Bogordaily.net – Di tengah kemewahan Singapura yang identik dengan pusat perbelanjaan kelas atas, ada satu tempat yang menawarkan pengalaman belanja murah meriah. Tempat tersebut bernama Bugis Street Market. Tempat ini menjadi salah satu destinasi favorit para pelancong yang ingin berburu oleh-oleh dan barang murah dengan suasana khas pasar tradisional.
Saat pertama kali melangkahkan kaki di negeri singa ini pada 2024 silam, Bugis Street Market menjadi salah satu list destinasi yang saya kunjungi. Hari pertama saya tiba di Singapura, destinasi berbelanja favorit para pelancong ini menjadi tempat saya mencari makan malam. Jarak penginapan saya dengan Bugis Street Market terbilang cukup jauh dan mengharuskan saya untuk menggunakan transportasi umum berupa bus nomor 133.
Sesampainya di Bugis Street Market, entah mengapa saya langsung teringat dengan Pasar Senen. Kios-kios yang berjejer rapat, deretan baju murah, aksesoris, hingga tempat makan, semua menghadirkan nuansa pasar rakyat yang khas, seperti Pasar Senen. Bedanya, Bugis Street Market terasa lebih rapi dengan jalanan yang lebih bersih, lebih luas, dan memiliki pencahayaan yang memadai.
Bugis Street Market ini buka setiap hari pukul 11.00 sampai 22.00. Berada di area indoor, Bugis Street Market ini dapat dikunjungi kala cuaca panas maupun hujan. Di sini, kita bisa menemukan aneka barang fashion dengan harga yang jauh lebih terjangkau dibanding dengan harga mall.
Brand-brand lokal Singapura yang ada di pasar tradisional Singapura bisa 30-40% lebih murah dari outlet resmi mereka. Tidak hanya aneka barang fashion, semua kebutuhan seperti makanan, elektronik sampai oleh-oleh bisa kamu temukan dalam satu area. One-Stop Shopping Experience inilah yang menjadi alasan lain banyak para pelancong berbelanja di sini.
Surganya Belanja Murah
Seperti Pasar Senen yang terkenal dengan barang-barang murah, Bugis Street Market juga menjadi destinasi favorit para pemburu diskon. Dari kaos seharga SGD 5 (sekitar Rp 60 ribu), souvenir khas Singapura seperti gantungan kunci dan magnet kulkas, hingga tas dan aksesoris modis dengan harga miring, semua bisa ditemukan di sini. Beragamnya produk yang ditawarkan dengan harga yang murah mampu membuat kebanyakan pengunjung yang memang berniat untuk belanja ataupun tidak, akan pulang dengan membawa beberapa tas belanjaan.
Sebagai contoh, saat berkunjung, saya yang awalnya hanya berniat untuk mencari makan malam, tiba-tiba balik ke penginapan dengan membawa tentengan oleh-oleh. Oleh-oleh tersebut saya beli dari salah satu kios seperti grosir yang bernama ABC. Coklat dan snack yang cocok dibeli sebagai oleh-oleh dijual dengan harga yang murah di sana. Jadi, jika ingin membeli oleh-oleh yang murah, Anda bisa mengunjungi toko ABC yang terletak paling belakang.
Meskipun merasa Bugis Street Market mirip dengan Pasar Senen, namun ada beberapa perbedaan yang terlihat dari kedua pasar tradisional ini. Salah satunya adalah produk yang dijual di Bugis Street Market cenderung memiliki kualitas yang lebih baik. Tak hanya itu, penjualnya pun lebih tertib dan tidak ada kesan memaksa pelanggan untuk membeli.
Bugis Street Market juga menjadi surga tersendiri bagi pecinta fashion, karena banyak kios di sini yang menjual pakaian dengan desain unik yang tidak kalah dengan butik di mal. Modelnya mengikuti tren anak muda, dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan toko-toko di Orchard Road lainnya. Jika di Pasar Senen kita bisa menawar harga barang, di Bugis Street Market sebagian besar harga sudah ditetapkan, tetapi tetap sangat bersahabat di kantong.
Aneka KulinerÂ
Tidak hanya soal belanja, Bugis Street Market juga menawarkan pengalaman kuliner yang menggoda. Di antara ratusan kios yang menjajakan barang dagangan, terdapat banyak penjual makanan yang menawarkan aneka hidangan, baik itu hidangan khas Singapura ataupun makanan khas negara lain. Aneka street food khas Singapura yang dapat kita temukan antara lain, laksa, satay bee hoon, dan roti prata.
Kala itu, saya mencicipi menu makanan berat yang terdiri dari nasi, ayam dan kuah sop. Ayam yang lembut berpadu dengan nasi serta kuah sop berkaldu menciptakan cita rasa lezat yang mengenyangkan. Harga untuk menu sederhana tersebut memang tidaklah murah. Tetapi, harga yang harus dibayar untuk menu tersebut terbalaskan dengan kelezatannya.
MultikulturalÂ
Salah satu daya tarik utama Bugis Street Market adalah keberagamannya sebab pengunjungnya tidak hanya wisatawan asing, tetapi juga warga lokal yang ingin mencari barang murah atau sekadar menikmati suasana. Para penjualnya pun datang dari berbagai latar belakang budaya, seperti Malaysia, Bangladesh, India dan China.
Keberagaman budaya tersebut menciptakan atmosfer multikultural yang khas.Suasana di sini juga lebih tertib dibandingkan Pasar Senen. Tidak ada pedagang yang berteriak-teriak menawarkan dagangan, dan semua transaksi dilakukan dengan rapi. Pasar ini ramai dikunjungi para pelancong setiap harinya.
Jika ingin berjalan-jalan tanpa harus berdesakan, maka waktu yang terbaik mengunjungi Bugis Street Market ini adalah di atas jam 2 siang. Tak hanya itu, jika ingin berbelanja di Bugis Street Market dengan harga yang lebih murah, datanglah pada hari weekday. Karena jika datang pada hari weekend, barang dagangan di sana biasanya naik 10% – 20%.
Jika Pasar Senen adalah gambaran pasar rakyat khas Indonesia yang penuh dinamika, maka Bugis Street Market adalah versi upgrade-nya dengan sistem yang lebih modern. Harga tetap murah, tetapi kebersihan dan keteraturannya lebih diperhatikan. Belanja di sini terasa seperti mendapatkan pengalaman pasar tradisional, tetapi tanpa kesan kumuh atau semrawut.
Bagi wisatawan Indonesia yang suka berburu barang murah, Bugis Street Market adalah tempat yang wajib dikunjungi. Di sini, kita bisa menemukan berbagai oleh-oleh dengan harga yang ramah di kantong, mencicipi makanan khas Singapura yang lezat, dan menikmati suasana multikultural.
Jadi, jika suatu hari Anda berkunjung ke Singapura, jangan hanya terpaku pada mal mewah. Sisihkan waktu untuk menyusuri Bugis Street Market dan rasakan sensasi belanja di “Pasar Senen versi modern” ini.***
Ester Monica Pakpahan, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB