Bogordaily.net – Dizaman digital saat ini, fenomena Fear of Missing Out (FoMO) atau ketakutan ketinggalan semakin umum, terutama dengan banyaknya penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari dan maraknya tren yang muncul. Tren yang diikuti dapat berbentuk kalimat atau kosa kata baru yang digunakan, tarian baru, tempat untuk dikunjungi, pakaian, produk kecantikan, hingga makanan.
Dalam konteks ilmu komunikasi, FoMO memengaruhi cara orang berinteraksi, membangun identitas, dan membentuk pendapat di dunia digital. Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memperkuat perasaan FoMO, yang berdampak pada kesehatan mental, hubungan sosial, dan kesejahteraan psikologis seseorang.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa FoMO bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga masalah sosial yang lebih luas yang memengaruhi dinamika komunitas dan kepentingan umum.
Artikel ini bertujuan untuk membahas lebih dalam tentang bagaimana FoMO terjadi di media sosial dan dampaknya dalam ilmu komunikasi.
Artikel ini akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan FoMO, dampaknya terhadap kesehatan mental, serta cara-cara untuk mengatasi fenomena ini.
Selain itu, artikel ini juga akan membahas bagaimana FoMO dapat memengaruhi pendapat publik dan interaksi sosial di masyarakat.
Konsep FoMO di Media Sosial
Pencetus kata FoMO, Patrick J. McGinnis, mendefinisikannya sebagai rasa cemas yang tidak diinginkan karena persepsi bahwa pengalaman orang lain lebih memuaskan daripada diri sendiri, biasanya melalui media sosial.
FoMo dapat diartikan sebagai rasa takut ketinggalan tren yang terus menerus hadir di berbagai sosial media, seperti Instagram, X, dan yang paling utama, yaitu TikTok.
Mengutip Astuti dalam Salinding dan Soetjiningsih (2022), Faktor-faktor yang mempengaruhi Fear of Missing Out (FoMO) adalah penggunaan media sosial, pertemanan, dan budaya.
Penggunaan media sosial yang tidak bijak dan berlebihan dapat memicu fenomena FoMO karena platform-platform ini sering memperlihatkan kehidupan dan kegiatan orang lain secara terus-menerus.
Ketika melihat teman-teman atau orang lain berbagi momen-momen menyenangkan, seperti liburan, pesta, atau pencapaian, pengguna bisa merasa karena tidak mengalami hal yang sama.
Ini menciptakan perasaan kehilangan sesuatu yang penting. Selain itu, pertemanan juga dapat memicu FoMO karena interaksi sosial di media sosial sering kali melibatkan perbandingan.
Ketika melihat teman-teman berpartisipasi dalam sebuah acara atau kegiatan yang tidak diikuti, pengguna mungkin merasa terasing atau tidak diikutsertakan.
Rasa ingin tahu tentang apa yang terjadi dan keinginan untuk tidak ketinggalan membuat pengguna merasa tertekan untuk selalu terhubung dan mengikuti setiap perkembangan.
Budaya juga memainkan peran penting dalam memicu FoMO. Dalam masyarakat yang sangat menghargai kesuksesan dan popularitas, ada tekanan untuk selalu tampil baik dan aktif di media sosial.
Budaya ini mendorong individu untuk terus berbagi pengalaman mereka agar terlihat menarik di mata orang lain.
Akibatnya, individu merasa harus selalu terlibat dalam berbagai kegiatan agar tidak dianggap ketinggalan atau kurang menarik.
Secara keseluruhan, kombinasi dari penggunaan media sosial yang berlebihan, dinamika pertemanan, dan norma budaya dapat menciptakan lingkungan yang rentan terhadap FoMO, membuat individu merasa tertekan untuk selalu mengikuti apa yang terjadi di sekitar mereka.
Adapula faktor lain yang memicu terjadinya FoMO, yaitu perasaan kesepian (loneliness). Individu yang mengalami loneliness membutuhkan closeness dengan individu lain, namun hal ini tidak didapatkan oleh individu tersebut, sehingga timbul perasaan fear of missing out (Marsella dalam Salinding dan Soetjiningsih, 2022).
Kecemasan dan stres sering kali muncul akibat perasaan takut ketinggalan yang dialami oleh pengguna media sosial yang mengalami FoMO, terutama karena banyaknya tren yang terus bermunculan.
Ketika seseorang merasa harus selalu mengikuti perkembangan terbaru, tekanan ini dapat menyebabkan mereka merasa cemas dan stres.
