Tuesday, 18 March 2025
HomeBeritaEcho Chamber dan Polarisasi Opini: Analisis Jaringan Sosial dalam Diskusi Politik Digital...

Echo Chamber dan Polarisasi Opini: Analisis Jaringan Sosial dalam Diskusi Politik Digital 100 Hari Kepemimpinan Prabowo Gibran

Bogordaily.netEcho Chamber merupakan suatu fenomena yang seringkali ditemukan di media sosial. Platform digital merupakan salah satu hal yang berperang penting dalam pembentukan Echo Chamber, artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana algoritma media sosial dapat menjadi salah satu faktor utama dalam penyebaran misinformasi, menghambat dialog antar kelompok, dan meningkatkan segregasi politik.

Dilansir dari GCFLearn (2019),  Echo Chamber atau ruang bergema adalah adalah lingkungan di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri.

Kepemimpinan Prabowo-Gibran sudah berlangsung selama 100 hari, tentu hal ini menimbulkan beragam tanggapan baik positif dan negatif yang secara langsung dilontarkan oleh masyarakat.

Terlebih lagi, dalam menyuarakan suatu opini masyarakat tidak perlu menghabiskan banyak tenaga dengan turun ke jalan ataupun demo di depan gedung pemerintahan, tentu seluruh aksesibilitas yang dipunyai seperti internet dan juga gawai dapat menopang terjadinya diskusi politik secara digital.

Kini masyarakat akan dengan mudah menyampaikan aspirasi serta menyebarkan informasi terkait suatu pandangan terhadap permasalahan tertentu. Aksesibilitas yang dipunyai oleh masyarakat Indonesia tidak seluruhnya berdampak positif.

Terkadang, algoritma yang diberikan oleh suatu media sosial justru menambah celah fenomena polarisasi semakin menyebar luas. Menurut Wilson (2005) polarisasi dapat terjadi karena komitmen yang kuat terhadap suatu budaya, ideologi atau kandidat sehingga memecah suatu kelompok dengan kelompok lainnya.

Media sosial telah menjadi arena utama ketika seseorang ingin berdiskusi politik secara digital. Namun kebebasan seperti ini justru meningkatkan persentase fenomena Echo Chamber akan terjadi, yakni bagaimana algoritma yang diberikan oleh media sosial kepada suatu individu ditujukan untuk mengonfirmasi atau memvalidasi keyakinan mereka sendiri tanpa adanya pemberian fakta yang terstuktur dan valid.

Fenomena ini akan menyebabkan seseorang terkena polarisasi opini, walaupun dengan berbagai persepektif yang ada, banyak dari mereka yang justru defensif karena merasa pemikiran serta argumentasi mereka-lah yang paling benar.

Apabila hal tersebut terjadi, maka akan terjadi pemisahan tajam suatu kelompok dengan pandangan politik.

Dapat kita simpulkan bahwa peristiwa Echo Chamber ini tidak menjadikan media sosial sebagai medium untuk mencari informasi yang valid atau fakta yang dapat terpecaya, namun dari awal banyak dari masyarakat yang sudah mempunyai pandangan politik secara ‘bias’ maka media sosial hanyalah dijadikan sebagai alat untuk seakan-akan membenarkan opini mereka terhadap suatu permasalahan.

Apabila hal ini terus berlanjut, maka permasalahan lain seperti adanya misinformasi, hoaks, serta segregasi politik tak dapat terhindarkan.

Jaringan Sosial dan Dinamika Diskusi Politik Digital

Analisis jaringan sosial justru menunjukkan bahwa individu cenderung membentuk suatu komunitas atau kelompok yang terhubung secara ideologis. Menurut Cass R. Sunstein (2001) Internet menciptakan ‘enclave deliberation’ di mana individu lebih sering berinteraksi dengan mereka yang memiliki pandangan serupa.

Hal ini mengarah pada polarization cascade, di mana keyakinan yang ada semakin diperkuat, sementara perspektif alternatif diabaikan atau ditolak. Struktur ini menciptakan sebuah pagar terhadap klaster opini sehingga menyebabkan mereka seringkali membatasi diri dalam berdiskusi dengan klaster yang mempunyai pandangan politik berbeda.

Echo chamber seringkali dijadikan sebagai tempat subur dalam penyebaran informasi yang valid karena lingkungan yang homogen dan selalu menolak persepektif berbeda.

Polarisasi yang diperkuat oleh Echo Chamber akan meruntuhkan asas demokrasi, dikarenakan dialog atau diskusi digital di media sosial secara sehat dan berbasis fakta akan semakin sulit untuk dilakukan.

Meskipun hal tersebut tetap terjadi, mereka justru tidak akan ingin mendengarkan atau menyerap informasi yang dituangkan dalam diskusi tersebut, tetapi akan menelan secara mentah-mentah dan tetap teguh terhadap ideologi yang sudah mereka bangun dari klaster homogen terdahulu.

