pengguna berdasarkan preferensi dan perilaku mereka (Tri Andini et al., 2024). Namun, personalisasi ini menciptakan filter bubble. Menurut Bradshaw & Howard (2019), filter bubble menyebabkan hasil informasi yang tampil di beranda media sosial bukanlah hasil dari pilihan yang disengaja oleh pengguna, melainkan apa yang muncul sebagai saran didasarkan pada pengumpulan informasi dari beragam platform media sosial yang kemudian dijadikan bahan oleh algoritma sebagai dasar pemrosesan data. Akibatnya, terbentuklah echo chamber yang memperkuat keyakinan dan menciptakan lingkungan informasi yang homogen.

Filter Bubble dan Echo Chamber dalam Pembentukan Opini

 Dengan menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, algoritma memperkuat filter bubble yang membatasi paparan terhadap perspektif berbeda dan mendorong echo chamber yang memperkuat opini homogen dalam kelompok tertentu. Kondisi ini memicu polarisasi sosial serta mempermudah penyebaran hoaks dan distorsi informasi karena pengguna cenderung lebih percaya pada konten yang sejalan dengan pandangan mereka. Akibatnya, dialog sosial yang sehat terhambat dan toleransi terhadap perbedaan opini dalam ruang publik digital semakin berkurang.

Algoritma media sosial telah dikaitkan dengan polarisasi politik di Amerika Serikat, terutama selama pemilihan presiden. Algoritma dapat menyebarkan disinformasi dan propaganda digital, yang memperburuk polarisasi dan mempengaruhi opini publik. Selain itu, Menurut Maisaroh, Novianty, dan Azalea (2024), algoritma Facebook berperan signifikan dalam memperkuat polarisasi politik di Medan selama Pemilu 2024. Algoritma Facebook mempersonalisasi konten berdasarkan interaksi dan preferensi pengguna, yang menciptakan echo chamber dan filter bubble, memperkuat keyakinan politik yang sudah ada, dan mengurangi keterbukaan terhadap pandangan yang berbeda. Konten yang cenderung sensasional atau kontroversial sering kali mendapatkan perhatian lebih besar, yang dapat mempercepat penyebaran disinformasi atau hoaks.

Strategi Mengatasi Dampak Algoritma

Untuk mengatasi dampak negatif algoritma dan filter bubble, diperlukan literasi digital yang lebih baik agar pengguna lebih kritis dalam mengonsumsi informasi dan menyadari bias algoritma. Edukasi mengenai cara kerja algoritma dan pentingnya mengeksplorasi sumber informasi yang beragam dapat membantu memperluas perspektif pengguna dan mengurangi efek echo chamber. Selain itu, transparansi algoritma oleh platform media sosial menjadi penting untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada pengguna mengenai bagaimana konten dipersonalisasi. Pendekatan ini perlu didukung dengan regulasi yang mendorong platform digital agar lebih akuntabel dalam mengelola algoritma dan distribusi informasi.

Selain itu, representasi kelompok minoritas dalam konten yang disajikan oleh algoritma juga perlu diperhatikan. Menurut Maisaroh, Novianty, dan Azalea (2024), ketidakseimbangan representasi dapat memperkuat bias algoritma dan mempersempit perspektif pengguna. Dengan memastikan keberagaman konten, algoritma dapat membantu menciptakan ruang publik digital yang lebih inklusif dan mendorong dialog sosial yang lebih sehat.***

 

Asyri Abghi Rahmah, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here