Akibatnya, kondisi mental yang tidak stabil ini dapat mengganggu produktivitas dan konsentrasi mereka dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Selain itu, kecemasan yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan masalah tidur, membuat individu sulit untuk beristirahat dengan baik.
Jika dibiarkan terus-menerus, dampak ini dapat memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan.
Selain kecemasan dan stres, FoMO juga sering kali menimbulkan perasaan tidak puas terhadap kehidupan seseorang.
Saat melihat orang lain menikmati momen-momen menyenangkan, seseorang cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain dan merasa bahwa kehidupannya tidak seindah yang mereka miliki.
Perbandingan sosial ini dapat melemahkan rasa percaya diri dan harga diri individu, serta memunculkan perasaan ketidakbahagiaan yang berkepanjangan.
Perasaan tidak puas ini bahkan dapat mengganggu hubungan sosial dan membuat seseorang merasa terisolasi.
Lebih jauh lagi, FoMO sering kali berujung pada adiksi terhadap media sosial. Adiksi media sosial adalah kondisi di mana individu mengalami ketergantungan berlebihan terhadap penggunaan platform digital tersebut sehingga berbagai aspek kehidupan mereka terganggu.
Menurut Griffiths (2005), ciri-ciri adiksi ini mencakup dominasi pikiran, perasaan, dan perilaku terhadap media sosial, serta pengalaman subjektif yang menyenangkan saat menggunakan platform tersebut.
Pengguna yang mengalami adiksi biasanya menunjukkan gejala seperti penggunaan media sosial secara berlebihan, merasa gelisah jika tidak dapat mengaksesnya, hingga mengabaikan tanggung jawab penting demi terus terhubung dengan dunia maya.
FoMO dalam Konteks Ilmu Komunikasi
Fenomena Fear of Missing Out (FoMO) memiliki dampak yang besar dalam kehidupan sosial dan komunikasi. Dalam era digital saat ini, di mana media sosial mendominasi cara kita berkomunikasi, FoMO memengaruhi hubungan sosial dan perilaku konsumerisme saat ini.
Salah satu pengaruh utama FoMO adalah terhadap interaksi sosial. Fenomena ini menciptakan tekanan sosial di mana individu merasa harus selalu mengikuti tren terbaru agar diterima dalam kelompok sosial mereka.
Selain memengaruhi interaksi sosial, FoMO juga berdampak pada perilaku konsumtif. Pengguna media sosial yang mengalami FoMO sering kali merasakan kecemasan ketika melihat barang, tempat, makanan, atau minuman yang sedang viral di platform tersebut.
Kecemasan ini mendorong mereka untuk melakukan pembelian impulsif dan mengikuti tren yang ada, meskipun barang-barang tersebut mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan atau preferensi pribadi mereka.
Dengan kata lain, FoMO menciptakan sikap konsumerisme yang berlebihan, di mana keputusan pembelian didorong oleh keinginan untuk diterima oleh orang lain.
Secara keseluruhan, fenomena FoMO menunjukkan bagaimana teknologi dan media sosial dapat membentuk cara kita berinteraksi dan mengkonsumsi.
Memahami dampak FoMO dalam konteks ilmu komunikasi sangat penting untuk membantu individu mengelola hubungan sosial dan perilaku konsumsi mereka dengan lebih bijaksana.
Upaya untuk meningkatkan literasi digital dan kesadaran akan dampak psikologis dari FoMO akan sangat bermanfaat dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan seimbang.
Fenomena Fear of Missing Out (FoMO) adalah isu penting di era digital saat ini, dengan dampak besar pada interaksi sosial dan perilaku konsumsi. Artikel ini menunjukkan bahwa FoMO mendorong individu untuk mengikuti tren terbaru agar diterima dalam kelompok sosial mereka, yang dapat menyebabkan kecemasan dan ketidakpuasan hidup.
Memahami FoMO dalam konteks ilmu komunikasi sangat penting, karena fenomena ini memengaruhi cara kita berinteraksi dan mengonsumsi informasi.
Dengan menyadari dampak negatif FoMO, kita dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial dan membangun hubungan yang sehat.
Maka dari itu, mari gunakan media sosial dengan bijak dan tidak biarkan rasa takut ketinggalan mengendalikan hidup kita. Dengan demikian, kita dapat menciptakan pengalaman yang lebih positif dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari.***
Luthfiyah Farida Balqis | Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB