Bogordaily.net – Dikutip dari jurnal yang berjudul Fenomena Matinya Kepakaran: Tantangan Dakwah di Era Digital, “globalisasi yang ditandai dengan kemajuan pesat di bidang teknologi dan informasi membuat dunia ini ada dalam genggaman. Berbagai informasi dari belahan dunia manapun dapat kita nikmati melalui layar-layar televisi, komputer, bahkan gawai atau smartphoneyang kian hari semakin canggih. Dunia saat ini digambarkan oleh McLuhan tak ubahnya seperti ‘desa global’ yang tidak lagi ada sekat ruang dan waktu. Seiring dengan kebutuhan manusia terhadap informasi, tawaran media masa pun bermunculan. Setiap produk media masa berusaha memberikan yang terbaik untuk konsumennya dengan berita yang up to date, kemudahan akses, dan biaya yang terjangkau.”
Perkembangan pesat sosial media juga ternasuk dalam pembentukan “desa global” tersebut karena sudah memberi peran dalam kemudahan penyebaran informasi. Kemudahan ini telah mengubah cara masyarakat mengakses dan menyebarkan informasi. Diambil dari data databoks periode 2020-2022, media sosial menjadi sumber informasi utama bagi 72,6% responden di indonesia, melampaui televisi dan media cetak.
Perubahan ini menimbulkan tantangan baru dalam dunia jurnalisme, terutama terkait dengan kualitas dan kredibilitas informasi yang beredar.
Kemudahan Informasi di Era Media Sosial
Dengan masifnya sosial media memungkinkan penyebaran berita secara cepat dan luas. Masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dan berpartisipasi dalam produksi serta distribusi berita melalui praktik jurnalisme warga. Hal ini meningkatkan keterlibatan antara pembuat berita dan pembaca, menciptakan interaksi yang lebih tinggi dibandingkan media konvensional.
Selain itu, media sosial juga berperan dalam membangun keterlibatan publik terhadap portal berita daring seperti menulis artikel, menulis opini, memberi komentar dan menyebarluaskna beritanya yang pada akhirnya berdampak pada perluasan jangkauan informasi.
Matinya Kepakaran dalam Jurnalisme
Namun, kemudahan akses informasi ini juga membawa dampak negatif. Siapa saja kini bisa menjadi sumber berita, menciptakan persaingan antara jurnalis profesional dan individu tanpa kredibilitas dalam jurnalisme. Akibatnya, informasi yang beredar sering kali tidak terverifikasi dan penuh dengan bias. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga Mei 2023, telah diidentifikasi 11.642 konten hoaks di Indonesia, dengan kategori kesehatan menjadi yang paling banyak ditemukan, mencapai 2.287 item hoaks.
Selain itu, survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC) dan Kominfo menunjukkan bahwa 11,9% responden mengakui telah menyebarkan berita hoaks pada tahun 2021, meningkat dari 11,2% pada tahun sebelumnya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 42% masyarakat Indonesia masih percaya pada berita hoaks, terutama terkait isu politik dan kesehatan.
Itu semua bisa terjadi karena Algoritma media sosial yang tidak bisa mencegah dan mendeteksi sebuah kesalahan informasi yang akhirnya cenderung mengutamakan konten yang menarik perhatian dibandingkan dengan kebenaran, sehingga misinformasi dan hoaks mudah tersebar. Hal ini menantang otoritas jurnalis profesional dan mengancam matinya kepakaran dalam jurnalisme.
Tantangan dan Solusi bagi Jurnalisme
Di semua kerumitan penyebaran informasi ini, jurnalisme menghadapi tantangan besar yang tidak hanya berkaitan dengan adu cepat penyebaran informasi, tetapi juga dengan perubahan pola konsumsi berita oleh masyarakat. Tantangan ini tidak hanya datang dari media sosial dan platform digital, tetapi juga dari tekanan ekonomi dan teknologi yang terus berkembang. Dan berikut adalah masalah apa saja yang dihadapi oleh jurnalisme.
- Anonimitas dan Penyebaran Informasi Tanpa Kredibilitas
Salah satu tantangan utama adalah kemudahan bagi siapa saja untuk menyebarkan berita tanpa perlu mempertanggungjawabkan kebenarannya. Akun anonim di media sosial sering digunakan untuk menyebarkan informasi yang belum terverifikasi, bahkan hoaks dan propaganda. Hal ini mengancam kredibilitas jurnalisme, karena publik sering kali tidak bisa membedakan sumber yang valid dan yang tidak.
Solusi:
- Mendorong kebijakan yang lebih ketat terkait verifikasi identitas pengguna media sosial untuk meningkatkan akuntabilitas.
- Meningkatkan literasi digital agar masyarakat lebih kritis dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi.
- Click Bait dan Persaingan Industri
Media yang bergantung pada pendapatan iklan sering kali tergoda untuk memproduksi berita yang lebih mengedepankan klik dibandingkan kualitas informasi. Akibatnya, banyak berita yang dibuat dengan judul sensasional yang mengakibatkan kesalahan pembaca dalam menerima berita yang biasanya hanya mengonsumsi judul dari berita yang disensasionalkan tersebut dan pada akhirnya mengorbankan kedalaman analisis dan objektivitas.
Solusi:
- Media perlu mencari model bisnis alternatif, seperti langganan berbayar atau dukungan komunitas, agar tidak terlalu bergantung pada jumlah klik.
- Mendorong media untuk lebih mengutamakan kualitas konten dengan menyajikan laporan investigatif dan berita mendalam yang bernilai jangka panjang.
- Perkembangan Teknologi dan AI
Teknologi semakin berperan dalam produksi dan distribusi berita. Algoritma media sosial menentukan informasi apa yang lebih sering muncul di linimasa pengguna dan yang mudah dikonsumsi adalah informasi-informasi yang sensasional, yang pada akhirnya lebih mengutamakan engagement dibandingkan akurasi informasi. Selain itu, AI juga sudah mulai digunakan untuk menulis berita secara otomatis, menimbulkan pertanyaan tentang peran jurnalis manusia di masa depan.
Solusi:
- Jurnalis harus beradaptasi dengan mempelajari teknologi baru agar tetap relevan dalam industri.
- Perusahaan media perlu mengembangkan pedoman etika dalam penggunaan AI agar tidak menggantikan peran verifikasi dan analisis manusia.
- Beban Kerja Jurnalis yang Semakin Kompleks
Dulu, jurnalis hanya berfokus pada menulis berita. Namun, di era digital, mereka juga dituntut untuk bisa mengelola media sosial, mengedit video, bahkan memahami optimasi mesin pencari (SEO). Hal ini meningkatkan beban kerja dan menuntut mereka untuk memiliki keterampilan yang lebih luas, yang di mana mungkin akan membuat fokus para jurnalis pecah dan tidak memiliki banyak waktu lagi untuk hanya memfokuskan penulisan berita.
Solusi:
- Perusahaan media perlu memberikan pelatihan yang sesuai agar jurnalis dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan format berita digital.
- Menyesuaikan struktur kerja di redaksi agar jurnalis tidak terbebani dengan tugas di luar tanggung jawab utama mereka.
Kesimpulan
Media sosial telah membawa kemudahan dalam akses informasi, namun juga menggores peran kepakaran dalam jurnalisme. Keseimbangan antara kecepatan informasi dan verifikasi fakta menjadi kunci dalam menjaga kualitas berita. Masih banyak regulasi-regulasi yang harus diubah, pelatihan-pelatihan yang harus dilaksanakan, dan berbagai aksi preventif lainnya. Pada akhirnya, Masa depan jurnalisme bergantung pada optimisme dalam melakukan adaptasi di era digital tanpa mengabaikan nilai-nilai dasar jurnalisti yang fundamental.***
Raefa Raja Augena, Sekolah Vokasi IPB University