Dalam persepektif digital polarisasi ini diperparah oleh selektivitas informasi serta bias kognitif yang sudah dipunyai, maka diskusi lintas ‘kelompok’ semakin sulit untuk mendapatkan titik tengah.

Selain itu, ego yang tercipta karena adanya validasi dari kelompok yang mempunyai ideologi sama akan membuat seseorang semakin arogan sehingga mau bagaimanapun Mereka meyakini bahwa pandangan mereka adalah yang paling valid dan tidak dapat dipertentangkan.

Fenomena ini diperburuk dengan adanya justifikasi terhadap suatu kesalahan. Artinya, meskipun mereka tahu mereka salah, mereka akan melakukan hal apapun untuk menjustifikasi kesalahan tersebut dengan membandingkannya dengan kesalahan yang dibuat oleh kelompok lain.

Dampak Echo Chamber: Justifikasi Kesalahan Kepemimpinan Prabowo Gibran ‘act like a hero’

Ketika suatu kritik terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran timbul ke permukaan, akibat dari ketidakpuasan masyarakat karena menilai implementasi program kerja dari 100 hari kepemimpinan Prabowo Gibran kurang dapat membedakan prioritas utama serta pendukung dan juga banyak sekali kebijakan yang justru merasa terlalu ‘menghamburkan uang’ salah satu contohnya adalah makanan bergizi gratis dan juga pemberhentian IKN (Ibu Kota Nusantara).

Pendukung yang sudah mempunyai bias kognitif terhadap Prabowo Gibran akan justru menjustifikasi hal tersebut karena mereka merasa bahwa argumentasi politik yang dituangkan untuk menkritik pemerintah hanyalah alat oposisi untuk menjatuhkan pemerintahan, mereka menganggap bahwa kritik tersebut memang didasari oleh ketidaksukaan oposisi dengan pasangan Prabowo-Gibran dan juga dipondasi oleh agenda tertentu.

Hal ini menyebabkan adanya sebuah reduksi kesalahan implementasi kebijakan program kerja menjadi sesuatu yang dianggap ‘wajar’ dan seluruh kritikan terhadap pemerintah hanyalah sebuah kesalahpahaman, fitnah, atau bahkan misinformasi yang disebarkan untuk menjatuhkan Prabowo-Gibran.

Fenomena ini disebut dengan mekanisme rationalization dan motivated reasoning.  Jonathan Haidt (2012) menyatakan etika orang menemukan bahwa suatu kesimpulan mendukung komitmen emosional mereka, mereka cenderung menerimanya. Sebaliknya, ketika suatu kesimpulan mengancam komitmen tersebut, mereka akan mengkritisinya dengan mencari kesalahan sekecil apa pun.

Bertindak sebagai pahlawan, hal ini sudah beberapa kali terjadi di masa kepemimpinan Prabowo-Gibran. Bagaimana suatu kebijakan yang langsung diimplementasikan ke masyarakat tanpa adanya dialog publik serta riset mendalam.

Maka, setelah masyarakat merasa bahwa kebijakan ini justru menyusahkan mereka, disinilah Prabowo mengambil peran ‘pahlawan’ dengan membatalkan kebijakan tersebut. Tentu, pendukung tidak akan menkritik hal tersebut, mereka justru akan melihat hal ini sebagai Tindakan seorang pahlawan dalam menyelamatkan negaranya sampai mereka lupa bahwa seluruh keputusan politik tidak dapat terjadi apabila tidak disetujui oleh sang presiden.

PPN 12% adalah salah satu contoh bagaimana heroic framing ini dilakukan. Ketika kebijakan tersebut diinformasikan kepada publik, banyak dari masyarakat yang melakukan demo besar-besaran, tentu kebijakan PPN 12% akan banyak merubah mekanisme berjalannya ekonomi mereka, barang-barang akan naik secara signifikan.

Namun ternyata, setelah demo tersebut timbulah pernyataan bahwa PPN 12% tidak jadi dinaikkan, hal ini akan membuat Prabowo seakan-akan ‘menyelamatkan negara’ dari sebuah krisis.

Murray Edelman (1967) – The Symbolic Uses of Politics Para pemimpin politik sering menggunakan tindakan dan narasi simbolik untuk membentuk persepsi publik, membingkai diri mereka sebagai pahlawan yang melindungi rakyat dari ancaman, baik yang nyata maupun yang diciptakan.

Generasi muda mengambil peran penting agar fenomena Echo Chamber serta polarisasi opini dalam diskusi politik digital tidak menjadi titik krusial kebijakan suatu negara. Karena sejatinya, diskusi politik yang sehat adalah dengan tidak menutup mata akan adanya kesalahan kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah.

Hal tersebut merupakan suatu titik awal berdirinya bangsa yang baik. Demokrasi deliberatif harus dipertahankan karena suara dari rakyat adalah hal yang harus diprioritaskan.***

Anggia Leksa Putri

 

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here